Koran Sulindo – Sekitar seminggu menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), akhir Juli lalu Presiden Joko Widodo mengundang para sekertaris partai politik yang mendukungnya ke Grand Garden Resto & Cafe, kompleks Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Semua yang hadir berbusana kasual, warna-warni sesuai warna utama lambang partainya.
Dalam makan malam yang terlambat itu, Presiden Jokowi konon meminta parpol koalisi mengembangkan politik damai. Ia ingin Pilpres 2019 nanti berlangsung riang gembira.
“Jokowi tadi sampaikan ingin kembangkan politik damai, merangkul, supaya Pilpres riang gembira sesejuk Istana Bogor,” kata Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Kadir Karding.
Sembilan sekjen parpol yang hadir yakni Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Sekjen PPP Arsul Sani, Sekjen PKB Abdul Kadir Karding, Sekjen NasDem Johnny G Plate, Sekjen Golkar Lodewijk Freidrich Paulus, Sekjen Hanura Herry Lontung Siregar, Sekjen PSI Raja Juli Antoni, Sekjen Perindo Ahmad Rofiq, dan Sekjen PKPI Verry Surya Hendrawan.
“Kami membahas bagaimana langkah-langkah strategis menyangkut penjabaran nawacita kedua. Sudah ada tim disusun sehingga terjadi sinergi dalam hal visi misi,” kata Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Sampai hari itu, sebenarnya belum jelas siapa lawan Jokowi dalam Pilpres April 2019 nanti. Bahkan ia juga belum mengumumkan keikutsertaan dalam pencoblosan yang tinggal 10 bulan ke depan itu. Dan memang, kemungkinan yang paling besar adalah Jokowi versus Prabowo Subianto, pertarungan ulangan Pilpres 2014 yang berdarah-darah dan kali pertama memunculkan politik identitas dalam sejarah Pemilu di tanah air.
Dan seperti Presiden pertama RI Soekarno, Jokowi tak ingin Indonesia terbelah. Konon saking cintanya pada persatuan bangsa, Bung Karno menolak melawan Suharto, walau saat itu beberapa elemen dalam angkatan bersenjata mendukungnya, saat dilengserkan pada 1965.
Jokowi pun juga. Misalnya saat ia berpidato di hadapan para ribuan relawan pendukungnya di Sentul pada awal Agustus lalu.
“Jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah, tidak usah mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi kalau diajak berantem juga berani.”
Jokowi mengikuti Soekarno soal perlunya persatuan, sebelum dan setelah kemerdekaan.
“Ini penting mengingat bahwa bangsa ini mempunyai semua syarat untuk pecah, baik dari aspek SARA maupun dari aspek geografisnya yang berbentuk negara kepulauan,” kata Eva Kusuma Sundari, dalam tulisannya “Politik Merangkul PDI Perjuangan dan Jokowi” (Kompas.com/10/08/2018)
PDI Perjuangan juga jauh-jauh hari memulai kerja membentuk koalisi besar dengan membuka pintu lebar bagi semua partai politik demi mendukung Jokowi. Selain menyiapkan platform pembangunan Nawacita II, PDI Perjuangan juga aktif mengondisikan pembentukan koalisi besar, yang syaratnya termasuk dengan merelatifkan dan bahkan mentransformasikan kepentingan-kepentingan subyektif partai.
Sebagai konsekuensi ideologi partai yang merangkul semua golongan ke dalam satu rumah besar Pancasila, PDI Perjuangan bekerja menjahit keterbelahan atau polarisasi dalam masyarakat.
PDI Perjuangan membuka pikiran, hati, dan kehendak untuk merangkul sebanyak mungkin para pihak yang “berseberangan”, untuk diajak dialog dan bekerja sama menuju tujuan yang sama.
Strategi merangkul ini bukan sekadar karena kelapangan dan kedewasaan pribadi Ketum PDI Perjuangan dan Presiden, melainkan juga adalah perintah ideologi Pancasila sebagai dasar negara.
Strategi merangkul ini terlihat jelas pada pengumuman Capres dan Cawapres pada 9 Agustus 2018 sore, tatkala Ma’ruf Amin dirangkul, diberi penghormatan menjadi bakal cawapres oleh para ketum parpol koalisi dan pak Jokowi. Para pemimpin telah memberi contoh kebesaran jiwa dan pandangan yang responsif terhadap kebutuhan masa depan (visionary), yaitu soliditas dan persatuan bangsa.
“Ada pengorbanan itu pasti. Tidak ada kemajuan tanpa ada pengorbanan hari ini. Namun, kita menabung keuntungan yang lebih besar pada masa mendatang.”
Penunjukan Ma’ruf Amin sebagai bakal cawapres mempersatukan partai-partai koalisi dan para relawan pendukung pak Ma’ruf dengan pendukung Jokowi.
Pragmatisme Ekstrem
Konon, politik merangkul Jokowi diselenggarakannya hingga ke titik ekstrem,dan ia tak berpikir lain kecuali stabilitas politik di atas segalanya. Pilihannya kepada Ma’ruf Amin, selain mempersatukan partai pendukungnya, juga mengamankan dari serangan Islam garis keras.
Adalah Ma’ruf yang di belakang unjuk rasa besar-besaran anti Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) pada 2016, yang akhirnya menjungkalkannya dari kursi Gubernur DKI Jakarta.
“Ia lebih didorong oleh pragmatisme daripada idealisme yang pendukungnya lihat, Jokowi ingin menetralisir kritik dari kelompok-kelompok Muslim konservatif dan lawan-lawan politik yang telah mencoba menyebarkan citranya sebagai pemimpin yang tidak Islami,” tulis Ben Bland dalam Financial Times.
Menurut Bland, Jokowi tidak hanya seorang ahli taktik politik yang cerdas, ia juga seorang gradualis yang berhati-hati, yang, seperti pendahulunya Susilo Bambang Yudhoyono, telah menunjukkan sedikit keinginan untuk mengambil kepentingan pribadi.
Naluri untuk lebih memilih berkompromi daripada konfrontasi—yang merupakan salah satu kekuatan Jokowi—juga meluas ke kebijakan ekonomi.
“Jokowi sejauh ini hanya menstabilkan apa yang sebelumnya tidak stabil, bukannya menciptakan perubahan yang berarti,” kata Roland Rajah dari Lowie Institute.
Salah satu penasehat presiden mengatakan pilihan Jokowi itu adalah harga yang harus dibayar demi stabilitas negara beribu-ribu pulau, dengan banyak kelompok etnis dan agama dan sistem politik, yang sangat terdesentralisasi itu.
Dan itulah yang terlihat di tengah kerumunan elite-elite partai politik dan pewarta yang hadir di restoran Plataran, Menteng, Jakarta Pusat, sehari menjelang deadline pendaftaran Capres di KPU, awal Agustus lalu.
Mungkin semua orang kaget ketika ia akhirnya memilih Ma’ruf sebaga cawapres, bukannya, misal, Mahfud MD yang sudah bersiap-siap di sebuah restoran lain tak jauh dari situ.
Nama itu konon sudah dimatangkan sejak Jokowi menemui Megawati Soekarnoputri di Istana Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat pada Juni lalu.
Tentu keputusan memilih Ma’ruf Amin bukanlah suatu hal yang mengejutkan dan bisa diprediksi sebenarnya. Strategi ini bisa dipahami sebagai cara untuk memenangkan Pilpres 2019. Pada titik ini, itu adalah pragmatisme politik Jokowi; mungkin agar tidak dicap anti-Islam dan menampilkan diri dekat dengan ulama. Ia tentu tidak ingin lagi politik berbasis agama digunakan melawan dirinya. Jokowi khawatir apa yang terjadi pada Ahok pada Pilkada DKI Jakarta tahun lalu terulang padanya.
Sesejuk Istana Bogor
Koalisi parpol pendukung jokowi juga ingin mengembangkan merangkul yang damai, “supaya Pilpres riang gembira sesejuk Istana Bogor.” itu. Apalagi jelang Pilpres 2019, sang presiden harus berjibaku melawan populisme “ajak kelahi” Prabowo Subianto.
Pilpres 2019 memang menghidangkan dua kandidat yang sama-sama menghadirkan populisme. Jika Prabowo menggunakan populisme oligarkis seperti Thaksin Shinawatra di Thailand dan Hugo Chavez diKolombia, populisme Jokowi cenderung dianggap sebagai polite populism. Populisme yang sopan.
“Populisme Jokowi tidak menggunakan retorika “ajak kelahi” ala Prabowo yang cenderung keras dalam kata-katanya ketika mengritik elite kaya atau kekuatan asing yang sering disebutnya merampok kekayaan rakyat,” tulis Marcus Mietzner, akademisi Australian National University, dalam tulisannya “Reinventing Asian Populism”.
Jokowi cenderung berbicara dengan suara rendah dan tak mengancam. Juga tidak menawarkan konsep neo-otoritarian sebagai solusi terhadap status quo yang ada.
Mietzner menyebut kekuatan populisme Jokowi terletak dari tawaran sikap politiknya yang rendah hati, sopan, mengedepankan etika kerja keras, spontan, serta kontra-naratif dengan arogansi – tanpa mengkonfrontasi hal tersebut.
Populisme Jokowi juga mengedepankan efisiensi, hal yang membuatnya disebut sebagai populisme teknokrat. Konsep ini sangat berbeda dengan populisme klasik ala Prabowo yang mengidentifikasi musuh politik secara spesifik.
Populisme teknokrat berfokus pada meningkatkan apa yang sudah dicapai ketimbang menggantikan sistem yang sudah ada. Populisme jenis ini tidak akan banyak berbicara tentang ideologi dan konsepsi yang terlalu muluk, tetapi lebih kepada apa yang telah dicapai atau yang perlu diupayakan lebih baik untuk memajukan masyarakat.
Jenis populisme ini sangat mirip dengan apa yang digunakan Barack Obama pada Pilpres Amerika Serikat (AS) pada 2008. Saat itu, Obama menawarkan pemahamannya tentang persoalan negara dengan pendekatan yang bersifat merangkul semua pihak, dan bahwa dengan teknokrat yang tepat pada posisi yang tepat, segala persoalan negara dapat teratasi.
Baik Jokowi maupun Obama ada pada spektrum politik yang cenderung ke kiri dan berfokus pada pemerataan kesejahteraan, serta memberikan jaminan bagi semua orang bahwa mereka mempunyai hak yang sama secara politik dan ekonomi, tanpa takut didominasi oleh kelompok elite tertentu.
Mietzner juga menyebut populisme Jokowi punya kekhususan yang membuatnya berbeda dengan kebanyakan pemimpin populis di Asia karena menawarkan konsep yang inklusif. Selain itu, karena teknokratis, efisiensi adalah segalanya. Pengalaman Jokowi yang pernah memimpin wilayah yang lebih kecil mulai dari Solo hingga ke DKI Jakarta, membuat dirinya paham persoalan pemerintahan.
Ketika diajak berdebat tentang persoalan negara, Jokowi memang tidak akan berbicara tentang mengganti UUD 1945 ke versi aslinya seperti yang sering dikampanyekan Prabowo. Sebaliknya, yang ia bicarakan adalah bagaimana mengatasi disparitas harga barang di Pulau Jawa dengan wilayah-wilayah lain, atau program-program spesifik lainnya.
Jokowi memang terkenal sebagai sosok yang sangat pragmatis, apalagi jika berkaca dari perjalanan hidupnya. Mietzner menyebut ketimbang politis-ideologis, Jokowi lebih terlihat sebagai sosok yang pragmatis dan instingtif.
Pendekatan politik yang soft spoken memang membuat Jokowi mampu merangkul semua elite.
Satu-satunya cara mengalahkan Jokowi adalah mengkapitalisasi isu ekonomi sedemikian rupa, sehingga ia “terlihat” tidak mampu menepati janji-janji kampanyenya. Namun, ini adalah pekerjaan yang tidak mudah untuk oposisi. Apalagi, sebagai petahana saat ini, yang menguasai semua data dan juga kekuatan besar juga di media sosial, semakin sulit untuk melihat potensi kekalahan Jokowi, kecuali ada hal besar yang terjadi jelang Pilpres 2019 nanti.
Pada akhirnya, Pilpres 2019 akan berubah menjadi riang gembira karena tak ada perbedaan mencolok antara dua pasangan yang bertarung, dan berlangsung tanpa ada politik identitas yang norak. Semoga Pilpres April 2019 nanti mampu memberikan suasana riang gembira, hal yang sudah lama tampak terlupakan dalam politik Indonesia. [Didit Sidarta]