Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens (kanan)/CHA

Koran Sulindo – Gerakan Reuni 212 dianggap tak lagi menjadi gerakan moral, tetapi bergeser menjadi gerakan politik. Karena dalam pelaksanaan acara reuni 212 tersebut sarat dengan unsur-unsur politik.

“Reuni 212 ini sudah bergeser menjadi gerakan politik yang memang bertujuan memenangkan pasangan capres-cawapres tertentu,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens dalam diskusi bertajuk “Reuni 212 Curl Start Kampanye, Bawaslu Harus Bangun dari Tidur” di Jakarta, Rabu (5/12/2018).

Menurut Boni, hal tersebut sangat kasat mata dengan apa yang terjadi saat acara Reuni 212. Disebutkan bahwa beberapa gerakan reuni 212 adalah gerakan kampanye politik, yakni ada pengelompokan massa pendukung capres, ada simbol kampanye berupa spanduk, hadir calon presiden Prabowo Subianto, dan ada lontaran kritik terhadap pemerintah dalam orasi.

“Lebih konkretnya, ada pemutaran lagu ‘2019 ganti presiden’, telepidato Rizieq Sihab tentang “tidak boleh memilih partai penista agama”. Termasuk orasi Tengku Zulkarnain yang mengkritisi kinerja Jokowi. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa kegiatan reuni 212 murni gerakan kampanye,” katanya.

Dalam konteks pemilu, gerakan reuni 212 dinilainya sudah melanggar kampanye, yakni mencuri start kampanye dalam bentuk rapat umum. Pasal 276 Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disehutkan bahwa kampanye dalam bentuk rapat umum baru dilaksanakan 21 hari menjelang hari tenang, yakni 24 Maret sampai 13 April 2019.

“Di acara itu ada kampanye 2019 ganti presiden, tidak boleh pilih partai penista agama, kritikan terhadap kinerja Jokowi yang semua itu masuk kampanye politik. Jadi, jelas ini curi start kampanye,” katanya.

Boni mendorong Bawaslu melakukan penyelidikan lapangan untuk melakukan evaluasi faktual yang obyektif atas dugaan kampanye politik di acara reuni 212. Ia menyayangkan pernyataan Komisioner Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo yang terburu-buru menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan di televisi bahwa tidak ada kampanye dalam acara tersebut.

“Sejauh ini, kami melihat Bawaslu bias dan permisif dengan pelanggaran ini dengan membuat kesimpulan prematur bahwa reuni 212 tidak melanggar aturan kampanye,” katanya.

Bawaslu, menurut Boni, membuat kesimpulan dengan mengabaikan fakta lapangan yang ada. Boni menduga  Bawaslu telah “masuk angin” dengan membuat pernyataan yang prematur.

“Ini jelas sinyalemen buruk bahwa jangan-jangan Bawaslu sudah “masuk angin” atau terlibat dalam permainan kepentingan praktis sehingga tidak berlaku obyektif dalam mengevaluasi segala bentuk potensi pelanggaran pemilu,” kata Boni. [CHA]