Ilustrasi/Setkab.go.id

Tata niaga impor pangan Indonesia masih amburadul dan biasa melanggar hukum yang dibikin sendiri

Koran Sulindo – Tahun lalu bukan masa yang bersahabat pada Joko Widodo. Kemarau panjang memperlakukannya dengan kejam sejak Mei hingga Oktober tahun itu. Kekeringan melanda hampir separuh wilayah produksi beras. Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia menyatakan luas wilayah sentra produksi beras yang dilanda kekeringan mencapai 39,6 persen. Produksi beras nasional turun drastis hampir separuhnya.

Beras adalah perhatian utama Presiden Joko Widodo sejak menjabat; ia bahkan menargetkan Indonesia mampu swasembada beras dalam 3 tahun dihitung sejak dilantik Oktober 2014.

Pada 2014, Indonesia mengimpor beras sebanyak 844.163 ton. Tahun berikutnya, di bawah Jokowi, impor beras malah naik walau sedikit menjadi 861.601 ton. Pada 2016, impor beras melonjak hingga hampir 50 persen menjadi 1,28 juta ton. Pada 2017, impor menyusut drastis sebesar 76 persen.

Pada 2018 lalu, selain karena musim yang tak berpihak, keputusan pemerintah mengimpor beras juga didorong harga beras yang terus naik di pasar. Tahun lalu Indonesia mengimpor hingga 2 juta ton beras, hampir 2 kali lipat naik dari tahun sebelumnya.

Memang aneh, biasanya menjelang tahun-tahun Pemilu pemerintah menekan impor habis-habisan. Dulu, pada masa-masa akhir pemerintahan periode pertama Susilo Bambang Yudhoyono pada 2008 dan 2009, situasi yang serupa dengan tahun lalu dan tahun ini, pemerintah hanya mengimpor beras 200 ratus ribu ton saja, itupun hanya impor beras komersial.

Mengapa Jokowi mau menanggung malu menelan kembali janjinya 4 tahun lalu?

Keputusan impor beras memang tak sederhana, tak melulu soal produksi, stok, dan harga semata. Apalagi sejak pemerintah Orde Jendral Soeharto beras pelan-pelan menjadi makanan pokok rakyat, menggantikan sagu, tapioka, dan pangan lainnya. Bulog juga seolah berubah menjadi badan urusan logistik beras saja. Beras menjadi bahan politisisasi sejak itu, hingga kini.

Tahun ini Pemilu Presiden kemungkinan besar beriringan dengan masa paceklik. Ada risiko gejolak harga beras saat Pemilu sedang berlangsung pada April 2019 ini, dan mengimpor beras saat itu sama saja dengan bunuh diri. Menggelontori gudang-gudang Bulog dengan beras impor hingga Pilpres selesai adalah pilihan aman.

“Mengapa kita impor? Untuk menjaga ketersediaan stok, untuk stabilisasi harga,” kata Jokowi, dalam Debat Capres 2019 Putaran Kedua di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Jokowi, pemerintah harus memiliki cadangan pangan baik untuk bencana maupun jika mengalami kondisi gagal panen. Pada 2018 lalu, produksi beras mencapai 33 juta ton dan dengan tingkat konsumsi sekitar 29 juta ton, berarti ada surplus sekitar 2,8 juta ton. Ditambah impor tahun lalu yang sebesar 2 juta ton, maka Jokowi memiliki hampir 5 juta ton beras di lumbungnya menghadapi pertarungan presiden. Ia sudah menang setengah langkah.

Jebakan Impor

Dalam suasana kampanye Pilpres seperti hari-hari ini, memang tak gampang untuk tak terjebak pada janji-janji manis, dalam hal ini janji takkan mengimpor pangan jika kelak menjadi presiden (lagi).

“Siapa pun calon presiden yang mewacanakan akan stop impor, akan swasembada, itu bohong besar. Dalam kondisi seperti ini, tidak bisa dan mustahil menyetop impor pangan,” kata pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, dalam sebuah diskusi, seperti dikutip antaranews.com.

Guru Besar IPB tersebut mengatakan total impor 21 komoditas tanaman pangan terus mengalami peningkatan dari 18,2 juta ton pada 2014 menjadi 22 juta ton pada 2018. Sementara impor pangan 7 komoditas utama, yakni beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, dan bawang putih, secara volume juga terus meningkat dari 21,7 juta ton pada 2014 menjadi 27,3 juta ton pada 2018.

Presiden terpilih periode 2019-2024 nantinya akan mengalami permasalahan dasar yang sama: banyak komoditas yang harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.

Menurut Dwi, ketergantungan impor Indonesia terhadap 21 komoditas pangan masih tinggi, dan akan terus tinggi karena dasarnya sejak awal sudah keliru. Indonesia kini masuk ke dalam kondisi jebakan impor (impor trap).

Contoh paling gampang, tatkala Kementerian Pertanian membabat impor jagung, dari 3,5 juta ton pada 2014 menjadi 1,3 juta ton pada 2016, eh bahan substitusinya, yaitu gandum, malah melonjak tinggi dan berdampak pada kenaikan harga pakan hingga 4 kali lipat pada 2018.

Harga beras pada Januari 2019 juga kemungkinan besar melambung jika dulu pemerintah tidak memutuskan impor beras sebesar 2,2 juta ton untuk stabilisasi harga.

“Kebijakan ke depan harus betul-betul dicermati dan diteliti karena kita sudah masuk ke impor trap itu. Ketika ada komoditas yang coba kita turunkan, pasti komoditas lain bergejolak,” kata Dwi.

Menurut Dwi, ketergantungan pemerintah terhadap impor pangan makin tinggi, karena produksi dalam negeri yang belum memadai. Selain itu, pemenuhan pasokan melalui impor sangat penting untuk menjaga inflasi dari bahan makanan.

“Kita mulai masuk dalam jebakan impor, karena impor meningkat sebanyak 4 juta ton untuk 21 komoditas pangan dalam periode 2017-2018,” katanya.

Yang paling realistis adalah janji kampanye untuk mulai mengurangi impor secara bertahap karena masih mungkin tercapai melalui pemenuhan dalam negeri mencukupi.

“Semua tentu berharap impor turun, tapi tidak usah muluk-muluk dan tidak realistis, seperti target impor menurun 10 persen, misalnya,” kata Dwi.

Tapi meningkatkan produksi dalam negeri bukan hal yang gampang juga, antara lain karena luas lahan pertanian makin berkurang, jumlah petani terus berkurang, mafia pangan yang selalu menunggu di tikungan agar bisa mengimpor sebanyak-banyaknya, dan tata niaga pangan dan impor pangan di tanah air yang masih silang-sengkarut.

Pembenahan Tata Niaga

Soal yang terakhir itu adalah masalah besar yang tak pernah usai dihadapi dan dituntaskan pemerintah. Sengkarut tata niaga impor pangan nasional itu berkaitan dengan tata produksi, distribusi, serta konsumsi; belum lagi permasalahan data pangan yang amburadul.

“Temuan BPK tahun 2018 menyebutkan bahwa ada sengkarut terkait dengan tata niaga impor pangan,” kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, pekan lalu.

Menurut Rachmi, pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sebanyak 9 kesalahan, antara lain persetujuan impor tanpa pembahasan di rapat koordinasi antar kementerian, tidak kuat dalam menganalisis kebutuhan, hingga lemahnya pengawasan terhadap realisasi impor. Selain itu persoalan agenda pembangunan infrastruktur yang dipilih juga telah berdampak terhadap  sektor pangan. Aktivitas investasi di Indonesia guna meningkatkan daya saing Indonesia dikatakan telah berkontribusi pula terhadap hilangnya akses petani terhadap sumber daya ekonominya.

“Bahkan penguasaan lahan ke tangan korporasi pun meningkat yang kemudian berbanding terbalik dengan penguasaan lahan bagi petani,” kata Rachmi.

Hampir setahun lalu BPK menyatakan hasil pemeriksaan pengelolaan tata niaga impor pangan Kementerian Perdagangan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap aturan perundang-undangan. “Terkait dengan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atau PDTT pada pemerintah pusat, hasil pemeriksaan yang signifikan antara lain pemeriksaan atas pengelolaan belanja dan pengelolaan tata niaga impor pangan,” kata Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara, saat menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Semester II Tahun 2017 kepada pimpinan DPR di Gedung Nusantara II, Komplek Gedung DPR, Jakarta, 3 April 2018.

Temuan BPK antara lain izin impor 70.195 ton beras yang tidak memenuhi dokumen persyaratan, melampaui batas berlaku, dan bernomor ganda. Kemudian, impor 200 ton beras kukus yang juga tidak memiliki rekomendasi Kementerian Pertanian. Juga impor 9.370 ekor sapi pada 2016, 86.567,01 ton daging sapi, dan impor 3,35 juta ton garam yang tidak memenuhi dokumen persyaratan.

Menurut BPK, Kemendag juga tidak memiliki sistem untuk memantau realisasi impor dan kepatuhan pelaporan oleh importir. Alokasi impor untuk komoditas gula kristal putih, beras, sapi dan daging sapi tidak sesuai kebutuhan dan produksi dalam negeri.

Persetujuan lmpor (PI) 1,69 juta ton gula tidak melalui rapat koordinasi, sedangkan persetujuan impor 108 ribu ton gula kristal kepada PT Adikarya Gemitang tidak didukung data analisis kebutuhan. Lalu, penerbitan PI 50 ribu ekor sapi kepada Perum Bulog pada 2015 tidak melalui rapat koordinasi. Terakhir, penerbitan PI 97 ribun ton daging sapi dan realisasi 18.012,91 ton senilai Rp737,65 miliar tidak sesuai atau tanpa rapat koordinasi dan atau tanpa rekomendasi Kementan.

Setahun kemudian keadaan tak banyak yang berubah.

Pekan lalu, Ombudsman Republik Indonesia sampai-sampai meminta pemerintah mengawasi administrasi impor 4 komoditas pangan, yaitu beras, gula, garam, dan jagung.

Peringatan dini secara terbuka tersebut agar mencegah terjadinya maladministrasi berulang akibat melemahnya intensitas perhatian para pihak berwenang, khususnya ketika berlangsung tahun politik seperti sekarang.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia. Menurut Ombusdman, impor komoditas pangan dalam 4 tahun terakhir masih memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional.

Ombusman mencatat total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton sedangkan pada kurun waktu 2010-2014 mencapai 6,5 juta ton. Jumlah total impor akan meningkat jika Pemerintah melakukan lagi tahun ini. Namun dengan jumlah stok yang relatif memadai, yaitu sebesar 2,1 juta ton pada akhir 2018, pemerintah diminta tak perlu mengimpor beras tahun ini, kecuali terjadi krisis besar.

Menurut Ombusdman, ketidakpastian data produksi akibat maladministrasi pendataan yang berpangkal pada konflik kepentingan dalam penetapan data produksi telah menyebabkan BPS mengumumkan penghentian publikasi data produksi pada 2015. Perbaikan metode pendataan kemudian menghasilkan koreksi surplus produksi beras menjadi 2,85 juta ton pada 2018.

Ombusdman mengakui pemerintah relatif mampu mengendalikan harga untuk periode 2016 hingga pertengahan 2017 dengan memanfaatkan kontrak impor beras pada tahun 2015 yang direalisasikan sebesar 1,28 juta ton pada tahun 2016. Pemerintah berusaha untuk tidak melakukan impor di tahun 2017 dengan asumsi surplus berlimpah. Pemerintah berusaha melakukan pengendalian harga dengan mengeluarkan kebijakan penetapan HET beras dan melakukan operasi penertiban melalui Satgas Pangan POLRI.

Meski penertiban terus dilakukan, pada empat bulan terakhir tahun 2017 terjadi kenaikan harga beras, sementara jumlah stok di Perum BULOG hanya mencapai 958 ribu ton (kurang dari 1 juta ton).

Pada 2018, Pemerintah memutuskan memperluas program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Keputusan ini telah menyebabkan masyarakat penerima manfaat melakukan pembelian langsung kebutuhan beras mereka ke pasar. Akibatnya jumlah rastra yang biasanya disalurkan Perum BULOG menurun drastis hingga 53%, sehingga terjadi tambahan 1 juta ton lebih stok di Perum BULOG. Kondisi ini menyebabkan harga beras di pasar relatif meningkat pada 2018, sementara jumlah stok di Perum BULOG juga meningkat menjadi 2,1 juta ton di akhir tahun. Persediaan diperkirakan akan meningkat  tahun ini karena Pemerintah berencana menerapkan program BPNT mencapai 80%.

Untuk mengantisipasi perkembangan jangka pendek, Ombudsman RI menyarankan agar Pemerintah segera membentuk kerangka kebijakan sisa cadangan (stock disposal policy) untuk perbaikan manajemen stok sebelum memutuskan mengambil langkah ekspor beras.

“Pemerintah juga harus melakukan klasifikasi stok dan mengutamakan pemanfaatan stok berkualitas agar operasi pasar cukup efektif mengatasi kenaikan harga akibat penerapan BPNT 80%, bukan berprioritas pada ekspor,” kata anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, melalui rilis media.

Menurut Ombusdman, hal yang sama juga terjadi di dalam impor gula, garam, dan jagung.

Dalam hal gula, investigasi Ombudsman menemukan arus gula impor mengganggu stabilitas produksi gula petani akibat adanya rembesan gula impor untuk industri yang beredar di pasar tradisional. Rembesan ini berdampak pada penurunan harga gula tebu petani. Di sisi lain penerapan SNI, dalam kondisi tertentu, juga menyebabkan gula petani sering tak bisa memasuki pasar.

Dalam soal garam, dalam kurun waktu empat tahun terakhir, impor komoditas garam mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan total impor sebesar 12,3 juta ton, tertinggi pada 2018 yang mencapai 3,7 juta ton.

Ombudsman menemukan beberapa maladministrasi impor garam pada 2018. Pertama, persetujuan impor garam sebesar 3,7 juta ton tanpa validasi data oleh BPS sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan penentuan quota impor. Kedua, keputusan impor sebesar 3,7 juta ton tidak disertai rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan sebagaimana amanat UU No. 7/2016. Ketiga, legitimasi impor garam 2,37 juta ton tanpa rekomendasi melalui ketentuan belaku surut pada PP No. 9/2018 yang diterbitkan hanya dalam waktu tiga hari (terhitung dari 13-15 Maret 2018), tanpa disertai Izin Prakarsa dari Presiden dan tidak adanya paraf persetujuan dari Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dalam soal jagung, pembatasan impor jagung untuk pakan malah menyebabkan impor gandum untuk pakan meningkat. Selisih impor gandum total dengan kebutuhan industri makanan adalah impor untuk pakan. Tidak ada penjelasan yang pasti dari Pemerintah atas kebijakan ini. Kelangkaan jagung untuk pakan mengundang protes sejumlah peternak. Akibat hal itu pada 2019 ini keran impor jagung untuk pakan dibuka kembali, bahkan tanpa kuota. Untuk menjaga pasokan diprediksi Pemerintah akan mengambil kebijakan impor jagung cukup signifikan tahun ini.

Dan di soal tata niaga pangan inilah tampak pemerintah selalu kedodoran, apapun alasannya, siapapun kambing hitamnya. [Didit Sidarta]