Koran Sulindo –Bak pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, nasib Rasilu seorang tukang becak di Ambon memang benar-benar malang.

Menjadi korban karena nyaris terserempet mobil, becak Rasilu justru terpelanting.

Warga yang berada di lokasi kejadian segera membantu menyelamatkan korban dan membawanya ke RS TNI AD dr Latumenten, Ambon.

Meski Rasilu sudah membayar biaya rumah sakit korban, namun nyawa korban tak tertolong akibat luka-luka serta riwayat penyakit asma yang dideritanya.

Sejatinya sudah ada penyelesaian damai dengan keluarga korban dan perkara di Pengadilan terkait masalah ini dicabut.

Namun, hamba wet berpikir sebaliknya, Rasilu harus masuk hotel prodeo gara-gara penumpang terjatuh dan meninggal dunia.

Tak tanggung-tanggung Rasilu diputus mendekam selama 18 bulan akibat peristiwa yang terjadi di luar kehendaknya itu. Hakim pada sidang putusan 20 Februari lalu menganggap tindakannya itu sebagai kelalaian.

Neles Latuny, kuasa hukum Rasilu saat menjalani persidangan menyebut bagaimanapun putusan hakim tersebut tidak adil dan tidak manusiawi.

Fakta di persidangan Rasilu tidak melakukan kesengajaan hingga menyebabkan terjadinya kecelakaan yang diakibatkan kliennya mencoba menghindar sebuah mobil yang menyerempet becak yang dibawa.

Menurut Neles, walaupun hakim memiliki keyakinan kuat bahwa Rasilu bersalah, keyakinan saja tak cukup menghukum seseorang karena pada saat bersamaan, Rasilu juga tengah sedang mencari keadilan.

“Jadi, selain melihat dari sisi hukum, lihat juga dari sisi keadilan, karena Rasilu juga sedang mencari keadilan. Kalaupun dia dihukum bersalah jangan sampai hukumannya terlalu besar karena rasa keadilan dan kemanusiaan juga harus dipertimbangkan,” kata dia.

Neles menyebut, pencabutan laporan polisi dan surat pernyataan dari keluarga korban harusnya menjadi salah satu alasan yang meringankan bagi Rasilu. Namun, fakta itu sama sekali tak digubris hakim.

“Harusnya, saat surat pencabutan perkara itu dilayangkan keluarga korban. Saat itu pula kasus tersebut harus SP3. Kita tahu bersama bahwa dalam banyak kasus kecelakaan lalu lintas, penyelesaian kasusnya tidak hanya dilakukan lewat pengadilan tapi juga lewat mediasi,” kata Neles.

Sementara itu Humas PN Ambon Herry Setyobudi menyatakan pihak keluarga penumpang sebenarnya pernah melaporkan kasus itu namun belakangan mencabut laporan itu.

Berpegang teguh pada hukum karena bukan delik aduan, kasus tetap dilanjutkan penyidik kepolisian.

“Perkara itu tetap lanjut, sedangkan pencabutan itu di apa namanya dijadikan sebagai alasan meringankan,” kata Herry Herry.

Ia juga menambahkan penumpang yang dibawa Rasilu meninggal dua hari setelah kecelakaan dan hasil visum menyatakan penumpang tersebut meninggal murni akibat kecelakaan.

“Hasil pemeriksaan di persidangan itu menunjukkan bahwa kematian korban itu karena peristiwa itu, faktanya seperti itu. Itu rangkaian peristiwa,” kata Herry.

Keluarga Sengsara

Lepas dari perdebatan kepastian hukum dan rasa keadilan, sebagai kepala keluarga dan satu-satunya tulang punggung ekonomi apapun yang menimpa Rasilu mempengaruhi kehidupan anak dan istrinya.

Merantau ke Ambon sebagai tukang becak, Rasilu terpaksa berpisah dengan keluarganya yang tetap tinggal di Lolibu, Lakudo, Buton Tengah, Sulawesi Tenggara.

Mau tidak mau kemalangan Rasilu itu menyeret seluruh keluarganya.

Sejak ia ditahan enam bulam lalu, istri dan kelima anaknya hidup sengsara karena untuk makan setiap hari saja mereka susah.

Belum lagi tiga anak Rasilu juga terancam putus sekolah karena tidak ada biaya.

“Sejak enam bulan yang lalu, saat bapak ditahan, saya harus banting tulang menghidupi anak-anak saya. Biaya sekolah dan kebutuhan hidup sehari-hari membuat saya harus berpikir keras,” kata Wa Oni, istri Rasilu seperti dilaporkan detik.com, Selasa (5/3).

Wa Oni berpikir apa yang dialami suaminya adalah kecelakaan tak terduga karena mereka menjadi korban dan mobil melarikan diri.

“Mudah-mudahan bapak bisa segera keluar. Semenjak dia masuk penjara, kami tidak ada makanan. Untung ada tetangga dan keluarga yang bawakan makanan beras dan jagung untuk kami makan selama enam bulan ini,” kata dia.

Sebelum Rasilu ditahan, Wa Oni hanyalah ibu rumah tangga yang menjaga kelima anaknya.

Si sulung kelas 3 SMP, anak kedua kelas 1 SMP, anak ketiga kelas 3 SD dan anak keempat masih di TK sementara si bungsu masih 1 tahun 8 bulan. “Semuanya saya yang urus makanya saya tidak kerja,” kata Wa Oni.

Setelah suaminya ditahan Wa Oni  menggeluti berbagai pekerjaan seperti membelah jambu mete atau berjualan  pisang moleh ketika harga pisang murah.

Meski sudah membanting tulang sangat keras paling banter Wa Oni hanya sanggup mengumpulkan Rp 200 ribu perbulan. Jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Namun lepas dari itu, ia juga menagku bersyukur karena mendapatkan bantuan dari masyarakat yang berbaik hati dari Ambon. “Biasa tetangga saya yang bawakan ubi atau bantuan seadanya untuk makan kami sehari-hari,” kata dia.[TGU]