Di era kolonial, buruh kereta api dan trem merupakan golongan yang paling sadar kela.

Pesatnya pertumbuhan sektor industri dan komersial di perkotaan-perkotaan Jawa setelah tahun 1870 di sisi lain juga diiringi perluasan kesempatan pendidikan bagi pribumi. Pekerjaan yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi orang-orang Eropa atau Indo-Eropa, mulai disediakan bagi pribumi.

Ide-ide persamaan ini mulai dibayangkan buruh jauh ketika mereka masih bersekolah dan terus dipupuk ketika mulai berkarir di pemerintahan dan swasta. Juga saat mereka mulai mencapai posisi yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi ras-ras lain.

Mereka mulai membandingkan nasib mereka, bukan hanya dengan buruh atau petani pribumi yang dibayar harian namun membandingkan dengan pekerja-pekerja Eropa yang menjadi kolega mereka.

Di akhir tahun 1910 hingga 1920, sebagian besar tenaga kerja di perkotaan lambat laun menjadi sadar ketika perbedaan upah sangat terleihat antara mereka dengan para buruh Eropa. Kondisi antagonis yang sangat kuat itu umumnya muncul di antara golongan buruh-buruh terampil yang akrab dengan ide-ide intelektual di perkotaan.

Di sektor-sektor yang lebih umum, meski buruh Eropa dan pribumi tetap bekerja berdampingan. Buruh pribumi tak hanya tersinggung dengan sikap manajer Eropa yang suka merendahkan, tapi juga tersinggung bahwa mereka dibayar lebih baik dan lebih tinggi.

Dari semua sektor industri, perubahan komposisi rasial paling secara radikal terjadi pada industri perkeretaapian di Jawa.

Di akhir abad ke-19, semua masinis, kepala stasiun dan kepala administrasi dipastikan seluruhnya orang Eropa. Dominasi itu mulai mencair di awal abad ke-20 ketika jaringan kereta api diperluas dan orang-orang pribumi yang menjadi masisnis atau kondektur mulai terlihat biasa di tahun 1914.

Sementara buruh pribumi pelan tapi pasti mulai merebut dominasi pekerjaan dari orang Eropa, mereka pada akhirnya menemukan diri mereka justru terhambat sistem pengupahan yang rasial yang membuat mereka kecewa.

Bayaran tertinggi tentu  saja diberikan kepada para pekerja Eropa yang disusul berikutnya oleh pekerja-pekerja Indo dan Cina. Buruh pribumi berada pada tempat terbawah skala penghitungan gaji tersebut bahkan sekalipun mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan buruh Cina, Indo dan Eropa itu.

Rasial

Sementara majikan secara moral meyakini sistem penggajian pribumi harus lebih rendah dibanding Eropa dan Timur Asing, dominasi inipun belakangan susah dipertahankan.

Di bawah tekanan serikat buruh pekerja akhirnya pada bulan April 1916 perusahaan kereta api setuju membayar upah yang sama dan mensyaratkan kualifikasi yang sama kepada pribumi untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu. Meski dianggap memiliki sedikit pengaruh, standar upah yang sama tersebut dianggap sebagai titik tolak penting persamaan hak buruh di Hindia.

Bermulanya kebencian dari buruh trem dan kereta api itu bukannya tanpa alasan. Industri inilah yang kali pertama mengadopsi hubungan majikan-buruh yang kaku dengan regulasi layanan yang dikonsep dengan teliti, karir, dan susunan upah yang tetap.

Di sisi lain, karena mobilitas terus menerus yang dilakukan buruh kereta, pemukiman yang dekat rel dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi serta kebiasaan mereka berhubungan dengan rekan kerja Eropa kebangkitan identitas rasial menjadi keniscayaan bagi mereka.

Kebencian itu makin subur akibat perlakuan sewenang-wenang yang mereka terima dari orang-orang Eropa itu berakumulasi dengan kebencian yang makin mendalam akibat ketimpangan rasial.

Volharding, sebuah jurnal berbahasa Belanda yang diterbitkan Verenigingvor Spoor-en Tramswegpersoneel atau VSTP dalam edisi 15 Juli 1914 menulis pengalaman rasial seorang buruh trem pribumi yang anak-anaknya dilarang membeli kartu abonemen.

“Anak-anak dan pribumi! Pembatasan seperti itu menimbulkan kepahitan dan rasa penghinaan yang sama sebagai tanda ‘Orang Kecil’ di trem, delman diperuntukkan oleh beberapa perusahaan kereta.”

“Mereka pasti berpikir, bahwa industri itu dijalankan sebagian besar oleh masinis, petugas stasiun dan pegawai kereta yang disebut sebagai ‘Orang Kecil’. Mereka seharusnya menunjukkan rasa hormat terhadap yang menciptakan tenaga kerja yang banyak untuk keuntungan mereka.”

Kepedulian pribumi khususnya pekerja perkotaan terhadap hambatan rasial dan penolakan status inferior digambarkan dengan tepat dalam sebuah laporan di Batavia Nieuwsblad yang terbit 26 November 1914.

Artikel tersebut menceritakan seorang berkebangsaan Eropa berpakaian bagus yang mengambil uang dari sakunya. Ia memandang petugas karcis berkebangsaan Indonesia dengan pandangan yang amat menghina ketika diminta membayar ongkos, di dalam trem di Batavia.

Lelaki Eropa itu belakangan memilih menaruh uangnya itu di samping tempat duduknya, daripada memberikannya langsung ke tangan petugas yang terulur. Bersamaan dengan trem yang terus bergerak uang jatuh ke bawah tempat duduk.

Penumpang itu kemudian memandang kembali petugas dengan pandangan yang hina dan dengan jelas menyuruhnya membungkuk untuk mengambil uang tersebut. Petugas itu memilih tetap berdiri dengan menjulurkan tangan dengan pandangan tetap ke arah penumpang itu.

Orang Belanda itu jelas terkejut dengan sikap menantang itu, namun dengan rasa malas akhirnya mengambil uang tersebut dan sekali lagi menaruhnya di samping tempat duduknya.

Petugas itu kemudian mengambil uang itu dan menaruh kembalian serta karcis ke tempat duduk itu, di mana uang itu kembali jatuh ke bawah tempat duduk. Dengan rasa puas petugas itu pergi, sedangkan orang Belanda tersebut sekali lagi terpaksa harus memutuskan akan menurunkan harga dirinya atau akan kehilangan uangnya.

Standar Hidup

Standar hidup yang meningkat bagaimanapun menstimulasi kebutuhan gaji yang lebih baik,  sementara di sisi lain mereka muncul kesadaran bahwa selama ini mereka diberlakukan dengan buruk oleh sistem kolonial yang rasis.

Dalam artikel Gelijk werk, Gelijk rechten atau ‘Persamaan Kerja Persamaan Hak’ yang diterbitkan Voldharding pada 15 Juli 1914 ditulis seorang petugas kereta bersuku Jawa yang mengeluhkan perlakuan berbeda buruh Eropa dan buruh pribumi.

Aturan yang dikeluhkan buruh itu mengatur jika seorang buruh Eropa meninggal di tempat kerja, maka uang pensiun akan diberikan kepada keluarganya, hal yang tak mungkin dilakukan jika yang meninggal adalah buruh pribumi.

“Buruh pribumi dan buruh Eropa, jawab pertanyaan ini. Mengapa buruh Eropa menerima gaji lebih besar daripada yang diterima koleganya yang pribumi dan mengapa buruh pribumi meduduki posisi yang sangat tidak terpilih dalam menuntut hakpensiunnya? Bahkan jika mereka melakukan pekerjaan yang sama bagaimana ini bisa terjadi?”

“Jawabannya tak kurang dari pernyataan ini. Selama pemilik perkebunan mendapatkan keuntungan dari kepatuhan, kelemahan, keterbelakangan, kerugian yang ada pada pribumi… maka perusahaan-perusahaan keretepun juga demikian. Mereka terus melanjutkan ketidakadilan mereka tanpa ada perasaan bersalah. Nilai buruh bukan benar atau salah, adil atau tidak adil…kata-kata samar tidak memiliki arti yang tepat.”

“Apa yang perusahaan-perusahaan kereta tersebut lakukan, dapat mereka lakukan karena ketidakberdayaan para buruh karena mereka tidak menyadari kepentingan mereka sendiri.”

Voldharding dalam terbitannya tanggal 31 Agustus 1914 juga menulis, seorang buruh kereta lain, juga bersuku Jawa kepada jurnal serikat buruhnya berkeluh kesah bahwa buruh pribumi hanya dapat mengambil cuti selama dua minggu setiap tahun tanpa tambahan apapun. Berbeda dengan buruh Belanda yang bisa mengambil cuti selama sebulan penuh setiap tahun itupun masih dengan tambahan-tambahan yang lain.

Mengutip buruh itu, jurnal itu menyebut sistem tersebut sangat tidak adil sekaligus mengatakan, “tidak mengherankan tuntutan persamaan hak timbul dari dunia Jawa.”

Pada edisi 17 November 2015, Voldharding berdasarkan surat seorang buruh mengajukan persamaan kesempatan bagi buruh-buruh pribumi. Surat itu menyebut ketika seseorang melihat juru ketik kelas-2 pribumi di stastiun kereta api, kepala stasiun selalu orang Eropa.

“Masyarakat begitu sering berkata bahwa orang-orang pribumi hanya memiliki sedikit kemampuan. Bahwa saya menemukan ketidakadilan… Kami orang-orang pribumi bahagia dan merasa bangga akan pekerjaan kami di statsiun sebagai petugas, karena dengan ini kami dapat menunjukkan bahwa kami mampu melakukan pekerjaan yang sama yang dapat dilakukan kolega kami yang berkebangsaan Eropa. Kami benar- benar memiliki kemampuan.”

Normatif

Dalam edisi 22 Januari 1916, Voldharding menulis tentang seorang buruh kereta di Semarang yang mengeluhkan tingginya biaya untuk mendapat perumahan yang layak. Bagi buruh pribumi, kondisi itu makin sulit karena mereka dibayar lebih rendah dibanding orang Eropa, bahkan jika mereka melakukan pekerjaan yang sama.

Penghasilan yang njomplang itulah yang membuat buruh pribumi sulit bersaing untuk mendapatkan tempat tinggal yang baik. Mengutip seorang juru ketik kelas dua, Voldharding menulis tanpa perumahan yang layak akhirnya mereka terpaksa tinggal di kampung-kampung kumuh.

“Bagaimana bisa pribumi, yang kini menuntut tingkat kesehatan dan kebersihan setara dengan orang Barat, memenuhi kebutuhannya dengan upahnya yang berbanding 1:2 dengan pendapatan orang Barat meski keduanya memiliki kebutuhan sama.”

Perubahan-perubahan penting dalam kesadaran buruh khususnya buruh-buruh di perkotaan dimanifestasikan dalam ekspresi keluh-kesah mereka pada pertemuan cabang serikat-serikat buruh lokal. Keluhan utama umumnya ditujukan terhadap lamanya jam kerja, jarangnya hari libur, dan denda yang dengan sewenang-wenang dibebankan kepada buruh jika melakukan kesalahan.

Sementara buruh pribumi lambat menyadari eksploitasi dan perlakuan kasar yang mereka terima, kemarahan mereka tersalurkan ketika pecah aksi-aksi mogok kerja secara spontan.

Di sisi lain, sistem denda ekstensif yang sengaja dibentuk majikan Eropa sebagai satu-satunya cara untuk menerapkan kedisiplinan industrial pada tenaga kerja yang baru datang dari pedesaan yang dianggap masih tradisional.

Meski kekerasan fisik dianggap tak biasa, orang-orang Eropa yang baru pertama kali datang ke Hindia akan dengan cepat mempelajari deretan frasa penyiksaan pada orang Melayu atau Jawa.

Di akhir tahun 1910, manajer-manjer Eropa sering mengeluh dalam laporan-laporan mereka dan jurnal-jurnal perserikatan mengatakan bahwa hidup di tanah koloni ternyata tak sama dengan kehidupan yang selama ini mereka jalani.

Pribumi dianggap tak lagi berlaku pantas dan hormat seperti keinginan mereka. Orang-orang Eropa itu mengaku syok dengan privilege yang tak lagi dinikmatinya dan status sebagai ‘tuan’ dijungkirbalikkan.

Saat gelombang ‘pemberontakan’ buruh kereta api pecah antara tahun 1918-1919, orang Eropa baru menyadari status mereka terancam ketika buruh melengkapi aksinya dengan membawa kayu sekaligus menghancurkan bangku-bangku untuk memperoleh kepastian.

Di Jawa yang berubah dengan cepat, kepedulian rasial yang dimulai kaum buruh pada gilirannya membawa perubahan-perubahan penting terhadap kesadaran nasional. Pemegang kekuasaan tradisional pribumi seperti Bupati, Patih atau Kepala Kampung segera kehilangan kekuasaan dan hak serta dan tak bisa lagi semata-mata tergantung pada politik respek untuk mempertahankan kendali sosial.

Di sisi lain meski transformasi sosial yang diinisiasi buruh di perkotaan itu bisa dilihat sebagai embrio kepedulian kelas yang paling awal, namun transformasi itu tak berkembang lebih jauh. Kepedulian kelas itu terlalu mudah ‘terselip’ dalam isu-isu rasial yang lebih populis.

Sementara sektor modern perekonomian berada di tangan manajer dan penyelia Eropa yang menjalankan kepentingan modal Eropa, sektor ekonomi lainnya seperti industri batik dan perniagaan tetap dikendalikan orang-orang Cina dengan buruh-buruh perkotaan membuat kontrak harian, sentimen rasial dan antagonisme tetap lebih menonjol dibanding sentimen kelas.[TGU]