Koran Sulindo – Cukai rokok, selain untuk memberi pemasukan bagi negara, juga sebagai bagian dari upaya atau instrumen untuk mengurangi konsumsi rokok. Bahkan, pengendalian lewat cukai ini termasuk efektif.
Kendati demikian, Wakil Presiden Jusuf Kalla telah resmi mengumumkan pembatalan kenaikan cukai rokok. Padahal, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, angka konsumsi rokok remaja Indonesia meningkat untuk remaja usia 10 tahun sampai 18 tahun, dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1%.
Ekonom Universitas Indonesia yang termasuk Dewan Pakar Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Faisal Basri, pun mengaku kecewa atas keputusan pemerintah itu. “Kalau cukai naik tentu harga naik, konsumsi turun,” kata Faisal Basri pada acara workshop jurnalis yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen, Sabtu (10/11).
Faisal justru mencurigai adanya intervensi industri rokok yang menyebabkan batalnya kenaikan cukai rokok. Pemerintah, katanya, lebih banyak mendapatkan tekanan yang condong memihak industri. “Saya yakin ada faktor money politic dari itu. Philip Morris selalu hadir dalam pembahasan melalui PR [public relation]. Berapa Djarum Grup biayai Jokowi?” katanya.
Dengan penjelasan kurva equilibrium, lanjutnya, pendapatan negara tidak akan turun jika pemerintah menaikkan cukai rokok. Justru akan meningkat. Jika kenaikannya drastis barulah akan berdampak pada pendapatan negara.
“Hampir bisa dipastikan penerimaan negara dari cukai bisa turun kalau kenaikannya drastis, karena konsumsi juga akan mengikuti. Tapi, itu bukan argumen utama,” kata Faisal lagi.
Ia pun menyarankan kenaikan cukai mengikuti undang-undang mengenai pengaturan cukai, di level 57% sebagai angka aman untuk pengendalian konsumsi rokok dan pendapatan negara. “Kalau 57 persen harganya belum sampai Rp 50 ribu, kok,” katanya.
Pemerintah, menurut Faisal lagi, tak perlu khawatir pendapatan negara dari sektor cukai rokok akan turun, hukum ekonomi masih berlaku ceteris paribus: harga naik, konsumsi turun, maka akan ada penetrasi ke perokok baru. Dengan demikian, faktanya, industri rokok akan selalu memiliki pasar baru yang bisa tetap menyumbang pendapatan negara.
Faisal Basri berpandangan, seharusnya pemerintah menaikkan cukai rokok untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Tujuannya membentuk pertumbuhan ekonomi dengan kualitas yang baik.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono, mengatakan pembatalan itu tidak perlu dipermasalahkan lebih lanjut. “Kita enggak usah memasalahkan keputusan yang sudah ada. Yang kita upayakan lebih lanjut yang memperluas kawasan bebas asap rokok dan mengurangi iklan di luar yang sudah saat ini ada, ya, jelas di lingkungan sekolah dan pelayanan kesehatan untuk ke depannya,” katanya pada 7 November lalu, sebagaimana diberitakan banyak media.
Kementerian Kesehatan juga akan mengambil langkah untuk memperbesar kabar peringatan yang ada di bungkus rokok. “Kabar peringatan itu akan kami perbesar sampai ke 65 persen, sudah dirancang. Sekarang kan cuma 30 persen. Rancangannya belum sampai di presiden, masih di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, lagi harmonisasi,” ujar Anung. [RAF]