Ilustrasi/screenshot Youtube

Koran Sulindo – Mahkamah Agung diyakini bakal mengabulkan gugatan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU Nomor 20 tahun 2018 yang diajukan beberapa pihak.

Keyakinan itu disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis dalam acara diskusi di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (31/7).

Disampaikan Margarito, PKPU Nomor 20 tahun 2018, yang mengatur soal larangan mantan terpidana kasus korupsi menjadi caleg, adalah bentuk perenggutan hak politik Warga Negara Indonesia. “Ini bertentangan dengan undang-undang,” kata Margarito.

Dalam UU Pemilu, kata Margarito, jelas tertulis setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih sementara dalam PKPU justru melarang.

“PKPU itu jelas bertentangan dengan aturan perundangan, sehingga tidak ada alasan bagi MA untuk menolak gugatan,” kata Margarito.

Lebih lanjut ia mendesak MA agar segera menerbitkan putusan gugatan PKPU Nomor 20 tahun 2018 sebelum KPU mengumumkan daftar calon tetap Caleg.  “Kalau MA memutuskan terlambat maka dapat menimbulkan masalah baru.”

Menurut Margarito, UU MA tak ada aturan batas waktu masa persidangan gugatan uji materi sehingga bisa diputus kapan saja, bisa dua pekan, enam bulan, atau satu tahun. Sementara di sisi lain, tahapan pemilu berjalan dengan batas waktu yang sudah ditetapkan.

Pada kesempatan yang sama itu, Wa Ode Nurhayati yang telah menjalani masa hukuman dalam kasus pidana korupsi. Ia mengaku batal menjadi caleg karena terbentur PKPU Nomor 20 tahun 2018 itu.

Menurut Wa Ode, PKPU itu bertentangan dengan UU karena membatasi hak politik warga negara. Karena itulah Wa Ode mengajukan gugatan aturan itu ke Mahkamah Agung. “Saya juga melihat PKPU ini bertentangan dengan UU karena membatasi hak politik WNI,”  kata Wa Ode.

“Sebagai mantan narapidana, saya merasakan penegakan hukum di Indonesia masih belum memenuhi rasa keadilan. Saya mengimbau agar penegakan hukum dapat dilakukan secara adil dan memenuhi rasa keadilan,” kata Wa Ode.

KPU menerbitkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kota. Lembaga itu juga menyebut peraturan tentang bekas koruptor dilarang nyaleg itu bisa diberlakukan tanpa harus mendapat pengesahan Kementerian Hukum dan HAM.

Dari laman JDIH KPU aturan tersebut sudah diunggah sejak Sabtu sore dan dapat diunduh oleh masyarakat umum.

Aturan tersebut memicu keberatan banyak pihak dari berbagai pihak termasuk Badan Pengawas Pemilu.

Menurut anggota Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo, meski Bawaslu memiliki semangat melahirkan wakil rakyat yang bersih dan bebas dari para koruptor, semangat itu harus diwujudkan dengan tetap berpegang pada peraturan perundangan.

Selain itu, Bawaslu juga memiliki tugas untuk melindungi hak konstitusional warga negara.

“Sangat berbahaya jika penyelenggara pemilu melakukan pembatasan hak konstitusional warga negara. Pembatasan hak konstitusional akan berbahaya lantaran dapat menjadi penyalahgunaan kewenangan,” kata Ratna.

Konstitusi, kata Ratna dengan tegas hanya memberikan kewenangan pembatasan hak melalui UU sedangkan aturan larangan bekas napi nyaleg oleh KPU diatur dalam PKPU.

Menurutnya, langkah konkret memastikan calon legislatif bersih bebas dari koruptor Bawaslu bakal melakukan pendekatan kepada partai politik.

Hal itu dilakukan dalam rangka membangun komitmen moral sekaligus mendesak parpol agar tak mencalonkan bekas koruptor sebagai calon anggota legislatif. Kesadaran itulah yang sesungguhnya perlu dibangun oleh partai politik peserta pemilu.

Bawaslu sendiri, kata Ratna, telah mengagendakan pertemuan dengan partai politik peserta Pemilu meski belum merinci kapan waktu pertemuan tersebut.

“Sudah ada jadwal yang dibuat sesuai waktu yamg disetujui parpol, akan dimulai tanggal 3. Dilakukan dengan cara mengunjungi kantor parpol. Pasti akan diinfokan ya, parpol mana dan kapan,” kata dia. [SAE/TGU]