Mapolsek Bendahara. Foto: Waspada Medan

Koran Sulindo – Markas polisi dibakar warga. Yang dibakar adalah Markas Kepolisian Sektor (Polsek) Bendahara, Aceh Tamiang, Aceh, pada 23 Oktober 2018. Juga sebuah sepeda motor milik polisi dan sebuah mobil patroli.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polda Aceh Komisaris Besar Polisi Misbahul Munauwar mengatakan, kemarahan massa itu terkait informasi salah satu tahanan yang meninggal di dalam markas polsek.

“Ada tersangka narkoba yang ditangkap berinisial A, 31 tahun, warga Desa Tanjung Keuramat, Kecamatan Banda Mulia, Aceh Tamiang. Ditemukan barang bukti, lalu dilakukan pengembangan. Saat itu, apakah tersangka lari atau bagaimana, yang jelas tersangka meninggal dunia. Ini diduga ada kesalahan prosedur dan itu pula sikap Kapolda Aceh, akan mengusut tuntas insiden ini,” kata Misbahul, sebagaimana dikutip banyak media.

Ia pun mengimbau masyarakat untuk bersabar menunggu  proses investigasi menyeluruh terkait penangkapan itu. Yang pasti, Kepala Polsek Bendahara kemudian diganti. Kepala Polda Aceh Inspektur Jenderal Polisi Rio S. Djambak menunjuk Ajudan Komisaris Polisi Sumaroso menggantikan Inspektur Polisi Dua Iwan Wahyudi. Sumarsono sebelumnya adalah perwira di Ditreskrimum Polda Aceh.

Iwan akan menjalani pemeriksaan di Propam Polda Aceh. “Bukan hanya kapolseknya yang diperiksa. Seluruh personel yang terlibat dalam penangkapan itu juga diperiksa, dari anggota biasa, kanit reserse, hingga kapolseknya,” kata Misbahul.

Dari Jakarta, anggota Komisi Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia DPR RI M. Nasir Djamil juga menanggapi kasus ini. Anggota parlemen dari Aceh ini mendesak kepolisian segera mengusut dan menyelidiki dengan tuntas masalah ini.

“Saya mendesak Polri mengusut tewasnya tahanan narkoba di Mapolsek Bendahara serta menindak pihak yang terlibat dalam kematian tersebut,” kata Nasir Djamil di Banda Aceh, sebagaimana dilansir Antara, 24 Oktober 2018.

Bila dalam penyelidikan ditemukan adanya kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota polsek saat melakukan proses penegakan hukum, Nasir menyarankan pemimpin Polri memecat pelaku dan menggelandangnya ke ruang pengadilan. Karena, kata Nasir lagi, seharusnya seorang tersangka yang ditahan di kantor polisi justru harus dilindungi, bukan malah disiksa. Walau tahanan itu pelaku kejahatan, polisi tetap harus melindungi.

“Apa pun alasannya, menyiksa tahanan, apalagi sampai meninggal dunia, jelas pelanggaran hukum dan hak asasi,” kata Nasir.

Rencananya, anggota Komisi III DPR akan mengunjungi Mapolsek Bendahara yang dibakar dan akan mendengar langsung bagaimana peristiwa seperi itu bisa terjadi. “Kenapa masyarakat marah? Tentu ini ada sesuatu yang mereka tidak bisa terima,” tutur Nasir lagi.

Peristiwa pembakaran markas polisi ini bukan yang pertama kali terjadi di Tanah Air. Pada November 2017 lalu, Markas Kepolisian Resor Dharasraya, Sumatera Barat, juga dibakar massa.

Masih pada tahun 2017 lalu, markas polisi yang dirusak dan dibakar antara lain Mapolsek Nibung Musirawas, Mapolres Banyumas, dan Mapolda Sumut (2017). Tahun 2016: Mapolsek Sugapa-Papua, Mapolsek Tabir-Jambi (2016), dan Mapolsek Pontianak. Tahun 2015: Mapolres Bimakota Diseeang dan Mapolsek Gedongtengen. Tahun 2013: Mapolres Ogan Komerin Ulu (dibakar oknum TNI) dan Mapolres Pegunungan Bintan.

Begitu banyaknya markas polisi di Indonesia yang dirusak dan dibakar massa, ada apa sebenarnya? Mengapa banyak anggota masyarakat yang mudah sekali marah kepada polisi, yang notabene adalah aparat hukum? Aksi brutal masyarakat tentu saja tidak dibenarkan, namun pihak kepolisian juga sudah semestinyalah melakukan instropeksi. Bukankah polisi itu pelayan dan pengayom masyarakat? [PUR]