Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

Koran Sulindo – Jurus Bank Indonesia menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) menjadi 4,5% pada Kamis lalu (17/5) ternyata tak mampu membuat rupiah berjaya menghadapi dolar Amerika Serikat. Justru nilai tukar rupiah malah melemah

Pada Jumat kemarin (18/5), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menunjukkan, nilai tukar rupiah melemah ke Rp 14.107 per US$ 1, dari Kamis yang di posisi Rp 14.074. Bahkan, di pasar spot, nilai tukar US$1 menjadi Rp 14.156.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengatakan, pemerintah dan Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan yang terjadi, terutama karena akan terus mengalami pergerakan terkait normalisasi kebijakan Amerika Serikat. “Pemerintah dalam hal ini akan terus menjaga fondasi ekonomi Indonesia sisi APBN,” tutur Sri Mulyani di Gedung DPR, Jumat.

Kinerja APBN sejauh ini, lanjutnya, dari sisi pendapatan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meningkat signifikan. Dari sisi belanja negara juga tetap terjaga. Dengan demikian, defisit akan dijaga agar tetap sesuai Undang-Undang APBN dan pemerintah bisa memberikan kepastian.

“Kami bersama-sama akan menjaga perekonomian Indonesia. Dengan fondasi makin kuat, kita akan tetap jaga supaya ekonomi dan pembangunan tidak terganggu,” katanya.

Seperti tertera dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF), Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mematok asumsi kurs rupiah rata-rata sebesar Rp 13.700 sampai Rp 14.000 per US$ 1. Asumsi tersebut terpaut jauh dibanding asumsi dalam APBN 2018, yang sebesar Rp 13.400 per US$ 1.

Itu dilakukan karena memperhatikan depresiasi rupiah yang telah mencapai sekitar 3% sejak awal tahun. “Kalau inflasi tetap terjaga pada 3,5 persen plus-minus 1 persen, sementara Amerika Serikat sekitar 2 persen, depresiasi level 3 persen itu sesuatu yang artinya memang sesuai komparasi mata uang antara kita di Amerika Serikat,” tutur Sri Mulyani.

Sementara itu, dalam kesempatan berbeda, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menjelaskan, pelemahan tersebut dalam banyak hal merupakan pengaruh internal dan eksternal. Dari sisi internal dalam negeri, pasar mencermati neraca perdagangan April 2018 yang mencatat defisit sebesar US$ 1,63 miliar setelah pada bulan Maret mencatat surplus US$ 1,1 miliar. “Kami pahami reaksi pelaku usaha karena melihat sinyal ekonomi membaik terkait karena persiapan Romadon, sehingga ada tekanan,” tutur Agus, Jumat.

Akan halnya dari sisi eksternal, tekanan tersebut disebabkan adanya kelanjutan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat dan juga imbal hasil (yield) US Treasury yang telah melebihi level 3%. “Saat Bank Indonesia mengeluarkan hasil RDG, itu market sudah priced in bahwa Bank Indonesia sudah memberikan sinyal dan, kalau data mendukung, Bank Indonesia akan menaikkan bunga acuan. Dan betul, kami naikkan,” tutur Agus. Karena itu, lanjutnya, Bank Indonesia tidak terlambat menaikkan suku bunga acuan, tidak behind the curve.

Dijelaskan Agus, stance kebijakan Bank Indonesia tetap netral. Namun, Bank Indonesia tak akan ragu menempuh langkah yang lebih kuat untuk menjaga stabilitas makro ekonomi, termasuk melakukan penyesuaian kembali suku bunga acuannya. “Kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian policy rate, kami tidak ragu untuk melakukan,” katanya. [RAF]