Ilustrasi tingkat kemiskinan di Indonesia [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Polemik tentang angka kemiskinan di Indonesia terus berlanjut. Tidak hanya pengamat, kritik terhadap hasil rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka kemiskinan per Maret 2018 juga datang dari Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-6 RI dan Prabowo Subianto.

Setelah bertemu Ketua Umum Partai Gerindra, Yudhoyono dalam keterangan resminya menyampaikan, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 100 juta orang. Karena itu, ia berharap kepada Prabowo yang didukung sebagai calon presiden bersama pasangannya kelak menaruh perhatian terhadap nasib 100 juta orang itu.

Sontak pernyataan Yudhoyono ini membuat Istana Negara kaget. Terlebih disampaikan oleh Presiden ke-6 RI yang tentu saja tahu keadaan sesungguhnya rakyat Indonesia. Untuk menanggapi Yudhoyono, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, Ketua Umum Partai Demokrat itu diminta tidak mengeluarkan pernyataan berdasarkan perkiraan.

Berpendapat itu, kata Pratikno, sebaiknya berbasis data. Semisal, merujuk kepada data statistik yang dikeluarkan BPS hasil survei per Maret 2018 yang menyebutkan angka kemiskinan hanya 9,8% dari total penduduk. Angka ini menunjukkan penurunan orang miskin dari 27,7 juta jiwa menjadi 25,95 juta jiwa.

Itu sebabnya, penurunan ini karena hanya berada di level satu digit menjadi hal bersejarah di Indonesia. Seperti Yudhoyono, Prabowo juga acap mengkritik capaian pemerintah soal penurunan tingkat kemiskinan itu. Merujuk kepada BPS, Prabowo menyebut jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup tinggi mencapai sekitar 69 juta jiwa.

Merujuk penelitian lembaga internasional, koefisien gini ratio Indonesia berada di angka 45. Itu berarti 1% masyarakat menguasai 45% kekayaan nasional. Dari angka-angka yang disebut Prabowo, maka bisa disimpulkan tingkat kemiskinan di Indonesia justru naik 50% dibanding yang diumumkan BPS.

Tak terima lembaganya dicatut, Kepala BPS Suharyanto membantah pernyataan Prabowo itu. Ia mempertanyakan pendapat Prabowo yang dinilai tanpa dasar. Yang dilakukan BPS, demikian Suharyanto, merujuk kepada metode yang digunakan Bank Dunia dimana garis kemiskinan ditetapkan pada angka US$ 2,5.

Hitungannya menurut Suharyanto perkiraan konsumsi yang dikonversikan ke dolar Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan kesetaraan (paritas) daya beli atau purchasing power parity (PPP) per hari. Karena itu, mereka tidak menggunakan nilai dolar AS resmi yang kursnya sudah mencapai Rp 14.500 per dolar.

Di Indonesia angka konversi PPP merupakan banyaknya rupiah yang dikeluarkan masyarakat untuk membeli barang kebutuhan dan jasa dengan jumlah sama dan dapat dibeli dengan US$ 1 di AS. Dengan menggunakan tahun dasar 2011, batasan kemiskinan ekstrem internasional yang digunakan Bank Dunia adalah US$ 1,9 PPP per hari.

Perkiraan konversi US$ 1 PPP dengan tahun dasar 2011 pada 2016 setara dengan Rp 4.985,7 per kapita per hari dan 2018 setara dengan Rp 5.300 per kapita per hari. Dengan kata lain, posisi garis kemiskinan nasional (GKN) Indonesia terhadap dolar PPP pada 2016 Rp 364.527 per kapita per bulan atau setara US$ 2,44 PPP per kapita per hari. Lalu, 2018 konversi Rp 401.220 per kapita per bulan setara US$ 2,5 PPP per hari. Itulah yang menjadi standar ukuran kemiskinan secara nasional.

Sesungguhnya metode yang sama juga dilakukan BPS ketika mengukur kemiskinan pada era Yudhoyono. Pada Maret 2014, misalnya, jumlah penduduk miskin mencapai 28,28 juta orang atau 11,25%. Jumlah ini meningkat 0,11 juta orang (0,39%) dibanding 2013.

Multidimensi
Karena menggunakan metode yang sama, penghitungan demikian bukannya tanpa kritik. Di samping menggunakan metode survei dan hasilnya juga perkiraan atau estimasi itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam laman resminya menegaskan pengukuran kemiskinan yang dilakukan Bank Dunia dan BPS sama-sama hanya mengacu pada kondisi ekonomi. Keberagaman pendapat atas kemiskinan menjadi bukti kemiskinan sebenarnya bersifat multidimensi yang perlu melihat kondisi lainnya seperti sosial, budaya, dan demografi.

Pusat Penelitian Kependudukan LIPI telah mengukur kemiskinan rumah tangga dengan pendekatan sosial demografi yang menggunakan variabel rata-rata lama sekolah dalam suatu rumah tangga, proporsi indeks bekerja suatu rumah tangga, jumlah anak lahir hidup dan balita yang meninggal dalam suatu rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga usia 15 tahun ke atas yang bermigrasi, serta umur saat perkawinan pertama dari seorang istri kepala rumah tangga.

Pengukuran kemiskinan sosial demografi ini bisa melengkapi pengukuran kemiskinan dari sisi ekonomi. Ini menjadi penting agar faktor selain ekonomi perlu diperhatikan dan dipertimbangkan sebagai komponen dan variabel yang diperhitungkan ketika mengukur kemiskinan. Dengan demikian, hasil pengukuran kemiskinan tidak bias ekonomi dan lebih mampu menggambarkan kondisi kemiskinan masyarakat yang sebenarnya.

Kritik soal angka kemiskinan ini juga datang dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Peneliti Indef Bhima Yudhistira mempertanyakan klaim BPS bahwa kelompok penduduk 40% terbawah mengalami penaikan dari segi pengeluaran. Terlebih pada September 2017, BPS menetapkan penduduk dengan pengeluaran Rp 400.995 per bulan untuk masyarakat kota dan Rp 370.910 untuk masyarakat desa sebagai kelompok miskin.

Ia menduga, turunnya persentase kemiskinan dan meningkatnya pengeluaran karena momentum survei BPS mendekati masa pemberian bantuan sosial serta dilakukan ketika panen raya sedang berlangsung di berbagai daerah. Terlebih 60% penduduk miskin ini bekerja sebagai buruh tani sehingga ketika panen raya sedang berlangsung tergambar seolah-olah ketimpangan menurun.

Sedangkan, kelompok penduduk 20% teratas yang seharusnya pengeluarannya besar, justru mengalami penurunan pengeluaran. Pengeluaran dari penduduk kaya yang menurun itu disebut sebagai aktivitas menahan konsumsi. Seperti LIPI, Bhima berpendapat data kemiskinan dan ketimpangan ini memang masih bias, terlebih dasar penghitungannya lewat pengeluaran bukan pendapatan.

Berdasarkan fakta tersebut, maka kritik Yudhoyono soal angka kemiskinan pada era pemerintahan Joko Widodo menjadi tidak tepat. Karena kedua pemerintahan menggunakan metode yang sama dan rujukannya pun Bank Dunia yang hanya memperkirakan tingkat kemiskinan di suatu negara. Itu sebabnya, idiom sesama bus kota dilarang saling mendahului tampaknya pas untuk menggambarkan pernyataan Yudhoyono. [Kristian Ginting]