Koran Sulindo – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dipastikan harus bekerja keras memenangkan pemilu menyusul pengunduran diri Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman dan dicabutnya dukungan partainya dari koalisi.
Melepaskan dari konteksnya, Hamas menyambut dengan euforia pengumuman pengunduran diri Lieberman.
Juru bicara Hamas Sami Abu Zuhri mengklaim pengunduran diri itu merupakan bentuk kemenangan politik bagi warga Gaza.
“Pengumuman itu merupakan pengakuan atas kekalahan dan kegagalan upaya melawan orang Palestina,” kata Zuhri seperti dikutip Al Jazeera.
Ia menegaskan, mundurnya Lieberman bekal memperkeruh situasi politik di Israel yang memanas setelah operasi intelijen yang gagal di Jalur Gaza, Minggu (11/11).
Operasi tersebut segera memicu memicu perang terbuka antara Hamas-Israel beberapa hari terakhir. Akhirnya Israel menyetujui gencatan senjata, kesepakatan yang ditolak keras oleh Lieberman.
Tentu saja klaim Zuhri hanya untuk memenuhi kebutuhan ‘humas’ Hamas. Banyak hal lebih pelik yang mempengaruhi keputusan Lieberman itu. Salah satunya adalah kosntelasi politik domestik di Israel.
Baca juga :Tewaskan Komandan Hamas, Serangan Israel ke Gaza ‘Kecelakaan’
Lieberman dianggap memilih waktu yang tepat untuk mengundurkan diri sekaligus memperbesar peluangnya melawan Netanyahu dalam pemilu mendatang.
Lieberman menegaskan bahwa mundurnya sebagai menteri pertahanan sebagai protesnya terhadap gencatan senjata yang disepakati Israel. Menurutnya, kesepakatan itu adalah bentuk kelemahan Israel.
Mundur sekarang, Lieberman berhasil mencuri start dari para pesaingnya dari sayap kanan sekaligus mengeksploitasi ‘kelemahan’ Netanyahu di Gaza.
Di sisi lain Lieberman harus menghadapi tiga tantangan politik utama yakni merosotnya popularitas partainya Yisrael Beiteinu, pesaingnya dari sayap kanan yang lebih populer serta jejak rekam sebagai Menhan.
Selama dua setengah tahun menjabat, Lieberman diejek sebagai ‘kartun’ akibat minimnya kontribusi atau pengaruh yang bisa diberikan selama menjabat.
Tentu saja rekam jejak itu termasuk ancamannya untuk membunuh pemimpin Hamas, Ismail Haniya jika ‘dalam 48 jam’ jika jenasah tentara Israel yang ditahan Hamas tidak dikembalikan.
Dan dari masa jabatan Lieberman yang ‘kosong’ di Kementerian Pertahanan, publik hanya akan mengingat bahwa dia jatuh, dan Ismail Haniya masih sehat walafiat.
Satu-satunya pujian yang layak disematkan kepada Lieberman adalah tak memicu bahaya apapun pada Israel.
Keadaan bakal berbeda jika jabatan itu dipegang golongan sayap kanan yang doyan melontarkan hujatan pada musuh-musuh regional Israel.
Menjelang masa kampanye, pengunduran diri tersebut membuat Netanyahu mati-matian membela keputusannya yang paling tidak populer yakni meneken gencatan senjata dengan Hamas di Gaza. Ia dianggap menyerah pada teror Hamas.
Niat utama Netanyahu menyetujui gencatan senjata dengan Hamas ditujukan untuk mengempiskan isu Gaza dari agenda nasional sebelum kampanye pemilu dimulai.
Ia menganggap gencatan senjata dengan Hamas bakal membungkam serangan dari sayap kanan yang gagal mengeksploitasi serangan roket dari Gaza.
Rencananya, begitu kemarahan publik Israel atas serangan roket reda Netanyahu bisa segera berkampanye dan menampilkan diri sebagai ‘satu-satunya orang dewasa yang bertanggung jawab.’
Di sisi lain Netanyahu tetap menjadi satu-satunya penjaga keamanan Israel karena otoritas dan tanggung jawab selalu berada di tangannya bahkan jika itu dengan atau tanpa Lieberman.
Peristiwa di Israel selama seminggu terakhir menawarkan buktinya. Mari kita runut kronologinya: di Paris ia menyatakan tak menginginkan “perang yang tidak perlu.” Ia tetap dengan kata-katanya bahkan ketika Hamas menghujani Israel selatan dengan roket dan mortir.
Netanyahu bahkan berdiri melawan demonstrasi pendukung Partai Likud yang dibakar amarah dari media sayap kanan. Ketika ia menginginkan gencatan senjata, dengan cepat mendapatkannya dari Hamas tanpa terlalu banyak usaha.
Sejak semula penunjukkan Lieberman sebagai menteri pertahanan memang tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah keamanan Israel. Dia ditunjuk untuk memperbaiki tekanan politik Netanyahu ketika dia ingin memperluas koalisi pemerintahannya.
Pada musim semi tahun 2016, setahun setelah memenangkan pemilihan Knesset, Netanyahu segera mempertimbangkan untuk menambahkan Persatuan Zionis pimpinan Issac Herzog ke dalam pemerintahan.
Setelah negosiasi berlarut yang sia-sia, ia akhirnya menelantarkan Herzog dan memutuskan menyandarkan harapannya pada pemimpin-pemimpin sayap kanan seperti Lieberman atau Naftali Bennett.[TGU]