Koran Sulindo – Kritik yang acap disampaikan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta basuki Tjahja Purnama adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena kerap menggusur rakyat miskin di perkotaan. Ahok, demikian panggilan akrabnya, menggusur karena kawasan kumuh yang didiami masyarakat adalah tanah negara.
Masyarakat karena itu dicap oleh Ahok sebagai warga ilegal. Adapun kawasan yang acap digusur di masa Ahok umumnya berada di dekat bantaran kali. Ahok beralasan bantaran kali seharusnya digunakan untuk menyangga sungai agar tidak meluap dan menyebabkan banji di musim hujan.
Menanggapi kenyataan itu, Anies Baswedan yang maju dan berlaga menjadi salah satu kandidat Gubernur DKI Jakarta berjanji akan mengakhiri penggusuran paksa ala Ahok. Ia berjanji akan mencari jalan keluar yang lebih manusiawi untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Akan tetapi, kenyataannya, setahun Anies menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menuding Anies tidak menepati janjinya. Pasalnya, penggusuran paksa masih tetap terjadi. Dalam temuannya, LBH menyebutkan, kendati titik penggusuran mengalami penurunan, penggusuran paksa yang terjadi sepanjang 2017 mencapai 110 kasus.
Penggusuran paksa itu, demikian LBH, meliputi hunian dan unit usaha. Jumlah korbannya mencapai 1.171 keluarga dan 1.732 unit. Sedangkan pada periode Januari hingga September 2018 terjadi 79 kasus penggusuran paksa. Korbannya meliputi 277 kepala keluarga dan 864 unit usaha. Sebagian besar penggusuran dilakukan pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan catatan 91 persen pada 2017 dan 75 persen pada periode Januari hingga September 2018.
Penelitian LBH tersebut juga menyebutkan, penggusuran paksa yang terjadi pada masa Anies ini juga masih menggunakan pola yang sama. Tanpa musyawarah, menggunakan aparat tidak berwenang, intimidasi dan kekerasan hingga pelanggaran hak masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.
“Fakta ini bertentangan dengan standar HAM yang diatur berdasarkan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2005, Komentar Umum CESCR (Komisi Hak EKOSOB PBB) Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa dan UN Principles and Guidelines on Development-Based Evictions (Prinsip dan Panduan PBB tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan),” tulis LBH Jakarta. [KRG]