Turki mengerahkan persenjataan beratnya ke wilayah Idlib di Suriah.

Koran Sulindo – Di tengah persiapan tentara Suriah mempersiapkan serangan akhir ke Idlib di barat laut negeri itu, Mokskow mengirim sedikitnya 10 kapal perang dan dua kapal selam ke perairan di pantai Suriah.

Pengerahan armada itu menjadi adalah yang terbesar semenjak Rusia memutuskan campur tangan langsung dalam perang saudara di Suriah September 2015.

Sementara Damaskus berhasil membersihkan kantong-kantong militan di wilayah selatan, serangan ke Idlib diperkirakan bakal menjadi babak terakhir perang saudara di Suriah.

Selama ini, secara umum gaya berperang tentara pemerintah mengandalkan pemboman masif menggunakan artileri atau serangan udara kemudian menawarkan kesempatan ‘berdamai’ berupa penyerahan.

Mereka yang menolak menyerah diberikan pilihan dipindah tanpa senjata berat ke wilayah Idlib yang dikuasai pemberontak.

Pendekatan pertempuran model ini sangat berguna bagi Damaskus sekaligus menghindarkan mereka dari pertempuran-pertempuran panjang di suatu tempat.

Setelah hampir semua pemberontak ‘dikumpulkan’ di Idlib, wilayah itu kini dihuni sedikitnya 70.000 pemberontak dari berbagai faksi dengan yang terkuat di antaranya Hayat Tahrir al-Sham dan Jaish al-Watani .

Hayat Tahrir al-Sham adalah bekas Jabhat al-Nusra yang merupakan cabang Al-Qaeda di Suriah sementara Jaish al-Watani merupakan merger pemberontak yang didukung Turki dengan menggabungkan kelompok-kelompok pemberontak yang lebih kecil.

Keberadaan Turki yang mendukung Jaish al-Watani di Idlib mencerminkan kompleksnya masalah yang lebih luas.

Di sisi lain, meski serangan Damaskus ke Idlib tak akan menjadi akhir konflik di Suriah, dinamika geopolitik akan berubah secara pasti dari wilayah yang dikuasai organisasi militer otonom kembali menjadi sebuah kekuatan politik yang terpusat.

Ini jelas menjadi dilema bagi Turki yang sejak tahap awal perang segera meninggalkan rezim Assad dan dengan skala penuh mendukung pemberontak. Ankara melihat pemberontakan itu sebagai salah satu dari sejumlah gerakan Arab Spring sekaligus menganggap dirinya sebagai pelindung dan pemimpin alami bagi gerakan-gerakan ini.

Hanya saja, orang-orang Turki segera menelan kekecewaan ketika gelombang kebangkitan Islam Sunni di Suriah itu gagal meninggalkan jejak permanen.

Di sisi lain, dengan masuknya orang-orang Rusia ke medan perang Suriah dan keengganan AS menawarkan dukungan, pemberontakan segera kehilangan harapan mengalahkan rezim Assad.

Turki pada akhirnya bergerak sendiri dengan mengalihkan fokusnya di timur laut Suriah dengan mencegah Kurdi memperluas kontrolnya sekaligus pada saat bersamaan mencegah kekalahan dan penghancuran total pemberontak.

Kekalahan pemberontak akan merepresentasikan kegagalan memalukan pemerintahan Recep Tayepp Erdogan.

Tujuan pertama Turki dicapai dalam dua tahap yakni pada bulan Agustus 2016, dalam Operasi Euphrates Shield yang menetapkan kontrol di utara Suriah dari Jarabulus ke Azaz yang membuat Kurdi di Afrin mengalami isolasi total.

Kemudian, melalui Operasi Olive Branch di bulan Januari 2018 Turki menghancurkan dan menduduki Afrin yang membuat mereka secara efekif mengontrol wilayah dari Jarabulus hingga kegubernuran Aleppo.

Sementara itu, tujuan kedua dicapai Turki dengan berinvestasi dalam administrasi dan pendidikan di daerah-daerah yang dikontrol pemberontak dengan membangun sekolah-sekolah dan rumah sakit yang masuk dalam paket Euphrates Shield Zone.

Phak berwenang di wilayah itu bahkan telah mengeluarkan kartu identitas baru bagi penduduk daerah itu dengan tanda bendera oposisi dengan terjemahan bahasa Arab dan Turki. Kelompok pemberontak di bawah Jaish al Watani adalah actor kunci dari upaya ini.

Menjadi masalah karena semua proyek–proyek Turki di Suriah bakal terancam jika Damaskus menyerbu Idlib. Dengan populasi hingga 3,5 juta di Idlib, Turki khawatir serangan itu bakal menghasilkan gelombang pengungsian baru ke wilayah Turki atau ke Euphrates Shield Zone.

Di sisi lain, mengingat tekad Assad merebut kembali semua wilayah Suriah tentu kesuksesan serangan di Idlib bakal diikuti tekanan kepada Turki agar keluar dari zona ini. Di titik ini Euphrates Shield Zone adalah satu-satunya penghalang terakhir Damaskus dengan wilayah Suriah di barat laut.

Bagi Turki, pergi dari wilayah ini bakal menjadi kekalahan total dan kegagalan memalukan dari tujuan Turki sementara di sisi lain Kurdi justru mempertahankan area de fakto besar di timur Euphrates.

Inilah yang saat ini dikejar Turki melalui diplomasi keras untuk mencegah kemungkinan ini. Menteri Luar Negeri Mevlüt Çavuşoğlu pekan memperingatkan operasi militer ke Idlib bakal menjadi ‘bencana.’

Sementara Rusua tampil sebagai pemain kunci, sejauh ini Moskow telah menjadi perantara yang efektif di Latakia, Idlib dan Hama dalam tiga minggu terakhir.  Hampir bisa dipastikan, tak aka nada serbuan Damaskus ke Idlib tanpa izin Rusia.

Pertemuan Erdogan, Putin dan Rouhani di Teheran pada tanggal 7 September pada akhirnya diatur untuk menentukan masa depan wilayah di barat laut Suriah itu.

Mengapa posisi Rusia sangat penting. Iran, tentu saja sendukung reunifikasi Suriah oleh Damaskus sementara Turki jelas menginginkan status quo. Rusia, dengan kepentingan yang lebih luas jelas memiliki minat menjauhkan Ankara dari AS.

Moskow kemungkinan bakal menawarkan sebagian apa yang diinginkan Turki di Suriah meskipun memiliki biaya bagi hubungan Moskow dengan sekutunya. Putin dipastikan akan mencari formula untuk ‘menyelamatkan muka’ Turki.

Di sisi yang lain, Iran sangat membutuhkan Turki untuk merusak sanksi minyak yang diberlakukan kepada Teheran dengan imbalan menyelamatkan proyek Ankara di Suriah. [TGU]