Koran Sulindo – Ombudsman RI menyatakan arah baru kebijakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menempatkan prajurit TNI aktif di jabatan sipil melanggar perundang-undangan. Kebijakan itu juga berpotensi maladministrasi dalam konteks penyalahgunaan wewenang dan prosedur dalam kebijakan publik.
“Kami sampaikan peringatan dini karena memperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dan PP nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, pintu prajurit masuk ke ranah sipil sudah ditutup rapat,” kata Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (21/2/2019), seperti dikutip antaranews.com.
Menurut Ninik, Pasal 39 UU TNI menyebutkan prajurit TNI dilarang melakukan kegiatan di ruang politik praktis, bisnis, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan legislasi dan kepentingan politis. Selain itu, Pasal 47 ayat (1) UU TNI menyebutkan apabila prajurit TNI aktif yang ingin masuk dalam jabatan sipil maka harus mundur dari institusinya dan menjalani rekrutmen seperti ASN lainnya.
“Dalam PP no 11 tahun 2017 disebutkan sangat jelas bahwa bagi TNI/Polri yang akan menempati jabatan di sektor sipil maka harus mundur dari jabatannya,” katanya.
Pasal 47 ayat 2 UU TNI memungkinkan prajurit TNI aktif menempati jabatan tertentu di beberapa lembaga antara lain Mahkamah Agung, Intelijen Negara, Sandi Negara, dan Dewan Pertahanan Nasional.
Ninik mengatakan kalau mau menempatkan TNI di luar ketentuan Pasal 47 ayat 2 itu maka perlu upaya pembuatan keputusan politik yang diambil bersama antara pemerintah dan DPR.
“Menteri Pertahanan dan Menteri koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) harus duduk bareng untuk melihat arah baru kebijakan TNI tersebut. Tujuan baik harus melalui proses hukum yang sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku,” katanya.
Ombudsman mengingatkan penempatan prajurit TNI di 10 kementerian/lembaga sesuai Pasal 47 ayat (2) UU TNI tidak bermasalah, karena sudah diatur. Namun informasi yang diperoleh penempatan TNI aktif itu sampai jabatan lain di ASN sehingga perlu penyikapan
Kesepuluh kementerian/lembaga tersebut membidangi koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Negara, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik Nasional dan Mahkamah Agung.
Sementara dalam UU TNI, landasan kebijakan yang digunakan bagi prajurit TNI adalah pasal 5, yang menyatakan TNI merupakan alat negara dalam bidang pertahanan tergantung kebijakan politik negara, dan wewenangnya ada pada keputusan politik negara, bukan keputusan TNI.
“Pernyataan kami ini bagian dari antisipasi dan peringatan dini atau pencegahan, karena kami bukan hanya dalam ranah penyelesaian di lapangan namun pencegahan,” kata Ninik.
Sebelumnya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam Rapat Pimpinan TNI 2019 mengusulkan perubahan struktur TNI sekaligus merevisi UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. TNI menginginkan eselon satu, eselon dua di kementerian/lembaga bisa diduduki TNI aktif sehingga pangkat kolonel bisa masuk.
Pengetahuan Maladministrasi Masih Rendah
Sementara itu, survei Ombudsman tentang Indeks Persepsi Maladministrasi (Inperma) 2018 menemukan hanya 22 persen dari 2.818 responden yang mengetahui apa itu maladministrasi.Survei juga menemukan tingkat kesediaan melapor apabila terjadi permasalahan pelayanan tinggi, yaitu sebesar 79,4 persen.
“Fakta ini merupakan hal yang positif. Karena masyarakat sudah memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk melapor,” kata Anggota Ombudsman, Adrianus Meliala, pada kegiatan Ngopi Bareng Ombudsman, di Gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (21/2/2019), seperti dikutip ombudsman.go.id.
Survei Inperma untuk mendapatkan data primer dari masyarakat pengguna layanan dengan cara memetakan tingkat maladministrasi pada layanan publik dasar. Survei dilakukan kepada 2.818 responden yang tersebar di 10 kota dan 10 kabupaten pada 10 provinsi.
Provinsi yang disurvei merupakan 10 provinsi dengan nilai tertinggi dalam survei Kepatuhan terhadap Standar Layanan Publik Tahun 2017. Yakni Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Kota yang disurvei adalah Medan, Tanjungpinang, Jambi, Jakarta Pusat, Bandung, Serang, Kupang, Balikpapan, Makassar, Kendari. Sedangkan kabupaten yang disurvei adalah Deli Serdang, Lingga, Merangin, Kepulauan Seribu, Garut, Lebak, Timor Tengah Selatan, Kutai Kertanegara, Bone dan Konawe.
Berdasarkan hasil survei, 10 provinsi tersebut masuk dalam kategori maladministrasi rendah, dengan rentang nilai antara 4,38 sampai 6,25. Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi dengan indeks maladministrasi terendah, yakni 4,47. Diikuti oleh Provinsi Jawa Barat dengan indeks maladministrasi 4,98 dan DKI Jakarta mencatat 5,11.
Survei Inperma merupakan tahap lanjutan dari survei Kepatuhan terhadap Standar Pelayanan Publik yang sudah berlangsung sejak 2015.
“Penelitian ini bertujuan mendapatkan data primer dari pengguna layanan dengan cara memetakan tingkat maladministrasi pada layanan publik dasar seperti kesehatan, pendidikan, perizinan dan administrasi kependudukan,” katanya.
Menurut Adrianus, dimensi survei Inperma adalah penyimpangan standar pelayanan dan penyimpangan perilaku. Sedangkan yang menjadi indikator survei adalah penundaan berlarut, permintaan imbalan, penyimpangan prosedur, tidak kompeten, tidak patut dan diskriminasi pelayanan.
Hasil survei juga menunjukkan sebanyak 70,3 persen responden masih nyaman untuk mengurus secara langsung dibandingkan dengan mekanisme online atau memakai jasa perantara. Selain itu terkait kenyamanan dalam mengakses informasi tentang standar layanan, sebanyak 51,6 responden memilih untuk bertanya langsung kepada petugas.
Hasil Survei Inperma 2017, dari beberapa lokus yang menjadi target survei, indeks tertinggi maladministrasi adalah Provinsi Riau, sebaliknya Bali masuk indeks terendah maladministrasi. Selain itu sebanyak 66,70 persen responden merasa kurang nyaman berinteraksi dalam mengurus pelayanan publik secara online dan lebih memilih mengurus pelayanan publik secara langsung. [DAS]