Gerakan perlawanan Palestina tak bisa dilepaskan dari peran serta para perempuan.

Koran Sulindo – Umur tak menghalangi Khalid Abu Mosa ketika menjawab panggilan Kota Gaza yang menjadi tanah air sekaligus tumpah darahnya. Begitu juga jenis kelamin.

Bagi seorang guru sekolah dan ibu enam anak itu mempertahankan Gaza dan melawan pendudukan Israel adalah perjuangan mempertahankan kehormatan sekaligus menjaga martabatnya.

“Tanah adalah kehormatan dan martabat,” kata Abu Mosa dengan suara keras di sebuah tenda putih yang melindunginya dari terik matahari.

Dengan tangan kiri berbungkus kuffiyeh kotak-kotak hitam putih, beberapa ratus meter di depannya tentara Israel bersenjata lengkap berjaga angkuh di antara tumpukan barikade.

Kontras dengan tentara itu, Abu Mosa hanya bersenjata sebuah syal dan sehelai bendera Palestina.

Pada permulaan gerakan unjuk rasa tanggal 30 Maret lalu pundaknya ditembak tentara Israel ketika mencoba memasang bendera Palestina di sebuah gundukan tanah. Peluru itu masih tersimpan di bahunya.

Tiga minggu kemudian Abu Mosa kembali bergabung dengan puluhan ribu pemrotes lainnya dalam The Great Return March di zona penyangga yang dibangun sepihak oleh Israel untuk memisahkan Gaza.

The Great Return March yang baru saja berakhir menunjukkan tipikal unik dalam sejarah Gaza karena sejumlah alasan.

Selama beberapa dekade terakhir perlawanan militan orang-orang Palestina atas pendudukan Israel umumnya hanya didominasi Fatah dan Hamas, yang meski memiliki tujuan sama namun berbeda mendalam secara ideologis dan strategi gerakan.

Tapi dalam minggu-minggu terakhir gerakan perlawanan justru menampilkan ciri yang sangat berbeda. Protes justru dikoordinasikan oleh mobilisasi popular non-kekerasan bukan oleh kelompok perlawanan.

Hal lain yang tak kalah penting adalah peran aktivis perempuan yang memainkan peran sangat penting dalam protes pada skala yang belum pernah dilihat selama beberapa dekade terakhir.

The Great Return March dimulai pada tanggal 30 Maret untuk memperingati pembunuhan enam warga Palestina yang memprotes penyitaan tanah oleh Israel pada tahun 1976.

Gerakan tersebut berakhir tepat tanggal 15 Mei yang disebut sebagai Hari Nakbah atau hari bencana. Merujuk pada perang di tahun 1948 yang menjadi awal pembentukan Israel setelah pengusiran 750.000 orang Palestina.

Pengusiran yang membuat populasi penduduk Palestina di 450 kota atau desa-desa di anjlok.

Catatan menyebut 70 persen peserta demonstrasi The Great March Return itu adalah penduduk Gaza yang terusir atau melarikan diri dari rumahnya selama Hari Nakba atau keturunan mereka.

Sebagian besar dari mereka yang berpartisipasi itu, termasuk Abu Mosa umumnya mengenal desa-desa asli mereka hanya melalui cerita-cerita keluarga semata.

Sejak hari ketika Abu Mosa ditembak di pundaknya, sepanjang bulan Maret saja Israel telah membunuh 125 orang dan melukai 13.000 orang Palestina tak bersenjata.

Jumlah yang terluka atau terbunuh itu melejit terutama pada tanggal 14 Mei ketika tentara Israel menewaskan 62 orang Palestina dan mencederai 2.700 lainnya. Itu adalah hari ketika pemerintahan Trump merayakan pembukaan kedutaan baru di Yerusalem.

“Jangan tanya saya apakah seseorang yang dekat dengan saya telah terluka atau terbunuh,” kata Abu Mosa. “Semua pengunjuk rasa adalah kerabat dan teman saya. Kami menjadi satu keluarga.”

Setelah pembantaian pada tanggal 14 Mei itu, komite akar rumput yang menginisiasi The Great Return March memutuskan bahwa protes harus dilanjutkan. Pembunuhan juga ikut berlanjut, termasuk ketika seorang relawan wanita berusia 21 ditembak di dada tanggal 1 Juni dan tewas.

Bagi Abu Mosa, ide The Great Return March menjadi puncak mimpinya untuk kembali ke kota asal di Beer Sheva. Tempat ia bercita-cita akan menanam mint dan bunga di pekarangannya.

Sama seperti Abu Mosa, niat Siwar Alza’anen mengikuti The Great Return March dimotivasi keinginan yang mendalam kembali ke desa asalnya. Siwar baru berusia 20 tahun dan menjadi aktivis organisasi Front Buruh Mahasiswa Palestina.

“The Great Return March untuk mengirim pesan ke komunitas internasional bahwa kami sangat menderita, kami hidup di bawah tekanan, pengepungan, penderitaan dan kemiskinan,” kata dia.

Menjabat sebagai direktur departemen perempuan di Federasi Serikat Pekerja Umum Palestina di Rafah, Samira Abdelalim percaya The Great Return March bakal membuat orang-orang Palestina merebut haknya.

Termasuk hak kembali ke desa-desa mereka, menentukan nasib sendiri dan jika memungkinkan hidup dalam damai dan kebebasan.

“Tapi saya juga tahu, bahwa pendudukan tidak akan berakhir dalam satu hari. Tapi dengan kerja-kerja kumulatif harus tetap dilakukan,” kata dia.

Samira memimpin sebuah komite perempuan dalam The Great Return March yang bersama beberapa anggotanya mengatur logistik seperti air dan bus serta merencanakan pemberdayaan perempuan dalam kegiatan budaya.

Ia mengawali aktivitas perlawanannya selama Intifada Pertama yang memiliki tujuan yang sama dalam rangkaian demonstrasi terkini.

Intifada Pertama dimulai tahun 1987 ditandai dengan gerakan tak bersenjata yang sangat terkoordinasi untuk melawan pendudukan Israel. Aksi pembangkangan sipil itu meluas mencakup pemogokan, boikot dan pembentukan sekolah ‘bawah tanah’ termasuk mengembangkan kemandirian ekonomi.

Dalam Intifada Pertama ini diakui atau tidak perempuan adalah tulang punggung gerakan tersebut.

“Para penguasa lapangan adalah para demonstran,” kata Samira. “Dalam Intifada Pertama, wanita dan pria biasa berdiri bahu-membahu di samping satu sama lain, berjuang bersama.”

Sama seperti Samira, Iktima Hamad satu-satu wanita dari 15 pemimpin utama The Great Return March juga memendam cita-cita yang sama. Tak hanya mengakhiri pendudukan Israel, namun sekaligus mempromosikan kesetaraan bagi perempuan di Gaza.

“Perempuan dapat memainkan peran penting dalam pembebasan Palestina, karena mereka merupakan bagian integral dari komunitas Palestina,” kata Iktima.

Iktima adalah seorang aktivis muda saat Intifada Pertama. Wanita yang kini berusia 51 tahun itu mengingat bahwa wanita adalah ‘pelopo’ gerakan itu.

“Ada dewan perempuan yang terbentuk pada tahun 1989 dan dewan ini memiliki tanggung jawab di jalan-jalan,” kata Iktima mengenang.

Para wanita-wanita ini memimpin demonstrasi atau sekadar aksi duduk dengan membagikan selebaran, membentuk komite lingkungan, dan berpartisipasi dalam dewan wanita. Mereka bahkan bekerja bersama dalam kesatuan terlepas apapun faksi politik yang mereka anut.

Berbeda dengan Samira atau Iktima, Abu Mosa adalah tipikal wanita di Gaza yang sudah tak terlibat aktif secara politik lebih dari 25 tahun. Ia menyebut The Great Return March membawa ingatannya pada periode Intifada Pertama itu.

Bahkan bau gas air mata membuatnya bernostalgia. “Saya merasa Maret ini adalah Intifada Pertama.”

Sebagai gerakan, Intifada Pertama berakhir ketika Kesepakatan Oslo ditandatangani. Perjanjian damai yang dirundingkan secara rahasia antara pemerintah Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang kala itu terdiri dari orang-orang Palestina di pengasingan. Kala itu semua tim negosiasi PLO adalah laki-laki.

Kesepakatan Oslo membuka jalan terhadap pembentukan Otorita Palestina dan kembalinya pemimpin PLO yang sebelumnya diasingkan dari Tepi Barat dan Gaza. Bebarengan dengan itu, aktivis akar rumput yang memimpin gerakan segera terpinggirkan dari struktur kepemimpinan baru sementara wakil perempuan dikeluarkan sama sekali.

Samira menyebut sepanjang lintasan perjuangan perempuan Palestina, peran perempuan pada akhirnya bergeser secara radikal.

“Masyarakat laki-laki menolak memasukkan perempuan dalam pengambilan keputusan, dan menolak (keterlibatan) perempuan dalam kebijakan dan perencanaan,” kata dia.

Jadi, selain melawan pendudukan Israel, wanita Palestina juga menghadapi perlawanan laten berupa perjuangan hak-hak sosial, politik, hukum, dan ekonomi dalam masyarakat.(TGU)