Koran Sulindo –Di hadapkan pada ancaman lain yang lebih besar, Israel langsung menyetujui permintaan Hamas untuk gencatan senjata.
Gencatan senjata tak resmi itu segera berlaku Rabu, (30/5) pagi di Gaza.
Sejauh ini gencatan senjata juga dipatuhi kedua belah pihak. Roket dan mortir dari Gaza berhenti, sebagaimana serangan udara Israel ke Gaza.
Tanpa sifat resminya, pejabat politik dan militer Israel mengklaim mereka tak menyepakati apapun dengan Hamas.
Gencatan senjata informal itu disepakati ketika pemimpin-pemimpin kelompok perlawanan di Gaza menyampaikan ‘pesan’ kepada Mesir bahwa mereka bersedia mengakhiri serangan. Mereka juga berjanji bakal mengendalikan kelompok-kelompok yang lebih kecil di Gaza.
Israel, sebagai tanggapan, mengatakan bahwa ‘ketenangan’ akan disambut dengan ‘ketenangan’ serupa.
Sepanjang Selasa, (28/5) malam, Israel mengerahkan jet-jet tempurnya untuk menghantam berbagai target di Gaza. Meski tak dilaporkan tentang korban jiwa, serangan itu menghacurkan infrastruktur sipil dan militer di Gaza.
Target-target yang diincar Israel antara lain sebuah terowongan ofensif, gudang drone dan sebuah pabrik mortir.
Tanpa korban sipil yang jatuh menunjukkan Israel memilih targetnya dengan hati-hati agar tak memicu eskalasi di Gaza yang memang sudah mendidih.
Di sisi lain, keengganan Israel menggelar operasi darat ke Gaza jelas dipicu oleh prioritas tantangan di depan mata. Masalah pelik yang mendesak harus dihadapi Tel Aviv adalah situasi di Suriah dan keterlibatan Iran di sana.
Menteri Pertahan Israel Avigdor Lieberman mala mini terbang ke Moskow untuk mendiskusikan solusi menjauhkan pasukan Iran dan milisi Syiah dari perbatasan Israel-Suriah di dataran tinggi Golan.
Dibanding dengan masalah Suriah, bagi Israel konflik di Gaza adalah masalah sekunder dan mereka tak memiliki target jangka pendek. Menggulingkan Hamas bakal membutuhkan perang dengan ‘biaya’ signifikan sementara di sisi lain tak ada kepastian bahwa pasca-Hamas kondisi Gaza bisa menjadi lebih baik.
Menanggapi serangan dari Gaza, pejabat intelijen Israel menjelaskan perilaku Hamas dalam 24 jam terakhir kira-kira seperti ini.
Sejak Operasi Protective Edge musim panas tahun 2014, Hamas terlihat jelas menghindari agar tak lagi menembakkan roket dan mortir mereka ke Israel.
Sepanjang dua bulan terakhir, Hamas sedang fokus untuk memaksakan kontrolnya atas kelompok-kelompok lain dengan membuat keuntungan internasional dari gambar-gambar kematian di sana.
Namun ketika protes itu meledak pertengahan bulan lalu dan menewaskan hingga 60 orang, Hamas segera kehilangan panggungnya. Perhatian internasional justru beralih kepada perseteruan Israel dan Turki yang berujung pada pengusiran masing-masing duta besarnya.
Di sisi lain, Mesir justru membuka perbatasannya dengan Gaza di Rafah.
Awal pekan ini konstelasi berubah, niat Jihad Islam membalas tewasnya tiga anggota mereka oleh tentara Israel memaksa Hamas sedikit melonggarkan taktiknya untuk berhenti menyerang Israel.
Hamas juga gagal mengantisipasi reaksi keras Israel yang segera mengirim serangan dengan intensitas tinggi ke Gaza. Ketika intensitas serangan meningkat, Hamas mulai berada dalam masalah jika mereka tak membalas serangan itu.
Mereka jelas takut dituduh berperilaku seperti Otoritas Palestina -yang berarti- berkolaborasi dengan Israel.
Keadaan bertambah buruk ketika faksi-faksi lain yang ‘durhaka’ seperti Komite Perlawanan Populer Palestina dan organisasi Salafi, bergabung dalam baku tembak itu.
Perang baru dengan Israel di tengah kondisi buruk masyarakat Gaza jelas tak bakal menjadi pilihan utama Hamas. Hal yang sama juga tengah dihadapi Israel dengan Suriah.
Pilihan paling masuk akal bagi mereka tentu saja jelas. Berhenti menembak.(TGU)