Ilustrasi kekuasaan oligarki masih mencengkram Indonesia [Foto: LBH Jakarta]

Koran Sulindo – Pengakuan pengusaha sekaligus pimpinan Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo tentang mendanai Joko Widodo sewaktu maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta adalah cara oligarki bekerja. Ia secara tak langsung mengakui sebagai salah satu oligarki di negeri ini.

Pengakuannya itu muncul lantaran ingin membantah pernyataan calon Presiden Jokowi dalam debat pemilihan presiden 17 Januari, yang menyebutkan, prinsip rekrutmen harus berbasis kompetensi, bukan karena finansial dan nepotisme. Jokowi lantas mencontohkan dirinya bersama dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ketika maju di pemilihan gubernur DKI pada 2012.

Menanggapi itu, Hashim yang juga Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) mengakui pernyataan Jokowi itu. Pasalnya, seluruh uang atau pembiayaan kampanye Jokowi dan Ahok berasal dari Hashim. Dan itu kenyataan, kata Hasim.

Pengakuan Hashim itu menarik untuk dianalisis terutama mengenai oligarki yang menguasai Indonesia. Seorang indonesianis Jeffrey Winters pernah menyinggung oligarki ini dalam kuliah umumnya dalam Oligarchy and the Jokowi Administration di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 2015. Direktur Pengembangan Kesetaraan dan Studi Globalisasi Northwestern University, Amerika Serikat (AS) itu menuturkan dinamika politik pemerintah Indonesia hingga kini masih dikuasai para oligarki (elite) dengan kepentingan kekuasaan.

Selepas rezim fasis militer Soeharto, kata Jeffrey, belum ada pola perubahan sistem pemerintahan secara mendasar manakala kekuasaan berbasis kepentingan masih membudaya dan terpelihara di kalangan elite politik. Perubahan dari Orba ke zaman reformasi hanya di permukaan. Tetapi, pemerintahan masih dikendalikan oleh kepentingan para oligarki.

Secara umum, definisi oligarki bisa diartikan sebagai sistem kekuasaan yang dijalankan atau dikendalikan oleh golongan atau pihak berkuasa dengn tujuan kepentingan golongan tersebut. Berdasarkan penelitiannya selama hampir 30 tahun, ia mengelompokkan dua model oligarki yang acap dibangun pemerintah yakni bersifat ekstraktif dan produktif. Sementara pemerintah Indonesia cenderung bersifat oligarki ekstraktif atau bertujuan untuk mencabut kepentingan publik.

Oligarki
Untuk membuktikan pernyataannya itu, Jeffrey merujuknya ke konteks pengelolaan sumber daya alam. Kendati negeri ini memiliki sumber daya alam yang melimpah, Indonesia masih tertinggal jauh dalam bidang apapun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, termasuk di bidang pertanian. Pengelolaan sumber daya alam termasuk minyak dan gas hanya dikelola golongan tertentu atau dimanfaatkan kalangan oligarki untuk mencapai kekayaan elite.

Seperti Jeffrey, John Perkins dalam Confessions of an Economic Hitman (2004) menyebutkan, sistem pemerintahan yang dikuasai para konglomerat sebagai korporatokrasi. Ia mendefinisikan korporatokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai atau dijalankan beberapa korporat.

Mereka – para korporat itu – umumnya para pengusaha kaya raya atau konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya dalam suatu negara. Para korporat ini juga umumnya membiayai para politikus, pejabat militer dan kepala-kepala instansi suatu negara. Kebijakan yang muncul dari sistem seperti ini hanya akan menguntungkan para konglomerat dan menindas golongan masyarakat yang lemah.

Dari pengakuan dan analisis tersebut, bukankah Hashim termasuk yang diuntungkan dari sistem oligarki tersebut? [KRG]