Koran Sulindo – Mereka menyebut diri mereka sebagai “tentara salib” karena suatu alasan. Mereka terdiri atas tiga orang di Kansas bahkan telah menyusun rencana untuk meledakkan perumahan pengungsi Somalia pada 2016. Itu sebagai apa yang mereka sebut “Perang Salib 2.0”
Akan tetapi, mereka gagal lantaran keburu ditangkap, beberapa pekan sebelum pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) digelar. Tampaknya ada perubahan terhadap milisi itu yang awalnya lebih sering menganggap pemerintah sebagai lawannya. Ketika mereka punya seorang sekutu di Gedung Putih, dorongan untuk “menentang” pemerintah, kini dianggap sudah tidak mendesak.
Alih-alih “melawan” pemerintah, mereka yang mengaku sebagai “tentara salib” itu dalam beberapa tahun terakhir telah menemukan musuh-musuh baru: Muslim, imigran dan Antifa (anti-fasis).
Menurut Mark Pitcavage, peneliti Anti-Defamation League, kelompok masyarakat sipil, beberapa kelompok tersebut kini lebih fokus kepada musuh-musuh baru mereka itu. Dan mereka acap bersatu dengan kelompok sayap kanan lainnya, gerakan anti-pemerintah dengan beragam latar belakang.
Seperti laporan VOA pada 24 April 2018, munculnya milisi-milisi sayap kanan itu membuat Biro Investigasi Federal (FBI). Biro ini pada 2015 telah mengingatkan bahwa kaum ekstrem sayap kanan telah memperluas target mereka dengan memasukkan kaum Muslim dan agama Islam di AS sebagai musuh.
Akibat kampanye anti-Muslim dan anti-imigran pada pemilihan presiden 2016, semakin mendorong kelompok sayap kanan itu untuk bergerak. Dalam suasana demikian pula, Curtis Allen, Patrick Stein dan Gavin Wright – ketiga orang yang menyebut diri mereka sebagai “tentara salib” – mulai merencanakan meledakkan kompleks perumahan imigran Somalia di Kansas.
Mereka berasal dari kelompok milisi yang dinamai Kansas Security Force yang tergabung dalam organisasi nasional yakni Three Percenters. Bersama dengan beberapa anggota milisi lainnya, kelompok ini bertemu setiap akhir pekan untuk membahas strategi menyingkirkan “kecoak” sebutan untuk kaum Muslim dari AS. Mereka tergabung dalam sebuah grup Facebook bernama Zello sebagai sarana komunikasi kaum anti-Obama, anti-Clinton dan anti-Muslim.
Mereka menggunakan Google Earth untuk memetakan target kaum Muslim di negara bagian tersebut. Meletakkan pin “kecoak” ketika melintasi Garden City dan memusatkan perhatian pada target utama yakni kompleks perumahan dan masjid imigran Somalia.
Untuk menunjukkan betapa ekstremnya ketiga orang itu, jaksa bahkan harus memanggil saksi yang lain dari Kansas Security Force. Seorang bersaksi, ia menyebutkan dirinya keluar dari kelompok karena mendengar skenario yang awalnya hanya dianggap gurauan berubah menjadi sesuatu yang serius. Sedangkan saksi lainnya mengatakan, kendati membenci Muslim, ia tidak menyetujui tindakan tersebut.
Penasihat hukum terdakwa yang menyebut diri mereka sebagai “tentara salib” itu mengatakan, kliennya hanya menggertak saja itu karena menguatnya retorika anti-Muslim. Kendati alasannya demikian, ketiga orang itu kini terancam hukuman penjara seumur hidup karena juri menilai tindakan mereka tidak hanya sekadar menggertak. Ketiganya disimpulkan terlibat konspirasi menggunakan senjata perusakan massal. [KRG]