Koran Sulindo – Sementara Polisi Militer Rusia mulai membangun pos-pos pemantauan di sepanjang perbatasan Israel dan Suriah di Dataran Tinggi Golan, langkah itu secara simbolis menandai akhir perang di Suriah selatan.
Dari tempat itulah kali pertama protes menentang Damaskus disuarakan pada tahun 2011. Bertahun-tahun kemudian wilayah itu jatuh ke dalam kekuasaan ISIS hingga akhirnya mereka kalah awal bulan ini.
Tak seperti yang dibayangkan sebelumnya, Tentara Arab Suriah (SAA) ternyata hanya butuh waktu sebulan untuk merebut kembali semua wilayah selatan yang membentang dari perbatasan Yordania hingga Dataran Tinggi Golan.
Pemberontak pada akhirnya setuju ‘menyerah’ dan mau bergabung kembali dengan rezim, sementara 10.000 lainnya berbondong-bondong pindah ke Provinsi Idlib untuk kembali berperang atau saling bantai antar mereka.
Sepanjang tiga tahun terakhir, SAA berhasil meraih kembali kekuatan, kepercayaan diri dan kekuasaan semenjak Rusia mulai campur tangan di Suriah. Saat ini hanya ada tiga kekuatan besar tersisa di Suriah dengan pendukungnya masing-masing.
Mereka adalah Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang terdiri dari para pejuang Kurdi yang didukung AS yang menguasai sisi timur Eufrat, Tentara Pembebasan Suriah yang didukung Turki di utara dan rezim Damaskus yang menguasai sisanya dengan dukungan Rusia dan Iran.
Akhir Pertempuran
Tanda-tanda berakhirnya perang jauh-jauh hari sebenarnya terlihat ketika Aleppo berhasil direbut kembali tentara Assad. Perang kemudian memasuki fase baru yang ditandai dengan diadopsinya keputusan dari Ankara, Washington dan Moskow.
Perubahan ini mulai terlihat jelas ketika Rusia mulai berbicara tentang daerah de-eskalasi dengan mengadakan pembicaraan di Astana dengan Iran dan Turki.
Zona de-eskalasi memberikan kesempatan bagi Damaskus untuk berkonsentrasi di beberapa tempat tertentu tanpa diganggu perhatiannya.
Sementara kesepatakan matang, sisa kantong-kantong pemberontak yang dikuasai kelompok pemberontak independen seperti di Ghouta timur atau Suriah selatan sepenuhnya telah dikontrol Damaskus.
Di sisi lain, ISIS yang semula menguasai hampir separuh wilayah Suriah dan Irak benar-benar dihabisi SAA dengan hanya menyisakan hanya sekitar 1 % di Lembah Yarmouk di Dataran Tinggi Golan. Sementara itu Pasukan Kurdi juga mulai berancang-ancang meluncurkan fase ketiga yakni Operasi Roundup di lembah Eufrat untuk membersihkan sisa wilayah ISIS.
Meski tujuan Damaskus menaklukkan kembali semua wilayah Suriah sudah jelas dan memang menjadi prioritas Rusia dan Iran, soal berapa lama Damaskus justru menjadi pertanyaan utama.
“Kalaupun perang belum berakhir, arahnya sudah jelas,” kata bekas Duta Besar AS Robert S. Ford dalam sebuah wawancara dengan Pusat Analisis dan Pelaporan Timur Tengah.
Dia mengatakan Damaskus akan bekerja mengusir pasukan Turki dan Amerika, masih belum jelas peran apa yang akan dimainkan Moskow. “Saya tidak bisa membayangkan bahwa Rusia akan menolak upaya Assad untuk melawan Turki di Idlib,” kata dia.
Rezim Assad mesti berhati-hati agar tak memancing konflik dengan Turki dan mesti rela mencapai tujuannya melalui proses yang panjang.
Peran Turki
Jika tujuan rezim Suriah sudah sangat jelas, peran jangka panjang Turki di Suriah utara masih buram. Turki jelas berinvestasi sangat besar untuk mengembalikan jutaan pengungsi Suriah di wilayah mereka.
Meski sudah 75.000 pengungsi sudah kembali ke Suriah, Turki sedikitnya telah menghabiskan US$ 30 miliar untuk menopang kamp-kamp pengungsi dan akan lebih banyak lagi keluar uang. Apakah Turki melihat wilayah Suriah utara itu semacam Siprus Utara, atau mereka bakal menemukan akomodasi dengan Damaskus.
Sementara Damaskus sedang mempersiapkan serangan untuk menyerbu Provinsi Idlib, di mana Turki memiliki pos-pos pemantauan jika Turki memang berniat tinggal, mereka mestinya segera akan menarik garis merah di suatu tempat.
Ide Turki melakukan intervensi Turki di Suriah jelas tak semata-mata dilakukan untuk mendukung pemberontak. Mereka mendukung pemberontak untuk memastikan bahwa para pemberontak Kurdi termasuk Unit Perlindungan Rakyat (YPG) tak melampaui batas.
YPG oleh Ankara mendapat cap ‘teroris’ karena keterlibatannya dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK). YPG menjadi komponen utama SDF yang merupakan mitra koalisi anti-ISIS dukungan AS.
Turki secara serius telah memerangi PKK semenjak kegagalan gencatan senjata tahun 2015. Tak hanya ke Suriah, Turki juga mengirim pasukan ke Irak untuk menumpas kelompok itu.
Turki bahkan mengancam bakal menyerang Manbij, sebuah tempat di mana tentara AS bahkan berada di samping SDF. Pertemuan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan pejabat-pejabat di Ankara gagal menyepakati koridor di Manbij untuk membangun patrol independen antara AS dan Turki.
Hal paling penting yang gagal dipahami AS adalah tekad kuat Turki mendekati Manjib tak semata-mata hanya mendukung pemberontak melawan rezim. Agenda utama Turki justru melemparkan SDF kembali ke sisi timur Sungai Eufrat.
Strategi AS
Skenario sederhananya mungkin begini, jika AS meninggalkan Suriah timur dan Damaskus menyerbu wilayah itu, alasan utama Turki untuk tetap tinggal di Suriah otomatis berkurang.
“Ini bakal menjadi pertempuran panjang yang lebih keras,” kata Menteri Pertahanan AS James Mattis, akhir Juli lalu. “Anda bisa begitu saja meninggalkan mereka, dan kemudian ISIS kembali,” kata Mattis.
Ini menunjukkan bahwa AS memang tak berpikir akan pergi dari wilayah Suriah dalam waktu dekat. Mattis juga mengindikasikan bahwa uang tambahan untuk membangun kembali Suriah akan “menunggu Assad pergi.”
Dengan AS tetap pada skenario seperti yang dilakukan di Suriah timur, tampaknya penarikan pasukan AS dan pasukan koalisi akan dilakukan secara bertahap saat ISIS dikalahkan tak peduli itu dilakukan oleh siapa.
Di sisi lain, stabilisasi juga tengah dilakukan sementara SDF sedang melanjutkan negosiasi dengan Damaskus yang ditandai dengan kunjungan Dewan Demokrat Suriah yang merupakan lembaga penasihat SDF.
Skenario kedua adalah bahwa AS bakalan berinvestasi untuk mengacaukan stabilisasi dan membuat perang melawan ISIS menjadi perang panjang. Ini bakal lebih efektif untuk menekan perubahan di Damaskus sekaligus memberi waktu bagi AS mengancam Turki agar tak Manbij.
Skenario itu secara politis mensyaratkan investasi besar karena AS mesti membangun staf diplomatik dan mengucurkan dana untuk rekontruksi Suriah. Sejauh ini AS hanya melakukan langkah minimal dalam rekonstruksi seperti yang dilakukan di Manbij yang ternyata sanggup mengelola lingkungan mereka sendiri tanpa dukungan.
Damaskus jelas tak akan menerima skenario ini dan mencoba memaksa AS keluar bahkan kalau perlu misalnya dengan memicu ketidakstabilan suku-suku di Lembah Eufrat. Ini adalah sesuatu yang lazim dilakukan bagi orang-orang di Timur Tengah untuk menimbulkan masalah bagi AS.
Pilihan ketiga adalah investasi yang kuat di wilayah otonom di Suriah timur mirip dengan apa yang dilakukan AS di Irak utara setelah tahun 1991 yang menyebabkan terciptanya Pemerintah Otonomi Kurdistan.
Dari semua opsi yang tersedia itu, semua pilihan menghadapkan Washington pada persimpangan. Peran AS tidak ada yang belum pernah terjadi sebelumnya. [TGU]