Koran Sulindo – Kiai Haji Ma’ruf Amin memang bukan hanya mumpuni dalam bidang agama Islam. Calon wakil presiden ini juga memahami hal-ihwal ekonomi. Wajar jika K.H. Ma’ruf pada tahun 2012 mendapat gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa di bidang ekonomi dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dalam berbagai kesempatan belakangan ini, K.H. Ma’ruf juga kerap melontarkan perlunya arus ekonomi baru untuk menggantikan arus ekonomi lama. Karena, arus ekonomi lama lebih banyak menciptakan konglomerasi.
Pada acara makan malam bersama yang diadakan Asosiasi Kelompok Usaha Rakyat Indonesia (Akurindo) dan Santri Millenial Centre (Simac) di Bali, 11 Oktober 2018, K.H. Ma’ruf kembali menegaskan soal ini. “Arus Ekonomi Baru Indonesia yang kami gagas ini untuk menggantikan arus ekonomi lama yang hanya menciptakan konglomerasi. Ini bukan bertujuan melemahkan konglomerat, tapi mendorong konglomerasi untuk bermitra dengan UMKM yang masih lemah ini supaya menjadi kuat,” kata K.H. Ma’ruf Amin.
Kemitraan semacam itu, lanjut Ma’ruf, kini sedang dibangun antara para pengusaha besar dengan para usahawan muda di pesantren-pesantren di seluruh Indonesia, di bawah bendera Simac. “Kehadiran Simac diharapkan mampu menciptakan keseimbangan ekonomi dan bisa mengurangi kesenjangan antara pusat dan daerah, antara pengusaha yang kuat dan yang lemah, bahkan antara penduduk nasional dan penduduk global. Para pelaku ekonomi umat ini harus dimitrakan supaya menjadi kuat semuanya,” tuturnya.
Pesantren dipilih sebagai pusat penggerak Arus Ekonomi Baru Indonesia karena potensi kalangan santri, terutama para santri milenial, sangat besar untuk menjadi usahawan baru yang modern. “Mereka selama ini belum tersentuh untuk menjadi wirausaha, baik dibidang keuangan, budidaya pertanian dan perkebunan, budidaya kelautan, sektor ril, dan sektor jasa. Apabila upaya kemitraan ini bisa kita wujudkan, kita akan mencapai perubahan besar di sektor ekonomi,” ujar K.H. Ma’ruf Amin.
Bukan hanya itu. Diungkapkan K.H. Ma’ruf, pihaknya juga mendukung upaya redistribusi aset nasional, terutama tanah. Sekarang ini, jumlah aset negara atau tanah yang belum dibagikan oleh pemerintah mencapai 12,7 juta hektare. Aset tersebut akan dibagikan ke koperasi-koperasi dan pesantren-pesantren.
Nah, santri milenial juga akan memperoleh kesempatan mengembangkan aset itu, misalnya dengan melakukan penanaman komoditas yang hasilnya dibeli oleh konglomerat yang menjadi mitra. Misalnya cokelat di Sulawesi Selatan, harganya Rp 1.000. Diiekspor ke Singapura, diolah, dan dijual kembali dengan harga Rp 20.000.
“Kalau diolah dalam negeri mestinya nilai tambah sebesar Rp 19.000 itu bisa dinikmati oleh petani dan UMKM kita. Nah, yang seperti ini butuh kemitraan yang baik,” kata K.H. Ma’ruf.