Koran Sulindo – Harus diakui, orang Indonesia ini umumnya kurang peduli terhadap antisipasi bencana dan upaya mengurangi dampak bencana atau mitigasi. Padahal, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi bencana sangat besar, terutama bencana geologis.
Soal ini kembali diingatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan saat membuka geoseminar bertema “Strategi Mitigasi Gunung Api Anak Krakatau di Kawasan Selat Sunda” di kantornya, Jakarta, Senin (21/1). Karena itu, ia ingin mengundang berbagai ahli terkait persoalan itu secara lintas instansi. Dengan demikian akan ada pembahasan komprehensif, yang pada gilirannya menghasilkan rekomendasi yang kaya data, dengan tingkat akurasi tinggi.
“Tidak boleh ada ego institusi, apalagi ego pribadi. Sebaiknya ada diskusi, kesepakatan. Saya pernah dengar, misalnya, peta wilayah rawan bencana. Kalau dikumpulkan tim dari tiga unit kerja berbeda, hasilnya bisa tiga peta, padahal bahannya sama. Maka perlu kerja sama dengan baik. Yang dipertaruhkan adalah keselamatan nyawa manusia. Hatinya harus terbuka, jangan ego,” tutur Jonan.
Bencana geologis, lanjutnya, merupakan sesuatu yang tak bisa diprediksi secara akurat. Sejauh ini, teknologi yang ada hanya bisa mendeteksi kondisi gunung atau lempengan bawah laut, tapi tidak bisa memastikan apakah akan ada bencana setelah itu. Karena, tak semua erupsi gunung menyebabkan gempa atau tsunami.
“Hampir tidak ada bencana geologi yang bisa dicegah. Yang ada mitigasi, sehingga bisa mengurangi korban jiwa dan material,” katanya
Kendati begitu, mitigasi yang efektif barus bisa dilakukan jika informasi bisa dihimpun secara keseluruhan, bukan setengah-setengah. Ia pun meminta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan badan lainnya untuk proaktif memberi masukan terkait mitigasi bencana.
Selama ini, menurut dia, Badan Geologi Kementerian ESDM masih jarang menerima masukan dari pihak luar. Kasus tsunami di Banten akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau menjadi pelajaran besar untuk lebih waspada ke depannya.
“Untuk peneliti, pengamat, dan lain-lain, kalau memang ada masukan tolong sampaikan, diundang bersama. Diskusi, jangan diam saja. Semua pihak harus introspeksi apa kekurangan masing-masing. Tidak mungkin tak ada analisis atau prediksi. Ini perlu dibahas terbuka,” tutur Jonan.
Kalau perlu, katanya lagi, dibuat kurikulum pendidikan terkait mitigasi bencana. Juga perlu sosialisasi yang gencar ke setiap pemerintah daerah untuk menumbuhkan kesadaran masyarakatnya.
Mitigasi bencana, tambahnya, bukan ajang adu kepintaran, tapi untuk mengurangi korban jiwa dan harta benda. Karena itu, Jonan sekali lagi menekankan pentingnya menghapus ego.
“Kalau hatinya enggak terbuka, susah diskusi, ego timbul. Menurut saya begini, menurut itu begitu. Toh tidak ada yang sama-sama pernah masuk perut Bumi? Kalau teori mungkin memang kita dapat di sekolah,” ujarnya.
Terkait mitigasi bencana, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho pada kesempatan berbeda mengingatkan, rencana pembangunan 10 destinasi pariwisata prioritas atau Program 10 Bali Baru memerlukan kajian mitigasi. Karena, dari 10 kawasan destinasi pariwisata prioritas itu terdapat 8 kawasan berada di zona rawan bencana.
Pembangunannya hendaknya memperhatikan peta rawan bencana. Dengan begitu, sejak perencanaan hingga operasional selalu dikaitkan dengan ancaman bencana yang ada.
“Rencana pembangunan 10 Bali Baru atau 10 destinasi pariwisata prioritas yang akan dibangun, yaitu Danau Toba, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Kepulauan Seribu dan Kota Tua, Borobudur, Bromo Tengger Semeru, Wakatobi, Mandalika, Morotai, dan Labuan Bajo hendaknya mengaitkan mitigasi dan pengurangan risiko bencana, sehingga daerah pariwisata tersebut aman dari bencana. Faktanya, 8 dari 10 daerah prioritas pariwisata tersebut berada pada daerah yang rawan gempa dan sebagian tsunami. Apalagi, investasi pengembangan 10 detinasi pariwisata prioritas dan kawasan strategis pariwisata nasional tersebut sangat besar, Rp 500 triliun,” ungkap Sutopo, Rabu (16/1).
Ia juga berpandangan, koordinasi berbagai pihak perlu dilakukan. Karena, industri pariwisata Indonesia rentan bencana, meski memiliki banyak keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Di banyak daerah di Indonesia, sektor pariwisata telah mampu meningkatkan pendapatan asli daerah dan semakin meningkatkan pendapat masyarakat sekitarnya.
Yang pasti, sebaik apa pun gagasannya, jika hanya dibicarakan, tanpa aksi, semua itu tak lebih dari angan-angan belaka. Mengapa tidak Kementerian ESDM atau BNPB yang menjadi inisiator koordinasi antar-pihak terkait? [RAF]