Koran Sulindo – Pemerintah berharap lembaga tunggal pembentuk undang-undang (UU) bisa dibentuk setelah Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 nanti. Persoalan perundang-undang merupakan persoalan yang sangat serius pemerintah ke depan.
“Saya yakin mudah-mudahan itu akan terwujud nanti setelah Pemilu Presiden pada tahun 2019,” kata Sekertaris Kabinet Pramono Anung, usai Seminar Nasional Reformasi Hukum, yang digelar di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Rabu (28/11/2018), seperti dikutip setkab.go.id.
Pramono menepis anggapan pemerintah tidak akan berani membentuk lembaga tunggal pembentuk UU itu. Ia menegaskan, kalau urusan berani, tidak ada yang mengalahkan Presiden Joko Widodo. Selama itu untuk kepentingan, kebaikan, dan juga untuk perbaikan, pasti akan dilakukan Presiden Jokowi.
“Jangankan untuk menggabungkan ataupun membubarkan sebuah kelembagaan, Presiden sudah membuktikan dari banyak komisi-komisi atau badan-badan yang tidak diperlukan dan diperintahkan kepada Menteri PANRB untuk membubarkan,” ujar Seskab.
Menurut Pramono, usulan revisi perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019.
“Jadi ini bentuk antisipasi kita kalau-kalau pemerintah memang membutuhkan perubahan-perubahan dalam proses penyusunan Undang-Undang. Tergantung pemerintah untuk memanfaatkan fasilitas yang sudah kita berikan berupa masuknya revisi UU Nomor 12/2011 itu,” kata Pramono.
Seminar Nasional Reformasi Hukum itu menyepakati begitu banyak peraturan perundang-undangan yang overlapping, tumpang tindih mulai dari undang-undang turun ke bawah sampai dengan Peraturan Presiden sampai dengan Peraturan Wali kota atau Bupati. Seminar merekomendasikan agar ada lembaga yang secara khusus menangani peraturan perundang-undangan sehingga tidak banyak pintu seperti pada saat ini, ada melalui Menteri Hukum dan HAM, kemudian Mensesneg, Seskab, dan juga tentunya DPR sebagai dewan yang bertugas untuk membahas persoalan yang berkaitan dengan legislasi.
Gambaran umum lembaga itu, antara lain akan menjadi leader kementerian/lembaga dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan di kementerian/lembaga, akan dihapus tetapi kementerian/lembaga tetap menjadi pemrakarsa penyusunan suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dan berkedudukan langsung di bawah Presiden.
Seskab menunjuk beberapa contoh role model yang berhasil adalah di Korea Selatan, yaitu lembaga Ministry of Government Legislation, yang sudah menandatangani MoU dengan Indonesia.
Selain itu, da juga The Office of Information and Regulatory Affairs di Amerika Serikat, Cabinet Legislation Bureau di Jepang, dan The Office of Best Practice Regulation di Australia.
“Solusi tersebut tentunya juga melibatkan parlemen, karena hak legislasi ada di parlemen,” katanya.
Obesitas Regulasi
Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengemukakan, s
Sudah lama disadari persoalan peraturan perundang-undangan telah membuat bangsa Indonesia tidak bisa berlari kencang. Mengutip Presiden Joko Widodo, Seskab mengatakan, ada hampir 42.000 regulasi, mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan wali kota/bupati, sehingga Indonesia dapat dikatakan sedang mengalami obesitas regulasi.
“Ini menjadi problem yang sangat serius bagi bangsa kita,” kata Pramono, saat menyampaikan keynote speech pada Seminar Nasional Reformasi Hukum: Menuju Peraturan Perundang-undangan yang Efektif dan Efisien, di atas.
Regulasi-regulasi yang banyak itu terkadang bukan menciptakan keteraturan dan ketaatan hukum tetapi malah menimbulkan permasalahan, sebab seringkali tumpang-tindih dan bertentangan satu dengan yang lain (overregulated). Ujung-ujungnya, tidak jarang membatasi keluwesan Pemerintah dan mengakibatkan pembangunan nasional menjadi terhambat.
Selain itu, akibat tumpang-tindih dan bertentangan satu dan yang lainnya, regulasi-regulasi itu kerap kali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA). Bahkan, Menteri Dalam Negeri pernah membatalkan peraturan daerah sebelum adanya Putusan MK.
Selain masalah kualitas dan kuantitas, penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia juga sangat kompleks, berbelit-belit, dan berpotensi menimbulkan masalah. Saat ini penyusunan suatu rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui banyak pintu, seperti melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perundang-undangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Sekretariat Negara, dan/atau Sekretariat Kabinet, sehingga memperlama proses sinkronisasinya.
Obesitas regulasi ini juga menjadikan peringkat Indonesia rendah dalam berbagai penilaian di dunia internasional, misalnya pada Indeks Kualitas Peraturan (Regulatory Quality Index) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada 2016, yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-93 dari 193 negara, lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya.
Utamakan Kualitas
Presiden Jokowi telah memerintah kementerian/lembaga tidak lagi menjadi lembaga yang memproduksi terlalu banyak peraturan perundang-undangan.
“Presiden meminta kepada para menteri dan para bupati, wali kota, serta gubernur untuk lebih mengutamakan kualitas dibanding kuantitas,” kata Pramono.
Menurutnya, pemerintah sebenarnya sudah melakukan langkah-langkah penataan regulasi, namun masih belum cukup untuk mengatasi masalah regulasi yang sangat kompleks.
Sementara itu, Menteri Legislasi Pemerintah Korea Selatan, Kim Oe-sook, mengatakan menerjemahkan kebijakan ke dalam undang-undang bukan hanya titik awal untuk melahirkan kebijakan, tetapi juga langkah terakhir untuk menyampaikan kepada masyarakat tentang kebijakan dan membuat mereka percaya bahwa kebijakan akan berlaku.
“Dengan kata lain, legislasi adalah hal yang paling penting karena merupakan titik awal dan langkah terakhir untuk melahirkan kebijakan,” kata Kim Oe-sook, pada Seminar Nasioal Reformasi Hukum di atas.
“Kementerian kami yang mengawasi perundang-undangan pemerintah telah memainkan peran kunci dalam menetapkan supremasi hukum dan berkontribusi pada pembangunan negara kami,” katanya.
Agar undang-undang dapat dipercaya oleh rakyat, pembuat undang-undang harus jelas dan tidak boleh ada konflik antar undang-undang.
“Karena itu, harus ada yang mengawasi undang-undang pemerintah secara terpadu dan terorganisasi,” kata Oe-sook. [DAS]