Koran Sulindo – Pagi 5 November 2018 itu suasana gedung serbaguna Hongda (Hongda Hall) di kampus Qishan, Universitas Keguruan Fujian (Fujian Normal University), di Fuzhou, China, itu tampak berbeda. Kampus yang butuh waktu tempuh sekitar 30 menit dari bandar udara Fujian itu memiliki 2 kampus, dengan luas area keseluruhan 230 hektare; memiliki lebih 30 ribu mahasiswa, sekitar 10 persennya mahaiswa asing juga dari Indonesia.
Bernaung di bawah perguruan tinggi yang didirikan pada 1907 tersebut sebanyak 28 fakultas dengan sekitar 56 jurusan dan 120 program pascasarjana itu pagi itu menyelenggarakan acara istimewa.
Suasana hening saat Professor Wang Changping, Rektor FNU, memindahkan pita di atas topi toga yang dikenakan Megawati Soekarnoputri dan memberikan diploma tercetak sebagai tanda resmi putri presiden pertama Republik Indonesia itu menjadi warga universitas yang terletak di ujung timur China itu. Itulah gelar Doktor Honoris Causa ke-8 yang dianugerahkan pada Presiden RI ke-5 tersebut.
“HE Ibu Dr. Megawati Soekarnoputri memberikan pidato penerimaan setelah upacara itu. Ia menghormati FNU sebagai universitas paling prestisiu di China…Ia memberikan penjelasan mendalam hubungan diplomasi dan diplomasi politik, dan menggarisbawahi China sebagai pusat ekonomi dunia,” tulis situs resmi Universitas Fujian, pekan lalu.
Setelah penganugerahan gelar itu, Megawati bekelililing universitas dan salah satunya mengunjungi Pusat Penelitian Indonesia (Indonesian Research Center) di kampus itu.
Sekretaris Ketua Dewan FNU Prof Li Baoyin mengatakan kampusnya merasa terhormat ketika Megawati berkenan menerima gelar kehormatan ini. Megawati dinilai berkontribusi besar terhadap hubungan kerja sama Indonesia dengan Fujian. Kontribusi yang terjalin sejak Megawati masih menjabat presiden dan Gubernur Fujian saat dijabat Xi Jin Ping, kini orang nomor satu di negeri tirai bambu tersebut.
“Kini Ibu Megawati menjadi bagian penting dari FNU,” kata Li Baoyin.
Melengkapi Tugas Sejarah
Dalam sambutan di universitas yang sering dijuluki sebagai “buaian para guru” itu, Megawati mengatakan gelar yang diterimanya adalah sebuah pesan untuk melengkapi tugas sejarah para pendiri bangsa Indonesia. ”Ini menjadi tugas sejarah yang harus kita selesaikan,” katanya, dalam pidato yang disampaikan dalam bahasa Inggris.
Gelar dari FNU tersebut adalah honoris causa ke-8 bagi Megawati. Sebelumnya, Ketua Umum PDI Perjuangan ini sudah menerima tujuh gelar doktor kehormatan dari Universitas Waseda Tokyo di Jepang (2001), Moscow State Institute of International Relation di Rusia (2003), Korea Maritime and Ocean University di Korea Selatan (2015). Gelar tersebut juga didapatkan dari Universitas Padjadjaran Bandung (2016), Universitas Negeri Padang (2017), Mokpo National University di Korea Selatan (2017), dan Doktor Honoris Causa bidang politik pemerintahan dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (2018).
Tugas yang dimaksudkannya adalah untuk terus-menerus mengelaborasikan gagasan-gagasan para pendiri bangsa dan melaksanakannya dalam diplomasi kebebasan ekonomi menuju tatanan dunia baru.
“Sebuah tatanan dunia baru yang menjunjung nilai dan prinsip perdamaian dalam kerangka keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh umat manusia,” katanya.
Menurut Megawati, kebangkitan ekonomi Cina merupakan buah dari diplomasi politik dan ekonomi yang secara konsisten menjalankan Lima Prinsip Perdamaian Zhou Enlai. Diplomasi Ekonomi Pembebasan menuju perdamaian dunia.
“Diplomasi ekonomi pembebasan adalah jalan diplomasi yang seharusnya ditempuh untuk menyelesaikan berbagai ketimpangan dan ketidakadilan akibat sistem ekonomi liberal,” katanya.
Dalam kesempatan bertemu media usai acara, Megawati mengatakan, gelar doktor kehormatan yang kedelapan ini merupakan jawaban atas sejarah pendidikan dirinya yang selama ini ditulis berbeda.
“Alhamdulillah karena secara pribadi sebetulnya menepis mengenai keakademian saya. Karena kalau diketahui ketika tahun 1965, saya tidak boleh kuliah. Tapi selalu disiarkan saya ini DO (drop out). Jika ada pihak seakan mengejek saya sebagai DO dari sekolah, maka penghargaan dari banyak universitas inilah jawabannya,” kata Megawati.
Pesan Soekarno
Sehari kemudian Megawati dan rombongan langsung terbang le semenanjung Korea, seolah mencoba menjalankan pesan almarhum ayahandanya agar berjuang mempersatukan Korea Utara-Korea Selatan.
Pada 1965 ia diajak ayahnya ikut dalam pertemuan dengan Kim Il Sung, Pendiri Negara Korea Utara. Saat itu Megawati berusia 18 tahun. Sementara Kim Jong Il berusia 23 tahun. Semuanya lalu bersama-sama mengunjungi Kebun Raya Bogor. Di tempat itu, Soekarno memberikan sebuah bunga asli Indonesia, sebuah anggrek berwarna ungu. Bunga itu kemudian dinamakan Kimilsungia, dan menjadi bunga negara Korea Utara. Kala itu juga , Soekarno sudah menyampaikan kepada dirinya.
“Mega, berjuanglah untuk perdamaian di Semenanjung Korea. Berdiri tegak di tengah dan jangan memihak Korea Selatan atau Korea Utara. Rangkullah jalan damai. Pegang teguh ideologi Pancasila yang akan membimbingmu menuju jalan damai. Jalan ini akan membawamu kepada para pemimpin dan orang-orang dari kedua negara yang sama-sama berjuang untuk perdamaian dan kedaulatan Korea,” kata Megawati mengingat pesan Soekarno.
Pesan itu terus diingat Megawati, walau lama setelahnya, baru pada 2002 saat menjabat presiden RI, ia diterima oleh Pemimpin Korut Kim Jong Il. Pada pertemuan itu, Megawati mengaku menyampaikan pesan dari Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung, yang berinti keinginan menyambung pembicaraan soal perdamaian yang terhenti saat itu.
“Saya sampaikan juga bahwa perdamaian di Semenanjung Korea itu krusial untuk menjaga stabilitas di Asia Pasifik,” katanya.
Upayanya mendamaikan kedua Korea sempat tertahan karena dirinya tak lagi menjadi presiden pada 2004. Namun, sebagai tokoh, Megawati terus berusaha membantu upaya perdamaian. Hingga pada 2017, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, memintanya untuk menjadi bagian dari juru damai untuk Semenanjung Korea.
“Banyak yang ragu soal perdamaian di Semenanjung Korea. Tapi saya justru yakin bahwa perdamaian itu akan terjadi,” kata Megawati.
Keyakinannya itu bertumpu pada pengalamannya yang melihat serta mendengar langsung dari masyarakat kedua negara. Kata Megawati, orang-orang Korea merindukan perdamaian.
“Mereka tidak ingin permusuhan dan kebencian diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang-orang yang menginginkan bahwa keputusan, sehubungan dengan Semenanjung Korea, dibuat atas nama kepentingan dan kelangsungan hidup mereka bersama,” katanya.
Megawati menuturkan dirinya sampai meneteskan airmata ketika pada 27 April lalu, pemimpin Korea Selatan dan Korea Utara sepakat menandatangani Deklarasi Panmunjon untuk Perdamaian, Kemakmuran dan Persatuan Semenanjung Korea. Baginya, sejarah baru sudah dituliskan, bukan hanya bagi kedua Korea, tapi bagi bangsa-bangsa di Asia.
“Bagi saya, Semenanjung Korea adalah semenanjung kedaulatan bangsa Asia,” kata Megawati, ketika menjadi pembicara dalam forum internasional The KOR-ASIA Forum 2018 yang digelar di Seoul, Korea Selatan, pekan lalu.
Setelah perdamaian di Semenanjung Korea tercapai, tugas berikutnya untuk Asia adalah terus menerus mengawal dan mengisi perdamaian. Dan itu dilakukan tanpa membatasi diri pada hal-hal yang terjadi semata-mata di benua Asia, berdasar sebuah kesadaran bahwa saat ini semua negara di dunia bergantung satu sama lain.
“Tak ada lagi negara dan bangsa dapat mengucilkan diri dari bangsa-bangsa lain. Urusan dan masalah dunia adalah juga urusan dan masalah Asia. Masa depan Asia bergantung pada pemecahan masalah internasional yang multidimensi,” katanya.
Perdamaian di Semenanjung Korea sebaiknya memang menjadi simbol persatuan bagi bangsa-bangsa Asia, yang bersatu karena sikap bersama untuk secara aktif terlibat dalam memberikan sumbangan positif bagi perjalanan umat manusia.
“Tugas kita selanjutnya untuk tetap menggalang persatuan, tak hanya di Asia tetapi juga dengan bangsa-bangsa lain, khususnya Afrika. Asia-Afrika,” katanya.
Ia mengingatkan Asia-Afrika bisa bersatu karena ketidaksetujuan terhadap rasisme, terorisme dan radikalisme, serta perdagangan manusia dan narkotika. Asia-Afrika bersatu karena kesepakatan bersama untuk menentang kejahatan moneter internasional. Asia-Afrika akan tetap memperkuat persatuan untuk menghadapi dan mencari solusi bagi perubahan iklim global dan isu-isu lingkungan hidup lainnya. Asia-Afrika bersatu untuk melahirkan pembangunan yang menciptakan kemakmuran bagi warga dunia.
“Terima kasih para pemimpin dan rakyat Korea Utara dan Korea Selatan. Anda sekalian telah menginspirasi Asia-Afrika dan dunia bahwa tak ada tugas lebih besar yang lebih penting dari memupuk sebuah perdamaian. Saya Megawati Soekarnoputri, mewakili rakyat Indonesia, selalu dan selalu akan menjadi bagian dari perdamaian di Semenanjung Korea. Semenanjung Korea, semenanjung kebangkitan Asia, semenanjung dimana sayap-sayap perdamaian Asia diterbangkan ke segenap penjuru dunia.” [Irwansyah/Didit Sidarta]