Koran Sulindo – Bapak Ekonomi Kapitalis, Adam Smith, bahkan pernah melontarkan kritik keras kepada apa yang dilakukan Kerajaan Inggris di India. Ia menentang keputusan Kerajaan yang memberikan hak monopoli perdagangan di India ke British East India Company. Peristiwa itu terjadi di paro kedua abad ke-18. British East India Company sendiri disahkan Ratu Elizabeth I pada tahun 1600.
Bukan cuma hak monopoli yang diberikan. Perusahaan itu juga dikasih wewenang untuk menarik pajak kepada warga India.
Adam Smith menyebut monopoli itu sebagai monopoli yang berlumur darah dan tidak berguna. “Ketidakadilan yang biadab dari orang Eropa,” kata Smith. Dengan pemberian hak-hak tersebut artinya suatu perusahaan dagang menguasai 90 juta warga India (jumlah pada masa itu) dan 70 juta hektare lahan (kira-kira 243.000 kilometer persegi).
Smith sangat berang. Apalagi, British East India Company kemudian mengeluarkan mata uang sendiri, yang diberi lambang perusahaannya, dan membiayai pasukan Inggris di India, yang berjumlah 200.000 personel.
Ketidakadilan biadab itu, menurut Smith, berdampak sangat parah, terutama di Benggala Barat. Karena, perusahaan itu memaksa petani untuk menghancurkan tanaman pangannya dan mengganti dengan opium untuk dijual ke Tiongkok. [Praktik ini juga dijalankan Pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Timur, yang dikenal dengan istilah cultuurstelsel atau “sistem tanam paksa”.]
Padahal, India sampai abad ke-18 itu sudah punya industri besar. Bangsa Inggris saja pergi ke India untuk belajar membuat baja yang berkualitas bagus. Lokomotif yang dibuat di Bombay (Mumbay) tak kalah mutunya dengan produk Inggris pada masa itu.
Upah riil di India juga lebih tinggi daripada upah di Inggris. Pekerja India pada masa industri besarnya berjaya mendapat tunjangan yang sangat baik. Mereka pun punya kendali yang lebih besar atas pekerjaan mereka.
Namun, industri besar India dihancurkan Inggris. Industri bajanya tidak dikembangkan dan akhirnya mati. Nasib pekerja India di bawah kuasa Inggris bagai kerakap tumbuh di batu.
Sebaliknya, proteksionisme sangat besar yang dijalankan Inggris itu membuat Britania Raya menjadi kerajaan yang sangat makmur dan maju di dunia. Di sisi lain, India benar-benar tidak diupayakan kemajuan dan pertumbuhan ekonominya.
“Adam Smith menunjukkan bahwa pedagang dan produsen dari Inggris menggunakan kekuasaan negara untuk memastikan kepentingan mereka didahulukan, tanpa peduli dampaknya bagi pihak lain—baik di Dunia Ketiga maupun di Inggris,” kata ahli linguistik, filsuf, dan kritikus sosial terkemuka dari Amerika Serikat, Noam Chomsky, dalam pernyataannya tahun 1990-an—yang kemudian dikumpulkan dengan pernyataannya yang lain menjadi sebuah buku bertajuk How the World Works, atas upaya Arthur Naiman.
Analisis Smith itu, lanjut Chomsky, merupakan kebenaran yang tak bisa disangkal. “Tetapi, sekarang, justru dianggap sebagai radikalisme ekstrem yang ‘sangat tidak Amerika’ atau semacamnya,” kata Chomsky lagi.
Ketika mengatakan itu di awal tahun 1990-an, ia juga mengatakan, pola yang digunakan Inggris di India itu muncul lagi ketika industri pertanian Amerika Serikat mengekspor produknya ke El Salvador dan Indonesia. “Sejumlah kecil orang menjadi semakin kaya, tetap sebagian besar lainnya tidak—malah mungkin jadi lebih miskin. Kekuatan militer Amerika Serikat turut membantu mempertahankan keadaan semacam ini,” ujar Chomsky.
Berbagai penelitian dalam beberapa tahun terakhir telah membuktikan, kondisi itu tak berubah sampai sekarang, meski wajahnya telah bersalin rupa berkali-kali. Kekayaan dunia, termasuk Indonesia, hanya dikuasai oleh segelintir orang.
Kita, bangsa Indonesia, juga tampak gagap menghadapi gelombang besar globalisasi ekonomi, yang terus-menerus disemburkan dari negara-negara kapitalistis, terutama oleh Amerika Serikat. Padahal, seperti kata Chomsky dalam kesempatan yang lain, “globalisasi ekonomi adalah cara halus untuk mengatakan bahwa Anda mengekspor pekerjaan ke wilayah-wilayah dengan tingkat penindasan tinggi dan upah rendah—sekaligus mengurangi lapangan pekerjaan bagi tenaga produktif di dalam negeri.”
Itu merupakan cara untuk meningkatkan keuntungan korporasi, tentu saja. “Dan, kini semakin mudah dilakukan dengan transaksi modal yang kian bebas, kemajuan telekomunikasi, dan sebagainya,” tutur Chomsky.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Mudah-mudahan kesibukan dalam bekerja dari para penyelenggara negara kita sekarang ini tak membuat mereka abai untuk membaca peta secara komprehensif dan detail, tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia. Jangan pula diabaikan nasib rupiah yang kini sedang terpuruk dan utang luar negeri yang terus menumpuk. Ayo, kerja, tapi jangan lupa untuk terus membaca! [Purwadi Sadim]