Koran Sulindo – Pada tahun 2018 ini, 20 tahun Reformasi diperingati dan 70 tahun dirayakannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di dunia. Reformasi diperjuangkan dengan pengorbanan besar oleh rakyat Indonesia untuk melawan rezim otoriter di bawah Presiden Soeharto. Reformasi dilakukan untuk mewujudkan negara hukum Indonesia yang demokratis, yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.
Selama masa Reformasi ini telah lahir konstitusi baru yang menjamin hak asasi manusia, yang diikuti dengan pembatasan kekuasaan pemerintahan, pemisahan Polri dan TNI, dan berdirinya berbagai lembaga negara independen. Semua itu diharapkan mampu menopang demokrasi dan rule of law Indonesia.
Namun, menurut Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta 2018, Indonesia dan berbagai negara di dunia, khususnya di Asia, kini dihadapkan pada situasi resesi demokrasi (democratic decline), yang ditandai dengan mundurnya performa sebagai negara demokrasi. “Tidak terkecuali Indonesia, yang mengalami degradasi indeks demokrasi terburuk pasca-Reformasi. Situasi ini juga diikuti dengan semakin mundurnya indeks pemberantasan korupsi. Juga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)/NGO sebagai bagian penting dari civil society,” tulis Direktur LBH Jakarta Arif Maulana pada buku catatan akhir tahun tersebut.
Menurut dia, penurunan kualitas demokrasi ini merupakan konsekuensi dari lambatnya konsolidasi, baik dari pemantapan kapasitas institusi demokrasi maupun kematangan budaya-politik. Akibatnya, praktik demokrasi justru tidak mencerminkan tegaknya prinsip-prinsip demokrasi.
“Stagnansi atau bahkan gagalnya transisi demokrasi di Indonesia akan mengakibatkan Indonesia terjebak pada kondisi demokrasi yang rentan (unconsolidated democracy),” kata Arif.
Soal ini penting diperhatikan mengingat, menurut Juan Linz dan Alfred Stephen dalam buku Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996), transisi dari satu rezim otoriter ke suatu rezim yang baru belum tentu menuju suatu pemerintahan demokratis dan masyarakat berkeadaban. “Sudah empat kali pemilu dilaksanakan untuk memilih wakil rakyat yang melaksanakan mandat Reformasi. Tahun depan kembali akan berlangsung pemilu yang akan menentukan bagaimana perjalanan konsolidasi demokrasi Indonesia. Namun, tampaknya, pemilu hanya akan berjalan secara formal seremonial,” tutur Arif.
Pemilu, lanjutnya, seperti kehilangan esensi. “Benar ada pemilu, tapi sistem pemilu tidak mampu menjadi jembatan bagi tersalurkannya kedaulatan dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya
Penentuan wakil rakyat juga masih elitis, transaksional, birokratis, dan ditentukan oleh partai penguasa melalui sistem pemilu yang hegemonik. Oligarki masih bercokol kuat di balik topeng demokrasi.
“Di awal masa pemerintahan Jokowi, janji penegakan hak asasi manusia sempat melambungkan harapan masyarakat Indonesia akan hadirnya negara baru yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun, bagaimana fakta yang hadir? Kemunduran demokrasi terus berlangsung, penegakan hukum dan hak asasi manusia terus kalah dan diabaikan. Hukum hanya dijadikan alat politik dan kekuasaan. Fenomena rule by law yang tersaji bukan rule of law. Semangat Reformasi kian lesu. Api Reformasi hampir mati. Negara yang mestinya tampil sebagai pemegang tanggung jawab penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak asasi manusia justru acap kali melakukan pembiaran dan bahkan menjadi pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi,” kata Arif lagi.