Lebih dari 60 pemimpin dunia berkumpul di Prancis memeringati 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I [Foto: The Irish Time]

Koran Sulindo – Kuburan membentang hingga bermil-mil luasnya. Tapi, karena terbatasnya pandangan mata, hanya hamparan itu yang terlihat walau luasnya mungkin saja lebih dari yang diperkirakan. Persis seabad lalu, beberapa bagian dari Prancis utara dan Belgia telah menjadi kuburan yang “mengerikan”; sebuah pemandangan yang hancur dan porak poranda akibat Perang Dunia I.

Sebuah perang yang kemudian menjadi peristiwa paling mematikan dalam sejarah modern. Seabad kemudian, lebih dari 60 pemimpin dunia berkumpul di Paris pada November ini untuk menandai 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I. Kendati Perang Dunia I secara resmi berakhir pada 1918, tapi tidak bagi tentara Amerika Serikat (AS) kala itu.

Ribuan tentara AS yang tadinya hanya diminta menjaga gudang militer dari serbuan Jerman, justru mendapat perintah berperang dengan kaum Bolshevik. Itu tepat pada Februari 1919. Setelah 3 bulan mengumumkan berakhirnya Perang Dunia I, para prajurit AS itu mendapat perintah berperang dengan Bolshevik di utara Eropa yang dingin.

Sebelum mencapai sasaran, justru lusinan prajurit itu menyerah kepada serangan dingin yang membuat mereka sakit ketika dalam perjalanan menuju pelabuhan Kota Archangel, Rusia. Yang lainnya tewas dalam pertempuran ketika menghadapi kekuatan gerilya bersenjata di desa-desa. Prajurit AS yang terluka akhirnya mati membeku ketika menunggu pertolongan yang tak kunjung tiba di hutan bersalju.

Selama musim gugur dan musim dingin itu, pasukan AS merasa telah ditipu oleh pemerintah mereka; perwira mereka; disiksa sekutu mereka; dan akhirnya terbunuh di tangan musuh mereka. Bertempur di suasana Perang Dunia I yang telah berakhir. Tindakan prajurit itu sebagian dinilai sebagai keberanian dan ketabahan yang bertahan hidup di rawa lumpur yang dingin serta hutan pinus sekitar Kota Archangel.

Sementara prajurit lainnya dinilai sebagai “pemberontak” karena menyadari perintah keliru dari negara mereka. Terlebih mereka mulai sadar Angkatan Darat AS tidak membekali mereka dengan perlengkapan seperti makanan yang cukup. Itu sebabnya, mereka memberontak dan mengabaikan perintah negara itu. Mereka pun mulai melakukan sesuatu agar tidak ikut tewas dalam pertempuran yang sudah selesai.

Pada Perang Dunia I, Kekaisaran Rusia sebetulnya bersekutu dengan Prancis, Inggris dan AS untuk melawan Jerman dan sekutunya. Namun, ketika Revolusi Oktober 1917 pecah di Uni Soviet, keadaan menjadi berubah. Tidak ingin berlama-lama terlibat dalam peperangan kaum imperialis, Uni Soviet sosialis menandatangani perjanjian damai dengan Jerman pada 3 Maret 1918. Perdamaian itu lantas memungkinkan Jerman fokus berperang di Front Barat.

Setelah klas buruh berkuasa di Uni Soviet, Lenin mengalihkannya menjadi perang dalam negeri menghadapi Tentara Putih di bawah Kekaisaran Rusia yang didukung Inggris dan Prancis. Lenin membawa revolusi ke tahap sosialisme. Melihat situasi itu, AS juga ikut terlibat dan membela Kekaisaran Rusia. Itu sebabnya, sekitar 5.300 tentara AS dikirim ke Rusia utara dengan perintah yang tidak jelas dan bertentangan dengan perintah awal.

Kisah ini, menurut The Washington Post, terekam dalam catatan militer dan memo pemerintah yang sudah dibuka untuk umum. Catatan-catatan berupa surat-surat pribadi, buku harian, memoar tentara, foto dan film yang telah dipublikasikan ke publik itu berasal dari Arsip Nasional, Administrasi Layanan Umum dan Perpustakaan Sejarah Universitas Michigan.

Tentara AS yang mendapat perintah untuk berperang melawan Uni Soviet pada awal 1919 meski Perang Dunia I telah berakhir [Foto: Wall Street Journal]

Seabad Kemudian
Seperti kisah ironi prajurit AS itu, situasi peringatan 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I juga sama. Para pemimpin yang hadir membawa “damai” di Prancis itu justru menjadi tokoh utama ketika mengagresi negara-negara yang tidak sepaham dengan mereka. Tengoklah, misalnya, Presiden Donald Trump, Theresa May, Benjamin Netanyahu, Emmanuel Macron dan lain-lain yang terlibat langsung memerangi Afghanistan, Palestina, Suriah, Libya, Iran dan Yaman.

Terus terang, menurut Michel Chossudovsky dari Global Research, berdasarkan hukum internasional mereka adalah penjahat perang. Tangan mereka berlumuran darah. Lantas apa yang mereka peringati 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I itu? Ketika seorang pemimpin AS datang ke Prancis memberi penghormatan kepada 15 juta orang yang menjadi korban dalam Perang Dunia I, tapi saat bersamaan mendeklarasikan perang terhadap Iran.

Chossudovsky mengingatkan agar kita tidak lupa: perang merupakan kejahatan utama kemanusiaan. Karena perang sesungguhnya melawan perdamaian. Dan AS bersama sekutunya telah memulai kejahatan utama itu, berpetualang secara militer ke seluruh dunia untuk menjalani “perang panjang” yang sesungguhnya mengancam masa depan umat manusia. “Salah satu desain militer global Pentagon adalah menaklukkan dunia,” kata Chossudovsky.

Setelah seabad berakhirnya Perang Dunia I itu, lantas apa yang terjadi sekarang? Dikatakan Chossudovsky, AS justru meningkatkan operasi-operasi intelijen militernya secara masif dan rahasia ke berbagai negara mulai dari Timur Tengah, Eropa Timur, Afrika, Asia Tengah dan Asia Timur Jauh. Aksi mereka bertujuan untuk mengganggu stabilisasi negara-negara berdaulat. Itu belum termasuk dengan perang ekonomi yang kini dilancarkan AS terhadap para pesaingnya.

Selama 17 tahun terakhir dimulai serangan 9/11, AS bersama NATO mengumumkan perang global terhadap teroris. Segera setelah itu, AS dan NATO menyerang Afghanistan, Irak, Lebanon, Libya, Suriah dan Yaman. Hasilnya, jutaan umat manusia tewas akibat kekejaman mereka. Tentu saja perang ini di bawah pimpinan AS dan NATO. Untuk membenarkan tindakan itu, AS dan NATO menyebut agresi mereka itu “untuk melindungi negara”; “melancarkan perang global terhadap terorisme”; “mencegah orang-orang jahat berkuasa”.

Contoh-contoh agresi AS dan sekutunya itu merupakan kebijakan imperialisme yang merujuk kepada Kaisar Roma Alexander Agung, Napoleon I dan Hitler yang ekspansionis. Mereka semua memiliki kesamaan dorongan menuju ekspansi yang tidak mengenal batas rasional. Sejak 11 September 2001, kebijakan luar negeri AS mengambil garis imperialis tanpa batas yang merujuk kepada Alexander, Napoleon, dan Hitler itu.

Fakta AS dan sekutunya itu, Perang Dunia I dan Perang Dunia II terus membayangi kepala umat manusia di dunia ini. Dan satu hal yang pasti: kita tidak akan bertahan selama 100 tahun lagi. Karena itu, sudah saatnya kita mencoba yang lain, bergerak melampaui perang dengan melanjutkan kerja sama diplomasi, pelucutan senjata dan penegakan hukum. [Kristian Ginting]