Ilustrasi: Menteri Perdagangan Engiartiasto Lukito (kiri) di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Juli 2017/Istimewa

Koran Sulindo – Ombudsman Republik Indonesia meminta pemerintah mengawasi administrasi impor 4 komoditas pangan, yaitu beras, gula, garam, dan jagung.

“Peringatan dini yang kami sampaikan kepada pemerintah ini kami buat secara terbuka agar berbagai pihak bisa mengawasi administrasi impor dari empat komoditas pangan ini,” kata anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (4/2/2019), melalui rilis media.

Peringatan dini secara terbuka tersebut agar mencegah terjadinya maladministrasi berulang akibat melemahnya intensitas perhatian para pihak berwenang, khususnya ketika berlangsung tahun politik seperti sekarang.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia.

Menurut Ombusdman, impor komoditas pangan dalam 4 tahun terakhir masih memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional.

Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih/Ombusdman.go.id

Impor Beras

Total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton sedangkan pada kurun waktu 2010-2014 mencapai 6,5 juta ton. Jumlah total impor akan meningkat jika Pemerintah melakukan lagi tahun ini.

Namun dengan jumlah stok yang relatif memadai, yaitu sebesar 2,1 juta ton pada akhir 2018, pemerintah diminta tak perlu mengimpor beras tahun ini, kecuali terjadi krisis besar.

Menurut Ombusdman, ketidakpastian data produksi akibat maladministrasi pendataan yang berpangkal pada konflik kepentingan dalam penetapan data produksi telah menyebabkan BPS mengumumkan penghentian publikasi data produksi pada 2015. Perbaikan metode pendataan kemudian menghasilkan koreksi surplus produksi beras menjadi 2,85 juta ton pada 2018.

Ombusdman mengakui pemerintah relatif mampu mengendalikan harga untuk periode 2016 hingga pertengahan 2017 dengan memanfaatkan kontrak impor beras pada tahun 2015 yang direalisasikan sebesar 1,28 juta ton pada tahun 2016. Pemerintah berusaha untuk tidak melakukan impor di tahun 2017 dengan asumsi surplus berlimpah. Pemerintah berusaha melakukan pengendalian harga dengan mengeluarkan kebijakan penetapan HET beras dan melakukan operasi penertiban melalui Satgas Pangan POLRI.

Operasi satgas pangan telah menemukan satu perusahaan penggilingan padi besar (PT IBU) menjual harga terlalu tinggi. Namun pengadilan memutuskan kesalahan ada pada tidak sesuaian label dan isi. Ombudsman RI telah menyampaikan LAHP terkait dugaan maladministrasi di seputar penggerebekan beras PT IBU dan meminta kementerian dan lembaga terkait melakukan sejumlah tindakan korektif.

Meski penertiban terus dilakukan, pada empat bulan terakhir tahun 2017 terjadi kenaikan harga beras, sementara jumlah stok di Perum BULOG hanya mencapai 958 ribu ton (kurang dari 1 juta ton).

Pada 2018, Pemerintah memutuskan memperluas program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Keputusan ini telah menyebabkan masyarakat penerima manfaat melakukan pembelian langsung kebutuhan beras mereka ke pasar. Akibatnya jumlah rastra yang biasanya disalurkan Perum BULOG menurun drastis hingga 53%, sehingga terjadi tambahan 1 juta ton lebih stok di Perum BULOG. Kondisi ini menyebabkan harga beras di pasar relatif meningkat pada 2018, sementara jumlah stok di Perum BULOG juga meningkat menjadi 2,1 juta ton di akhir tahun. Persediaan diperkirakan akan meningkat  tahun ini karena Pemerintah berencana menerapkan program BPNT mencapai 80%.

Untuk mengantisipasi perkembangan jangka pendek, Ombudsman RI menyarankan agar Pemerintah segera membentuk kerangka kebijakan sisa cadangan (stock disposal policy) untuk perbaikan manajemen stok sebelum memutuskan mengambil langkah ekspor beras.

“Pemerintah juga harus melakukan klasifikasi stok dan mengutamakan pemanfaatan stok berkualitas agar operasi pasar cukup efektif mengatasi kenaikan harga akibat penerapan BPNT 80%, bukan berprioritas pada ekspor,” kata Alamsyah.

Gula

Total impor gula selama kurun waktu 2015-2018 mencapai 17,2 juta ton, lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2014 yang mencapai 12,7 juta ton. Pertumbuhan industri makanan dan minuman yang jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional telah menyebabkan peningkatan jumlah impor, mengingat produksi gula domestik tidak memenuhi standar industri.

Intensitas impor gula terhadap nilai tambah riil industri makanan dan minuman pada periode 2014-2018 juga mengalami peningkatan. Pada periode 2010-2014 mencapai 5.862 ton gula impor untuk setiap Rp 1 triliun nilai tambah riil industri makanan dan minuman. Sementara untuk kurun waktu 2015-2018 intensitas meningkat menjadi 6.950 ton untuk setiap Rp 1 triliun nilai tambah riil industri makanan dan minuman.

Kenaikan intensitas tersebut dapat disebabkan oleh perubahan struktur bahan baku dalam industri tersebut, atau disebabkan oleh faktor lain, seperti: peningkatan permintaan industri farmasi, hotel & restoran.

“Atau justru dikarenakan kelemahan dalam memverifikasi kebutuhan dan posisi stok industri pengusul impor. Faktor yang terakhir sangat berisiko kepada peningkatan rembesan yang mengganggu produksi domestik,” kata Alamsyah.

Investigasi Ombudsman menemukan arus gula impor juga mengganggu stabilitas produksi gula petani akibat adanya rembesan gula impor untuk industri yang beredar di pasar tradisional. Rembesan ini berdampak pada penurunan harga gula tebu petani. Di sisi lain penerapan SNI, dalam kondisi tertentu, juga menyebabkan gula petani sering tak bisa memasuki pasar.

Perkembangan harga gula domestik mengalami fluktuasi. Rentang fluktuasi harga pada kurun waktu 2015-2018 relatif lebih lebar dibandingkan dengan kurun waktu 2010-2014.

Pemerintah sempat membuat kebijakan pengawasan untuk mengurangi rembesan gula rafinasi melalui Pasar Lelang GKR, namun kemudian kebijakan tersebut kemudian dicabut dan berakibat maraknya rembesan gula impor karena tidak ada mekanisme deteksi rembesan.

Ombudsman RI menemukan di lapangan banyak IKM mendapatkan manfaat dari transparansi harga melalui lelang gula kering rafinasi tahap uji coba berupa harga lebih murah. Sementara asosiasi petani tebu berpendapat lelang tersebut dapat mengurangi risiko rembesan gula impor ke pasar konsumsi.

Ombudsman menyarankan Pemerintah kembali membentuk regulasi yang mengawasi peredaran gula impor dengan mempercepat pembentukan Peraturan Presiden tentang Penataan, Pembinaan dan Pengembangan Pasar Lelang Komoditas serta menetapkan kembali peraturan mengenai perdagangan GKR melalui pasar lelang komoditas.

Untuk mengantisipasi perkembangan jangka pendek, sekitar 3 bulan ke depan, Ombudsman menyarankan pemerintah memperketat proses verifikasi kebutuhan dan stok gula impor untuk industri; segera menetapkan hasil perhitungan neraca gula nasional; dan mengevaluasi penerapan SNI bagi gula petani.

Garam

Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, impor komoditas garam mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan total impor sebesar 12,3 juta ton, tertinggi pada 2018 yang mencapai 3,7 juta ton.

Tahun ini diperkirakan impor garam masih menjadi opsi bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan industri dengan standar kadar NaCl lebih tinggi dibanding produk lokal.

Harga garam dalam negeri mengalami lonjakan tak wajar di pertengahan 2017. Lonjakan harga diikuti oleh kebijakan impor dengan jumlah tinggi di awal tahun dengan persetujuan impor mencapai 3,7 juta ton.

Ombudsman menemukan beberapa maladministrasi impor pada 2018.

Pertama, persetujuan impor garam sebesar 3,7 juta ton tanpa validasi data oleh BPS sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan penentuan quota impor. Kedua, keputusan impor sebesar 3,7 juta ton tidak disertai rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan sebagaimana amanat UU No. 7/2016.

Ketiga, legitimasi impor garam 2,37 juta ton tanpa rekomendasi melalui ketentuan belaku surut pada PP No. 9/2018 yang diterbitkan hanya dalam waktu tiga hari (terhitung dari 13-15 Maret 2018), tanpa disertai Izin Prakarsa dari Presiden dan tidak adanya paraf persetujuan dari Menteri Kelautan dan Perikanan.

Paska penyerahan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI, Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah pula melakukan persidangan untuk memutus dugaan kartel garam terhadap 7 perusahaan.

Untuk mengantisipasi perkembangan jangka pendek, Ombudsman RI menyarankan pemerintah memperketat proses verifikasi kebutuhan garam impor untuk industri; mempercepat proses perhitungan stok garam produksi lokal; dan segera menetapkan hasil perhitungan neraca garam.

Jagung

Indonesia mengimpor jagung untuk kebutuhan pakan ternak. Untuk kurun waktu 2015-2018 jumlah impor hanya mencapai 5,7 juta ton, lebih rendah dibandingkan 2010-2014 yang mencapai 12,9 juta ton. Penurunan drastis terjadi pada 2016 karena Pemerintah membatasi impor jagung hanya 1,3 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,3 juta ton dengan alasan produksi dalam negeri meningkat dan sebagai upaya melindungi petani.

Namun pembatasan impor jagung untuk pakan malah menyebabkan impor gandum untuk pakan meningkat. Selisih impor gandum total dengan kebutuhan industri makanan adalah impor untuk pakan.

“Tidak ada penjelasan yang pasti dari Pemerintah atas kebijakan ini. Politik pengalihan impor jagung kepada komoditi yang tidak secara langsung terlihat berdampak terhadap produksi petani ini berlangsung hingga tahun 2017. Akibatnya impor gandum untuk pakan melonjak tinggi,” kata Alamsyah.

Impor Gandum pakan diperkirakan mencapai 2,2 juta ton pada 2016 dan 3,1 juta ton pada 2017.

Pada akhir tahun 2018 harga gandum dunia meningkat akibat gangguan panen di Australia. Impor gandum untuk pakan diperkirakan menurun menjadi 1,3 juta ton karena Rusia dan Ukraina membatasi ekspor gandum.

Kelangkaan jagung untuk pakan mengundang protes sejumlah peternak. Akibat hal itu pada 2019 keran impor jagung untuk pakan dibuka kembali, bahkan tanpa kuota. Untuk menjaga pasokan diprediksi Pemerintah akan mengambil kebijakan impor jagung cukup signifikan tahun ini.

“Ombudsman RI akan melakukan investigasi untuk mendalami administrasi impor jagung,” kata Alamsyah.

Untuk mengantisipasi perkembangan jangka pendek, Ombudsman menyarankan pemerintah melakukan evaluasi cepat dan memperketat proses verifikasi kebutuhan impor jagung maupun impor gandum untuk keperluan industri pakan sebagai basis penerbitan rekomendasi impor.

Pemerintah juga harus mempersiapkan manajemen stok pemerintah untuk mengatasi kelangkaan pasokan jagung pakan bagi peternak.

Peringatan dini tersebut dimaksudkan sebagai upaya cepat dalam mengantisipasi desakan kebutuhan pasar domestik yang dapat menyebabkan ketidaksiapan regulator.

“Penyampaian secara terbuka oleh Ombudsman RI semata-mata demi kepentingan publik luas,” kata Alamsyah. [DAS]