Ilustrasi tsunami

Koran Sulindo – Gelombang tsunami yang menghantam pesisir Pantai Pandeglang menyebabkan puluhan orang tewas dan ratusan terluka. Data terbaru yang disampaikan petugas medis di Puskesmas Carita pada Minggu (23/12) total orang yang tewas telah mencapai 50 orang.

Petugas medis Puskemas Carita, Sri Supriati menuturkan, korban tewas yang dibawa ke Puskesmas Carita adalah jenazah yang ditemukan di sekitar Carita. Sementara korban di luar Carita seperti Panimbang dan Tanjung Lesung dikumpulkan di Puskesmas Panimbang dan Sumur.

Berdasarkan pantauan wartawan kompas.com, dari 45 jenazah, baru 3 yang bisa dikenali. Mereka adalah Ekawati, 55 tahun warga Jakarta, Putri Pusakawati, 16 tahun warga Warunggunung, Lebak dan Zubair Zahdi, 2 tahun warga Jakarta. Korban tewas mulai berdatangan sejak Minggu pagi dan diperkirakan akan terus bertambah.

Kronologi
Mengenai gelombang tsunami ini, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) punya ceritanya. Awalnya lembaga ini lewat akun media sosialnya menyebut yang terjadi di Pandeglang dan sekitarnya hanyalah gelombang tinggi. Namun, berdasarkan kronologi ini, BMKG lantas membantah informasi mereka sendiri.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati bercerita, peristiwa tsunami di wilayah Selat Sunda berawal ketika lembaganya mendeteksi erupsi anak Gunung Krakatau pada Jumat (21/12) lalu. Statusnya pun level waspada. Deteksi itu kemudian diumumkan pada Jumat lalu.

Selanjutnya, BMKG juga mengumumkan peringatan potensi gelombang tinggi pada Sabtu (22/12) pagi di sekitar Selat Sunda. Diperkirakan gelombang tinggi terjadi pada 21 Desember hingga 25 Desember 2018. Dwikorita memastikan, kedua peringatan itu peristiwa yang berbeda walau terjadi di lokasi yang sama. Pertama, erupsi anak Gunung Krakatau dan kedua, potensi gelombang tinggi.

Masih pada hari yang sama, menurut Dwikorita, tim BMKG antara sekitar 9.00 hingga 11.00 berada di perairan Selat Sunda untuk uji coba instrumen. Hasilnya, terverifikasi, terjadi hujan lebat dengan gelombang tinggi dan angin kencang. Tim BMKG lantas memutuskan untuk segera kembali ke darat.

Masih pada 22 Desember, BMKG berhail mendeteksi lagi erupsi anak Gunung Krakatau dan di satu sisi alat pendeteksi tsunami BMKG menunjukkan ada potensi kenaikan permukaan air di pantai sekitar Selat Sunda. Mereka lantas menganalisis data tersebut dan butuh waktu. Kesimpulan akhir, BMKG memastikan itu sebagai gelombang tsunami.

Salah satu indikasinya, berdasarkan alat pendeteksi tsunami di Pantai Jambu, Desa Bulakan, Cinangka, Serang tercatat pada malam hari ketinggian gelombang sekitar 0,9 meter. Begitu juga dengan alat pendeteksi tsunami di Pelabuhan Ciwandan pada malam hari ketinggian gelombang sekitar 0,35 meter.

Sementara catatan alat pendeteksi tsunami di Desa Kota Agung, Lampung pada malam hari ketinggian 0,36 meter. Selanjutnya, alat pendeteksi tsunami di Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung mencatat 0,28 meter. Ciri-ciri ini, kata Dwikorita, mirip dengan gelombang tsunami di Palu, Sulawesi Tengah.

Periode gelombangnya pendek-pendek. Berdasarkan analisis ini, ia mengimbau masyarakat agar tetap tenang dan tidak terpengaruh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Juga diimbau untuk tetap menjauh dari pantai perairan Selat Sunda hingga ada perkembangan informasi dari BMKG dan Badan Geologi. [KRG]