Suluh Indonesia – …Yang berjalan rampak berarak-arak, barisan pikulan berjalan belakang, lada, kesumbu, kapas, buah kelapa, buah pinang, asam dan wijen terpikul.
Di belakangnya pemikul barang, berjalan berbimbingan tangan, kanan menuntun kirik dan kiri genjik, dengan ayam itik di keranjang merunduk…
Demikian Dang Acarya Nadendra dalam Deçawarnana atau uraian tentang desa-desa menggambarkan akhir perjalanan rombongan Raja Hayam Wuruk dari Lumajang di tahun 1359.
Sesuai dengan namanya Deçawarnana, Dang Acarya juga menceritakan bahwa dalam setiap perjalanan-perjalanan itu, Hayam Wuruk melewati kampung-kampung dan pesawahan penduduk.
Serba teliti ia menguraikan segala oleh-oleh yang dibawa para pengiring raja itu.
Dibanding perjalanan lain, perjalanan Hayam Wuruk ke Lamajang adalah perjalanan terpanjang dan diuraikan dengan lebih detail dalam Deçawarnana. Dari total 98 pupuh, 23 di antaranya khusus menceritakan perjalanan itu.
Dang Acarya Nalendra adalah pembesar Buddha yang menyembunyikan jati dirinya dengan peparab Mpu Prapanca. Sedangkan Deçawarnana yang sejak semula dimaksudkan sebagai pujasastra kepada Hayam Wuruk justru belakangan lebih dikenal sebagai Nagarakrtagama.
Sebagai bekas pembesar urusan agama Buddha yang lama tinggal di pusat Majapahit, sekaligus mendapat kesempatan mengiringi perjalanan Hayam Wuruk ke berbagai tempat Dang Acarya Nalendra jelas memiliki pengetahuan yang luas. Baik mengenai wilayah dan kehidupan rakyat di dusun-dusun maupun seluk-beluk pemerintahan pusat pemerintahan Majapahit.
Hayam Wuruk pada masa pemerintahannya secara rutin mengadakan perjalanan di tahun-tahun tertentu. Umumnya, perjalanan itu dilakukan setelah panen dan menjelang musim kemarau.
Tak hanya ke Lamajang, dalam Deçawarnana, Prapanca juga menulis perjalanan Hayam Wuruk sebelumnya yakni ke Pajang di tahun 1353 dan Lasem pada tahun 1354. Juga perjalanan pantai selatan di tahun 1357.
Itu adalah tahun yang sama dengan meletusnya peristiwa Pasundan-Bubat.
Mengikuti perjalanan ke Lamajang, setahun berikutnya giliran Hayam Wuruk berkunjung ke Tarib dan Sampur di tahun 1360, dan berikutnya ke Rabut Palah pada tahun 1361yang merupakan kompleks Candi Panataran.
Di tahun 1362 atas perintah ibunya, Hayam Wuruk menggelar upacara Sraddha bagi Rajapatni Gayatri, neneknya. Dalam acara yang meriah itu diceritakan Hayam Wuruk mengakhiri upacara dengan meletakkan arca Prajñaparamita di Candi Prajñaparamitapuri di Boyolangu, Tulungagung sekarang.
Baca juga Pasang Surut Diplomasi Kuno Jawa dan Cina
Setahun berikutnya, Hayam Wuruk mengadakan perjalanan ke Simping meresmikan candi yang konon dipindahkan ke lokasi baru. Candi itu dibangun untuk memuliakan kakeknya, Raden Wijaya yang juga merupakan pendiri Majapahit.
Sebagai pujasastra, Deçawarnana bisa dianggap berhasil menggambarkan kehidupan masyarakat Majapahit yang benar-benar sejahtera.
“Tergopoh-gopoh wanita ke pintu berebut tempat. Malahan ada yang lari telanjang lepas sabuk kainnya. Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu berebut tinggi. Duduk berdesak-desak di dahan, tak pandang tua muda. Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning. Lupa malu dilihat orang, karena tepekur memandang,” tulis Dang Acarya Nalendra.
Di setiap tempat yang disinggahi Hayam Wuruk dan rombongannya selalu disambut suka cita penduduk setempat. Makanan disediakan berlimpah sementara bermacam hiburan juga dipertontonkan sebagai penghormatan kepada baginda.
Seperti dimaksud Dang Acarya Nalendra dengan ‘uraian tentang desa-desa’ Deçawarnana dengan jelas menggambarkan bagaimana desa dan pertaniannya menjadi tulang punggung perekonomian Majapahit.