Suluh Indonesia – Sebelum Vereenigde Oostindische Compagnie atau Serikat Dagang Hindia (VOC) menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara, orang-orang Eropa kuno sudah sangat mengenal rempah-rempah, khususnya lada.

Komoditas tersebut di masa itu dianggap hanya berasal dari Malabar di India.

Sebuah laporan yang tertulis dalam Periplous tes Erythras Thalasces menyebut hanya dari tempat itulah gudang-gudang lada atau Pepper Barns di Sungai Tiberias diisi.

Tempat itu juga yang oleh Ibnu Batutah dirujuk sebagai negeri lada.

Saat tiba di di Manjarur atau Mangalore, Ibnu Batutah segera terpukau cerita saudagar-saudagar dari Fars dan Yaman yang menyebut bahwa di Malabar terdapat begitu banyak lada dan jahe yang berlimpah-limpah.

Sementara banyak yang menyebut bahwa lada bukanlah tanaman asli Nusantara. Mereka didatangkan dari Malabar dan Assam, tempat di mana tanamanan itu sebelum tumbuh liar.

Pendapat itu terbantahkan oleh keterangan Tome Pires yang pada tahun 1515 telah menyebut-nyebut tentang lada dari Sunda.  Dalam Summa Oriental, Tome Pires mengatakan lada Sunda itu konon lebih baik dibanding komoditas sejenis dari Chocin yang terletak di pantai Malabar, wilayah yang waktu itu telah menjadi koloni Portugis.

Selain diandalkan sebagai tempat penghasil lada, letak Chocin yang strategis sangat penting untuk mengontrol rute pelayaran utama di sampaing Goa, Colombo dan Malaka.

Selain kisah-kisah dari Summa Oriental, di tahun 1530 dua kapal Prancis yakni Le Sacred an La Pensee ternyata sudah tiba di Pariaman. Penumpang-penumpang kapal itu menerima pemberitahuan bahwa raja melarang hubungan dagang antara penduduk setempat dan bangsa-bangsa asing.

Pelanggaran terhadap aturan itu adalah ancaman hukuman mati.

Untuk urusan-urusan perdagangan Raja menyerahkan kepada syahbandar yang rata-rata menarik pajak antara 3 persen atau kurang terhadap komoditas apapun yang diperjual belikan.

Baca juga Menelusuri Jalur Rempah Kuno, Eropa Hingga ke Jawa

Selain pajak, lazimnya kebiasaan di kerajaan-kerajaan di Timur pedagang asing masih harus memberikan hadiah kepada penguasa.

Salah satu contoh paling dikenal yakni bantuan yang diterima Sultan Aceh di awal abad ke-16 berupa 300 orang tentara Turki. Ketika pada akhirnya mereka pulang, kapal-kapal itu diketahui memuat lada.

Bagaimanapun kisah itu membuktikan bahwa menurut sumber-sumber Eropa lada Nusantara sudah diekspor dan diperdagangkan bahkan sedini awal abad ke-16.

Sedikit berbeda dengan sumber-sumber Eropa, kronik dari Cina menyatakan lada Nusantara sudah diperjualbelikan sejak abad ke-15. Ma Huan, salah seorang penulis yang mengikuti ekspedisi Cheng Ho dalam Ying-yai Sheng-lan, General Account of the Shores of the Ocean menyebut ada sudah ditanam di kebun-kebun di wilayah pegunungan Sumatra.

Tak hanya Ma Huan, Fei Hsin yang selama 20 tahun mengikuti pelayaran Cheng Ho menyebut harga lada di Sumatra untuk satu pohonnya adalah 20 mata uang perak yang beratnya enam tael.

Sebagai konsumen lada, kebutuhan Cina di masa itu tak kalah dibanding pasar Eropa.

Bahkan Tome Pires mengatakan para pejabat bea cukai di Kanton pikirannya hanya dipenuhi oleh lada dan lada. “Their whole idea is pepper.. The chief merchandise is pepper… Pepper apart, the make little account of all the rest.”

Tak mengherankan jika bea masuk lada di pelabuhan itu sangat tinggi hingga mencapai kisaran 20 persen.

Meskipun bukan merupakan kebutuhan primer, lada dibutuhkan dalam jumlah besar oleh Istana Peking.  Bahkan di masa itu memang pasar Cina menjadi konsumen utama lada Nusantara.

Ekspor lada ke negeri itu pertahun diperkirakan mencapai jumlah 50 ribu zak padahal diketahui hasil lada Nusantara tak lebih 60 ribu zak.

Dalam Indonesian Sociological Studies disebut pedagang-pedagang Cina itu umumnya membeli lada dari saudagar-saudagar Jawa.

“Dengan surplus beras yang dimiliki, kadang ditambah surplus dari daerah Bali dan Bima, Jawa Timur memasok Malaka, Palembang, Jambi dan Maluku; setelah itu beras digunakan untuk membeli rempah-rempah yang pada gilirannya nanti ditukar kepada pedagang Tionghoa dan India di Grise, bersamaan dengan lada dari Sunda dan Jambi.”

Lada yang dijual ke Cina umumnya adalah lada putih, berbeda dengan di Eropa yang lebih laku lada hitam.

Baca juga Jalur Rempah, Puncak Peradaban Bangsa Indonesia

Sejatinya lada putih dan hitam itu sama-sama diolah dari jenis piper nigrum L, model pengolahannya yang membuat lada itu menjadi dua jenis komoditas yang berbeda.

Orang-orang Eropa semula mengira bahwa lada hitam berkerut-kerut karena diletakkan di atas api yang di atur panasnya.

Padahal untuk mendapatkan lada hitam itu, buah lada dipetik sebelum seluruhnya masak yakni ketika beberapa bulir dalam setiap gugus sudah menguning.

Gugus yang telah dipetik itu lantas dibiarkan selama beberapa hari hingga bertanggas dan semua bulir-bulirnya menjadi hitam dan dirontokkan dari tangkai dengan cara diinjak. Setelah rontok bulir-bulir itu ditampi atau di ayak.[TGU]

 

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 5 Maret 2019)