Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri

Koran Sulindo – Ribuan kader PDI Perjuangan “memerahkan” JIExpo Kemayoran pada 10 Januari lalu. Mereka hadir di sana untuk memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-46 PDI Perjuangan. Peringatan HUT itu juga dihadiri Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri serta keduanya tentu saja memakai baju merah.

Dalam peringatan HUT kali ini, partai yang acap mengidentifikasi dirinya sebagai partai wong cilik mengangkat tema “Persatuan Indonesia Bumikan Pancasila”. Tema ini diangkat bukannya tanpa dasar. Menurut Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, tema itu sebagai kekuatan pemersatu dan hadir sebagai “Rumah Kebangsaan Indonesia” yang merupakan jati diri partai.

Ia juga mencoba menghubung-hubungkan tema itu dengan angka 3 sebagai nomor urut PDI Perjuangan dalam kontestasi pemilihan umum 2019. “Karena itulah mengapa prinsip kebangsaan, nasionalisme dan dedikasi bagi bangsa dan negara selalu hidup dan dibumikan dengan baik. Sebab kami yakin bahwa ideologi Pancasila, gotong-royong dan semangat kerakyatan itulah yang menjadi kunci eksistensi partai,” kata Hasto seperti dikutip merdeka.com pada 10 Januari lalu.

Selain merayakan HUT PDI Perjuangan, gelaran yang mendatangkan ribuan kader itu sebagai usaha mengkonsolidasikan partai. Itu sebabnya, setelah peringatan HUT, PDI Perjuangan juga menggelar Rapat Koordinasi Nasional yang dihadiri 13.126 kader partai. Pesan utama yang akan disampaikan dalam peringatan HUT serta Rakornas ini adalah PDI Perjuangan siap mengawal pemerintah Joko Widodo di masa mendatang.

“Memenangkan PDI Perjuangan sekaligus memenangkan Jokowi – Ma’ruf Amin adalah satu tekad perjuangan menang untuk rakyat,” kata Hasto.

Yang menarik untuk dianalisis adalah perintah harian yang diucapkan Megawati ketika berpidato dalam Rakornas PDI Perjuangan. Secara umum ada 5 perintah harian Megawati sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Pertama, ia memerintahkan kepada seluruh kader untuk membumikan 4 pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Kedua, seluruh kader untuk terus melakukan otokritik, perbaikan ke dalam dan sempurnakanlah tugas utama partai di dalam menjaga kokohnya persatuan Indonesia.

Ketiga, seluruh kader diminta untuk terus berjuang dengan penuh keyakinan, tanpa pernah mengenal lelah termasuk memenangkan Jokowi – Ma’ruf Amin. Keempat, kader PDI Perjuangan diminta untuk menampilkan wajah politik yang penuh dengan kegembiraan untuk rakyat. Kobarkan harapan rakyat untuk bangkit dan berdiri. Terlebih hadirkan politik santun, penuh etika dan budi pekerti. ‎Terakhir, kader diminta tetap setia pada jalan hukum dan terus perkuat budaya tertib hukum serta wujudkan pemilu yang demokratis.

Semua poin-poin perintah harian Megawati itu bersifat ideologis. Karenanya, perintah harian itu menarik untuk dikaji dan dianalisis. Menurut politikus senior PDI Perjuangan, Izedrik Emir Moeis, perintah harian yang bersifat ideologis itu bisa dimaknai 2 hal. Pertama, Megawati ingin mengembalikan khitah PDI Perjuangan sebagai partai ideologis sekaligus partai berbasis massa. Sebagai partai ideologis, maka sudah seharusnya setiap kader memiliki disiplin tinggi untuk tunduk dan menjalankan semua kebijakan partai yang telah diputuskan secara demokratis.

Disiplin itu bukan untuk membuat partai menjadi otoriter melainkan untuk menegaskan sebuah demokrasi juga harus dipimpin atau terpusat. Dengan demikian, sudah semestinya setiap kader memiliki disiplin tinggi atau disiplin baja sebagai perisai untuk mencegah liberalisasi di lapangan ideologi. Terlebih ideologi yang melekat dengan PDI Perjuangan tidak pernah jauh dari apa yang disebut Bung Karno sebagai marhaenisme atau wong cilik itu.

Berkaitan dengan disiplin baja ini, Emir merujuk kepada perintah harian Megawati pada poin kedua dimana Megawati meminta kader untuk melakukan otokritik dan perbaikan ke dalam untuk mewujudkan tugas utama partai menjaga persatuan nasional. Tentang otokritik dan perbaikan ke dalam ini, menurut salah seorang tokoh Revolusi Oktober Rusia, mengajar dan mendidik kader belajar dari kesalahan-kesalahan yang terjadi, sebab hanya dengan demikian baru dapat mendidik kader-kader sejati dan pemimpin-pemimpin partai yang sejati.

Otokritik
Sikap suatu partai yang mau belajar dari kesalahan-kesalahannya adalah ukuran yang terpenting dan terpercaya dari kesungguh-sungguhan partai itu dan bagaimana sebuah partai menunaikan dalam praktik kewajiban-kewajibannya terhadap basis massanya. Secara terbuka mengakui kesalahan, menyingkap sebab-sebabnya, menganalisis keadaan-keadaan yang telah menimbulkannya dan dengan seksama mendiskusikan cara-cara untuk memperbaikinya.

Inilah tanda suatu partai yang serius, karena begitulah sebuah partai menunaikan kewajibannya, mendidik dan melatih kader dan kemudian massa. Itu sebabnya, membeberkan kesalahan dan belajar serta melakukan otokritik bukanlah sesuatu yang berbahaya bagi partai. Selanjutnya, demikian Emir, perintah harian Megawati itu juga bermakna semacam “perpisahan”. Sebelum meninggalkan “panggung” politik, Megawati seakan-akan ingin menegaskan kepada seluruh kader partai untuk terus menjaga dan mewarisi ideologi serta disiplin partai itu.

“Semacam penegasan akan ada regenerasi kepemimpinan dalam partai,” kata Emir Moeis yang juga pendiri Koran Suluh Indonesia.

Berdasarkan itu, posisi politik dan capaian PDI Perjuangan hari ini tentu saja tidak turun dari langit dan diperoleh begitu saja. Gerak sejarah partai ini telah merentang panjang sejak – walau secara tidak langsung – zaman Bung Karno hingga selepas zaman reformasi. Dan seringkali pula identik dengan wong cilik, marhaen atau rakyat tertindas.

Karena identifikasi itu pula, tentu saja basis perolehan suara PDI Perjuangan berasal dari kaum rakyat banyak itu. Berkat suara kaum marhaen dan wong cilik, PDI Perjuangan bisa eksis dan bertahan hingga hari ini. Perolehan suara PDI Perjuangan memang mengalami naik turun sejak zaman rezim fasis militer Soeharto hingga 20 tahun reformasi.

Untuk periode 2014 hingga 2019, PDI Perjuangan lagi-lagi mendulang suara terbanyak untuk pemilihan legislatif. Kendati memiliki perwakilan terbanyak di parlemen, PDI Perjuangan lagi-lagi tidak pernah mampu mendudukkan kadernya sebagai pimpinan DPR. Dan itu bukan kali pertama terjadi, sejak zaman rezim Soeharto hingga mendulang suara terbanyak untuk kali pertama pada periode 1999 hingga 2004, partai selalu gagal menduduki kursi nomor satu di DPR.

Karena fakta itu, lalu muncul istilah PDI Perjuangan acap memenangi pemilihan legislatif, tapi nyatanya tidak pernah “berkuasa”. Dengan kata lain, PDI Perjuangan hanya jago dalam pemilihan legislatif, tapi tidak untuk eksekutif. Pendeknya, menang tapi tidak berkuasa. Atas fenomena itu, benarkah PDI Perjuangan demikian?

Dalam buku Gerak Sejarah Partai Banteng: PNI, PDI, PDI Perjuangan eksistensi partai ini disebut tidak terlepas dari pergerakan nasional bangsa Indonesia. Sejak berseminya kesadaran politik sejumlah anak bangsa pada awal abad ke-20, sudah memunculkan berbagai organisasi kemasyarakatan yang merupakan cikal bakal partai politik di negeri ini.

Sejarah terbentuknya PDI Perjuangan berawal dari kebijakan rezim Soeharto yang ingin menyederhanakan partai politik menjadi 2 partai dan 1 golongan. Tepatnya pada 9 Maret 1970, terbentuklah “kelompok nasionalis” yang terdiri atas gabungan PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba. Kelompok ini awalnya menamai diri mereka sebagai “Kelompok Demokrasi Pembangunan”. Kelompok ini merupakan cikal bakal dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara “kelompok spirituil” yang merupakan gabungan dari partai-partai Islam seperti NU, Parmusi, PSII, dan Perti adalah cikal bakal Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sejarah Partai
Setelah Pemilu 1971, pemerintah mendesak agar partai-partai politik segera mengadakan fusi. Bahkan MPR hasil Pemilu 1971 menyatakan secara tegas pada pemilu selanjutnya hanya akan ada 3 peserta pemilu. Karena paksaan itu, maka Kelompok Demokrasi Pembangunan segera bermusyawarah untuk membentuk sebuah partai baru. Akhirnya kesepakatan untuk menamai kelompok tersebut menjadi PDI tercapai pada 10 Januari 1973.

Setelah resmi menjadi PDI, partai ini memeroleh suara sekitar 8,6% suara atau 29 kursi di DPR pada Pemilu 1977. Kemudian, 5 tahun berselang hasil perolehan suara PDI turun menjadi 7,88% suara atau hanya 24 kursi di DPR. Menurut Sabam Sirait, jebloknya perolehan suara PDI selama 2 kali pemilu pada awal-awal terbentuknya partai itu lantaran tidak adanya kesatuan gerak dari semua pihak di partai dalam melaksanakan program yang sudah disepakati bersama. Belum adanya kesepakatan mengenai posisi partai dalam hubungannya dengan masyarakat, pemerintah dan kekuatan sosial politik lainnya.

Untuk mengatasi masalah itu, PDI merasa perlunya mendidik kader secara berkesinambungan. Gagasan agar PDI menjadi partai kader pun dilaksanakan sebagaimana hasil Kongres II partai. Tapi, tentu saja itu bukan perkara mudah. Apalagi PDI terbentuk dari beragam latar belakang. Wajar kemudian tidak ada satu ideologi yang menyatukan para kader partai.

Pendek cerita, pemerintah lalu mencampuri urusan internal PDI. Campur tangan itu dengan menunjuk Soerjadi (mantan Ketua GMNI dan Sekretaris Fraksi PDI) menjadi Ketua Umum. meski tidak pernah menjadi pengurus, Soerjadi dinilai sosok yang “bersih” dari konflik partai di masa lalu. Tokoh-tokoh senior PDI “dibuang” dan mulai merekrut orang-orang muda termasuk mengajak anak-anak Bung Karno masuk ke dalam PDI.

Tanpa ia duga, ide Soerjadi itu mendapat sambutan dari tokoh-tokoh senior PDI. Awalnya, ia mengajak Guntur Soekarnoputra. Guntur menolak ajakan itu. Kemudian, Soerjadi mengajak Megawati Soekarnoputri lewat Taufiq Kiemas yang sudah masuk ke PDI sejak 1982. Setelah itu, Guruh Soekarnoputra mengikuti jejak Megawati. Benar saja, strategi Soerjadi jitu. Terbukti PDI mendulang suara hingga 10,87% suara atau sama dengan 40 kursi di DPR pada 1987. Kemudian, Pemilu 1992, PDI mendapat suara 14,9% suara atau 56 kursi di DPR. Sejak masuknya keluarga Bung Karno ke PDI, partai ini kemudian identik dengan wong cilik.

Kesuksesan PDI itu kemudian mendapat reaksi negatif dari Soeharto. PDI kemudian diintervensi. Soerjadi dijungkalkan. Kekosongan kepemimpinan di PDI justru membuka jalan bagi Megawati untuk memimpin partai itu. Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya pada 1993 menetapkan Megawati sebagai Ketua Umum. Secara resmi pengurus PDI di bawah Megawati bertemu dengan Presiden Soeharto pada 1994 di Bina Graha. Setelah setahun memimpin PDI, pemerintah fasis militer Soeharto berupaya menggoyang Megawati dengan berbagai isu. Puncaknya adalah “kerusuhan 27 Juli 1996”.

Setelah itu terjadi dualisme kepengurusan di PDI. Satunya di bawah pimpinan Soerjadi dan satunya lagi di bawah Megawati. Sementara pemerintah hanya mengakui kepemimpinan Soerjadi. Perubahan politik di Indonesia bergerak cepat. Setelah peristiwa 27 Juli 1996 itu, Soeharto kembali terpilih menjadi presiden pada 1997. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, penolakan terhadap Soeharto semakin besar. Setelah melewati berbagai peristiwa, gerakan demokratis rakyat berhasil memaksa Soeharto turun dari jabatannya pada Mei 1998.

Merespons perubahan politik itu, PDI pro-Megawati lantas mengadakan Kongres partai di Bali pada Oktober 1998. Setelah itu partai ini resmi berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Untuk menghadapi pemilu, partai ini secara resmi mendeklarasikan namanya menjadi PDI Perjuangan pada 7 Juni 1999. Ribuan orang mendatangi deklarasi tersebut. Itu dilakukan karena Presiden Habibie hanya mengakui satu PDI di bawah pimpinan Soerjadi. Pada Pemilu 1999, PDI Perjuangan berhasil meraih 33,7% suara atau setara 153 kursi DPR.

Setelah itu, pada Pemilu 2004, Partai Golkar berhasil menyalip PDI Perjuangan untuk perolehan suara di parlemen. PDI Perjuangan hanya berhasil menempati posisi kedua dengan perolehan suara yang menurun drastis 18,9% suara atau 109 kursi di DPR. Selanjutnya pada Pemilu 2009, perolehan suara PDI Perjuangan semakin melorot menjadi urutan ketiga yaitu 14,03% suara atau 95 kursi di DPR. Kemenangan di parlemen baru diraih lagi pada Pemilu 2014 dengan 18,95% suara atau dengan raihan 109 kursi DPR. Untuk 2019, tampaknya menarik untuk menunggu hasil yang akan diperoleh PDI Perjuangan. [Kristian Ginting]