Ilustrasi: Presiden Joko Widodo berkunjung ke Pondok Pesantren Girikesumo, di Desa Banyumeneng, Kabupaten Demak/Biro Pers Istana

 

Koran Sulindo – Munculnya politik genderuwo karena ketiadaan ide dan program yang ditawarkan ke masyarakat. Malah yang ada adalah kampanye dengan menakut-nakuti dan menebar fitnah.

Hal tersebut disampaikan  Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Indonesia Timur Partai Golkar Melkias Marcus Mekeng.

“Naikkan elektabilitas dengan paparkan ide, visi, misi dan program sudah tidak bisa. Rakyat sudah tidak tertarik atas apa yang mereka sampaikan. Maka yang dipakai adalah politik genderuwo,” kata Mekeng di Jakarta, Jumat (16/11).

Menurutnya rakyat sudah cerdas dan tidak bisa dibodohi karena rakyat sudah punya pilihan siapa yang dipilih pada Pemilu nanti.

“Percuma pakai cara nakut-nakuti seperti itu. Rakyat sudah tidak bisa dibohongi. Politik genderuwo seperti itu tidak akan mempan. Rakyat tahu mana yang benar dan salah,” kata Mekeng.

Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR ini berharap cara politik genderuwo seperti itu harus diakhiri. Raihlah kekuasaan dengan cara-cara yang halal dan melahirkan kesejukkan bagi masyarakat. Jangan sampai masyarakat dibuat bingung dan cemas atas kampanye yang dilakukan.

Presiden Joko Widodo mengkritik perilaku elit-elit tertentu yang memainkan politik genderuwo yakni cara berpolitik menggunakan propaganda dan menakut-nakuti sekaligus menimbulkan kekhawatiran. “Tujuannya agar menciptakan keraguan dalam masyarakat,” kata Presiden Jokowi pekan lalu.

Bisa jadi sebutan politik genderuwo yang disampaikan Jokowi merupakan puncak kekesalan selama ini. Ia yang terus berusaha melakukan kinerja dengan baik justru oleh lawan-lawan politiknya terus diserang dengan isu-isu tanpa dasar.

Jokowi menggunakan sebutan politik genderuwo untuk mengingatkan masyarakat bahwa politik harus dilakukan dengan sopan santun.

Istilah genderuwo berasal dari Bahasa Kawi yakni gandarwa yang pada kepercayaan Hindu dan Buddha  digambarkan sebagai makhluk berwujud manusia berjenis kelamin pria yang tinggal di kahyangan.

Di Jawa genderuwo dianggap sebagau sejenis jin atau makhluk halus yang berwujud manusia mirip kera yang bertubuh besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan dan tertutup rambut lebat.

Mahluk ini dianggap gemar tinggal di batu berair, bangunan tua, pohon besar yang teduh atau sudut-sudut yang lembap sepi dan gelap.

Di Jawa genderuwa juga dipercaya sebagai sosok makhluk iseng yang cabul karena kegemarannya menggoda manusia khususnya perempuan dan anak-anak. Ia kadang senang menepuk pantat perempuan atau mengelusnya ketika sedang tidur.[CHA/TGU]