Ilustrasi: Peresmian Koopssusgab pada Juni 2015/liputan6.com

Koran Sulindo – Sejumlah kritik bermunculan ketika pemerintah berencana menghidupkan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI. Kritik itu tidak saja datang dari politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi oposisi, juga dari aktivis hak asasi manusia (HAM).

Wasekjen PKS Mardani Ali Sera, misalnya, menilai ide pemerintah itu justru bisa menjadi blunder dan masuk dalam skema jebakan teroris. Mengapa? Ia berpendapat, itulah yang diinginkan teroris, melihat pemerintah menjadi panik. Semakin pemerintah dan masyarakat reaktif, maka teroris merasa misi mereka berhasil.

“Tujuan teroris selama ini memang membuat panik dan membangkitkan kecurigaan di antara masyarakat sehingga timbul permusuhan,” kata Mardani seperti dikutip CNN Indonesia pada Sabtu kemarin.

Sementara anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Choirul Anam mengatakan, gagasan menghidupkan kembali Koopsusgab sebagai sikap reaksioner dan belum tentu bisa menuntaskan masalah teroris. Lalu, tanpa payung hukum, itu bisa menjadi pelanggaran hukum.

Wacana itu juga ditentang Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Pemerintah, kata Usman, semestinya masih bisa mendorong peran maksimal Densus Antiteror, Badan Intelijen Negara dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sesungguhnya TNI selama ini sudah dilibatkan dalam menangani terorisme walau belum maksimal.

Itu terwujud dalam jabatan-jabatan yang dipegang perwira TNI sebaia Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi pada BNPT. Jadi agak keliru jika mengatakan TNI tidak pernah dilibatkan.

Seperti Choirul Anam dan Usman, pendapat serupa disampaikan Senior Program Officer HAM dan Demokrasi INFID Mugiyanto. Yang penting saat ini adalah payung hukum dan dukungan politik dalam penindakan tegas terorisme. Melibatkan TNI dalam menangani terorisme bukan langkah tepat karena alasan masa lalu. Akan terjadi dominasi TNI ketika terlibat dalam urusan sipil. [KRG]