Ilustrasi/Getty Image

Koran Sulindo – Persis 20 tahun lalu, sorak sorai Reformasi bersahutan di Keramat, wilayah berpenduduk mayoritas Melayu di pinggiran Kuala Lumpur, Malaysia. Saat itu, kemarahan rakyat tertuju pada Perdana Menteri Mahathir Mohamad, yang memecat Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim.

Pekan lalu, di lapangan sepak bola yang sama, Dr Mahathir ada di sana. Tapi kali ini di pihak yang menyeru perlawanan terhadap pemerintahan PM Najib Razak.

“Saat ini, kita berharap menggulingkan pemerintah sebab oposisi bersatu dan didukung banyak orang,” kata Mahathir di depan ribuan orang yang menghadiri kampanye terakhir aliansi Pakatan Harapan (PH) yang bertajuk “Tsunami Rakyat”, hari terakhir sebelum 15 juta rakyat negeri jiran itu mencoblos, 9 Mei lalu.

Hanya tak lebih 24 jam kemudian, PH mengalahkan Barisan Nasional dalam pemilu paling dramatis dalam sejarah Malaysia, dan dalam 48 jam kemudian lelaki yang akan berusia 93 tahun pada Juli nanti itu kembali menjadi PM.

Pemilu Malaysia lalu memang luar biasa dalam banyak hal. Pertama, bekas pemimpin negeri itu, yang telah mengasingkan diri hampir 15 tahun dari perpolitikan, turun gunung melawan Najib, kader yang turut dibesarkan. Tak semua pemimpin mempunyai kesempatan membetulkan apa-apa yang salah dari masa lalunya.

Mahathir masih menikmati popularitas di Malaysia sebagai konsekuensi dari kesejahteraan yang dialami rakyat negeri itu selama masa kekuasaannya dari 1981 hingga 2003. Namun, selama masa itu, ia juga dituduh melucuti independensi sistem hukum pada 1988 sekaligus meredam aksi protes dengan menahan lebih dari 100 orang dalam insiden yang disebut Operasi Lalang. Pada Desember 2017 lalu, dalam pernyataan singkat, Mahathir meminta maaf atas “segala kesalahan” selama 22 tahun masa pemerintahannya.

Kedua, dalam Pemilu Malaysia lalu, petahana menggunakan segala trik kotor yang bisa terpikirkan: mengaduk politik identitas di negeri yang multietnik itu; membabat habis kritik; mengubah sistem elektoral demi menguntungkan pihaknya; hingga mengancam akan ada kekacauan jika kalah. Dan tetap kalah.

Bagi sebuah negeri yang politiknya tak jauh dari garis komunal, hasil mengejutkan Pemilu Raya itu memberi harapan pada tertempahnya meritokrasi dalam menjalankan pemerintahan. Hasil yang bagi Najib, yang dituduh Departemen Kehakiman Amerika Serikat mencuri untuk dirinya 681 juta dolar AS uang diraja Malaysia, semacam vonis dari rakyat ia menemui takdir yang sudah disediakan baginya.

Tapi yang paling penting dari sekadar Najib, pengadilan korupsi pada mantan PM itu harus diselenggarakan lepas jauh dari pengadilan politik, agar kroni-kroni Najib di UMNO kelak tak segera berpindah, membonceng kereta api baru Pakatan Harapan.

Era Baru

Pemilu Malaysia juga menunjukkan kepada bangsa-bangsa bahwa perubahan kekuasaan bisa berjalan tanpa darah yang tertumpah dan korban jiwa berjatuhan. Tak seperti Reformasi di Indonesia 20 tahun lalu yang diiringi nyawa hilang, toko-toko terbakar, dan ekonomi yang jatuh ke titik nadir, Reformasi Malaysia berlangsung halus, rapi, dan santun.

Ilustrasi: Mahathir Mohammad dan pasukan oposisi/EPA

Pertanyaan utama hanyalah bagaimana mungkin perubahan politik besar dipimpin orang yang sudah begitu sepuh?

“Kita membutuhkan dia untuk menggusur yang sekarang. Dia satu-satunya yang bisa menolong kita sekarang,” kata salah seorang pendukungnya yang merapat ke PH.

Selama masa kampanye, memang, seluruh penjuru Malaysia penuh warna biru bendera Barisan Nasional, halaman iklan koran, semuanya. Wajah Najib yang sedang tersenyum seolah berkata pilih saya lagi. Di belakangnya, ia mempunyai mesin perang yang sudah terawat sejak 3 April 2009, lengkap dengan gerombolan spin doctor dalam gerbongnya.

Bahkan banyak terdengar para pendukung oposisi ketakutan Najib akan mencuri kemenangan dengan berbagai cara.

“Jika kotak suara tak penuh, segalanya bisa terjadi.” Bunyi kecemasan itu menghadapi Lebuh Raya lalu.

Orang-orang pesimis akan berkata tak ada yang baru di Malaysia. Najib keluar, tapi elite-elite sama yang sudah tua-tua tetap duduk manis di kursinya masing-masing.

Dalam pakta dengan Mahathir, Anwar Ibrahim akan menjadi perdana menteri dalam 2 tahun, Ia akan keluar penjara pada Juni, menerima pengampunan dari raja agar bisa ikut pemilu sela, lalu menjadi anggota parlemen, kemungkinan di wilayah tempat istrinya memenangkan kursi dalam pemilu lalu.

Kompromi yang luar biasa itu, pemenang hanya mau duduk sebagai penguasa hanya dalam masa sebentar, juga terjadi di berbagai tempat dan berbagai bentuk dalam perubahan politik raksasa negeri melayu itu.

Kompromi dari keluarga Anwar Ibrahim juga mencekat hati. Adalah Mahathir yang menjebloskan Anwar ke penjara dengan berbagai tuduhan absurd. Selama dekade terakhir Anwar dan keluarganya mengalami duka dan bencana karena pak tua itu, tapi toh tetap bersedia bekerja sama.

“Kami melakukan untuk negara” kata Nurul Izzah, anak perempuan Anwar Ibrahim.

Beberapa partai politik juga berkorban untuk aliansi PH. Pemimpin Democratic Action Party, Lim Kit Siang dan anaknya Lim Guan Eng, Menteri Pendidikan Penang, dihukum tanpa pengadilan dalam Operasi Lalang Mahathir pada 1987. Selama masa kampanye, mereka berkorban di bawah bendera partai Keadilan.

Dengan segala contoh itu, Tsunami Rakyat di negeri tetangga tersebut nampaknya menunjukkan mereka siap menuju era baru, ketika komunitas berbeda bersatupadu, secara keras kepala, menuju perubahan ke Malaysia yang lebih baik. Dengan segenggam harapan semoga kembalinya pak tua Mahathir tak hanya sekedar perubahan penguasa semata. [Didit Sidarta]