Koran Sulindo – Gelombang penyebaran melemahnya kurs mata uang menular ke berbagai negara, termasuk negara-negara yang disebut sebagai emerging market. Nilai mata uang mereka rontok satu per satu ketika berhadapan dengan dolar Amerika Serikat. Penularannya menyebar dengan cepat dan sulit dikendalikan.
Mulanya menghantam peso Argentina yang terdepresiasi hingga 50 persen. Kendati telah mendapat dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF), peso tampaknya belum mampu bangkit dari keterpurukan. Tentu saja fakta itu mengejutkan banyak pihak. Segera setelah peso, gelombang serupa menghantam lira Turki yang terdepresiasi hingga 38 persen sepanjang tahun ini.
Sementara di Asia, yang paling terpukul adalah rupiah Indonesia dan rupee India. Nilai tukar rupiah disebut merosot ke level yang paling lemah terhadap dolar sejak krisis keuangan Asia pada 1998. Menanggapi situasi ini, Bank Indonesia (BI) berupaya mengatasinya dengan mencoba mengintervensi pasar dan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali sejak pertengahan Mei lalu.
Dari fakta itu, muncul pertanyaan: mengapa dolar AS begitu mendominasi dunia selama bertahun-tahun dan menjadi rujukan dunia internasional dalam perdagangan? Untuk menjawab ini, kita perlu menyimak sebuah uraian ekonom Rusia, Valentin Katasonov.
Dalam War and the Dollar pada 2015, Katasonov memaparkan, bagaimana dolar AS bisa tetap bertahan kendati perekonomian negeri itu acap diguncang krisis. Cadangan devisa dunia hampir 80 persen dalam bentuk dolar. Jika dibandingkan pada 1970, jumlahnya hanya 77,2 persen dan 1972, jumlahnya 78,6 persen. Setelah peralihan sistem yang disepakati dalai Konferensi Jamaika pada 1976, persentase tersebut secara bertahap berkurang dan mencapai titik yang terendah sekitar 59,0 persen pada 1995.
Akan tetapi, jumlah itu kembali meningkat setelah adanya globalisasi keuangan. Kedudukan dolar bertambah kuat lagi – cadangan devisa dunia dalam bentuk dolar mencapai 70 persen hingga 71 persen dalam kurun waktu 1999 hingga 2001. Lalu, kembali mengalami kemunduran dan terjun menjadi 61 persen pada 2014. Namun, bagaimanapun juga jumlah itu tetap lebih tinggi jika dibandingkan pada 1995.
Berdasarkan catatan Bank for International Settlement, transaksi pasar devisa dunia pada April 2010 yang dilakukan dengan dolar mencapai 84,9 persen. Angka ini terus meningkat hingga April 2013 yang mencapai 87 persen. Jika dibandingkan dengan euro pada periode yang sama justru angkanya berbanding terbalik. Penggunaan euro dalam pasar devisa dunia turun dari 39,1 persen menjadi 33,4 persen. Fakta ini atau dominasi dolar di dalam sistem keuangan dunia, kata Katasonov, tidak bisa diabaikan dengan posisi AS dalam perekonomian dunia.
Diceritakan Katasonov, kontribusi AS dalam produk domestik bruto (PDB) dunia pada 2015 sekitar 20 persen. Sedangkan kontribusi Tiongkok untuk PDB dunia sudah melampaui AS. Namun, di pasaran mata uang dunia, transaksi yang menggunakan yuan hanya 2,2 persen pada April 2013. Tidak ada data yang mencatat jumlah pasti tentang seberapa banyak cadangan devisa dunia disimpan dalam bentuk yuan. Para pakar, kata Katasonov memperkirakan tidak lebih dari 1 persen.
Dari fakta-fakta itu, kata Katasonov, kita diingatkan tentang perkembangan ekonomi dunia pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada masa itu, negara-negara yang mendominasi perekonomian dunia selalu bergantian. Terkadang AS karena melimpahnya produksi hasil industri dan pertaniannya. Kemudian, tempat kedua disusul Jerman karena keunggulannya dalam beberapa hal jenis barang. Sementara Inggris hanya berada di tempat ketiga walau pada abad ke-19, negeri ini dicap sebagai “pabriknya dunia”.
Walau demikian, mata uang Inggris yakni poundsterling digunakan sebagai dana cadangan dan digunakan sebagai alat tukar resmi dalam pembayaran internasional. Menjelang Perang Dunia I, cadangan devisa negara umumnya menggunakan pounsterling yang mencapai 47 persen. Sementara penggunaan dolar hanya 2 persen.
Fakta itu menunjukkan, orang yang menggunakan dolar sangat kecil. Ketidaksesuaian perkembangan ekonomi AS dan kedudukan mata uangnya dalam sistem keuangan internasional pada waktu itu sama dengan kenyataan perkembangan ekonomi Tiongkok dan kedudukan yuan dalam sistem keuangan dunia hari ini.
Agar dolar menjadi rujukan dunia waktu itu, maka diperlukan suatu perang. Melalui 2 kali Perang Dunia, maka terbukti dolar mengukuhkan dominasinya di dunia. Sejak itu, negara-negara di dunia sulit melepaskan diri dari ketergantungan dolar AS. Lalu, bagaimana caranya lepas dari ketergantungan itu? Haruskah ada Perang Dunia III untuk mengalahkan dolar? [KRG]