Ilustrasi: Perkebunan sawit di Indonesia telah membabat banyak hutan dan menciptakan banyak konflik lahan. Foto: Rhett Butler/ Mongabay Indonesia

Koran Sulindo – Harga sawit yang anjlok saat ini membuat pemerintah menetapkan kebijakan menghapus sementara pungutan produk minyak sawit mentah (CPO). Alasan pemerintah adalah untuk mengurangi beban rakyat dan sekitar 5,99 juta petani yang bekerja di sektor perkebunan sawit dari bayang-bayang pemecatan.

Harga sawit, kata Manajer Kampanye Walhi Sulawesi Tengah, Stevandi mengatakan, bisa dilihat dari data bursa Malaysia yang menjadi referensi minyak sawit dunia. Dalam bursa itu, harga sawit merosot 20,53 persen dari US$ 658,92 per metrik ton ke US$ 523,62 pada Oktober lalu. Akibatnya, ekspor CPO berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Januari hingga Agustus 2018 jatuh 12,21 persen. Setara dengan Rp 22,87 triliun.

Dikatakan Stevandi, merosotnya harga sawit itu dimulai sejak April lalu ketika parlemen Aeropa mengeluarkan resolusi dan pelarangan biodiesel berbasis sawit. Uni Eropa beralasan perkebunan sawit menciptakan banyak masalah yang antara lain deforestasi, perampasan lahan, kriminalisasi, korupsi, memanfaatkan pekerja anak hingga pelanggaran hak asasi manusia.

Parlemen Eropa juga menerapkan skema sertifikasi tunggal untuk minyak sawit yang masuk ke Eropa. Akibat resolusi tersebut, permintaan minyak sawit menurun dari beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia. Sedangkan, India, negara yang menjadi tujuan ekspor kedua setelah Eropa justru menaikkan bea masuk sehingga memicu jatuhnya harga minyak sawit.

Masalahnya, kata Stevandi, alasan pemerintah menghapus pungutan produk CPO bukanlah solusi konkret untuk menyelamatkan rakyat. Skema yang digunakan pemerintah justru menyelamatkan korporat yang sedang kesulitan mencari jalan keluar untuk keberlangsungan pasar sawit. Upaya negara untuk menstabilkan harga sawit itu, tidak bersamaan dengan penindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap rakyat.

Di Sulawesi Tengah, misalnya, Walhi justru ikut mendampingi kaum tani dari kriminalisasi korporasi kebun sawit. Tanah kaum tani dirampas padahal lahan tersebut sama sekali tidak berada di wilayah perkebunan sawit. Itulah yang dialami Hemsi, petani Panca Mukti. Ia dijadikan tersangka karena dituduh mencuri di atas lahannya sendiri.

Hemsi bahkan mampu membuktikan bahwa itu adalah lahannya dengan dokumen-dokumen yang dimilikinya. Hemsi sudah mengerjakan lahan tersebut jauh sebelum PT Mamuang, perusahaan perkebunan sawit beroperasi di wilayah itu. Modus operandi demikian sering digunakan perusahaan. Ditamnah dengan dukungan aparat keamanan negara yang digunakan membungkam perlawanan rakyat.

Selain Hemsi, 4 kaum tani yang sudah merasakan kriminalisasi PT Mamuang adalah Jufri, Suparto, Sikusman dan Mulyadi. Keempatnya merupakan petani Polanto Jaya dan mereka ditangkap oleh Kepolisian Pasangkayu, Sulawesi Barat. Mereka dituduh mencuri oleh perusahaan sawit.

Skema pembebasan pungutan ekspor produk CPO karena itu, kata Stevandi, bukan kebijakan tepat. Negara seharusnya lebih berani menindak perusahaan-perusahaan yang bermasalah. Selain menyiapkan perundang-undangan, pelaksanaan aturan secara konkret dan tegas menjadi mendesak. Negara dituntut berani mencabut izin perusahaan sawit yang bermasalah untuk menciptakan tata kelola perizinan perkebunan sawit. [KRG]