Koran Sulindo – Di wilayah penyangga Jalur Gaza telah menjadi pemandangan sehari-hari sekelompok kecil pemrotes bersembunyi dibalik asap hitam mendobrak pagar pembatas yang dengan ketat di awasi penembak jitu Israel.
Aksi tersebut luar biasa mengingat belum lama ini puluhan dari mereka diantar menjadi martir oleh penembak jitu dalam beberapa pekan terakhir,
Semenjak dikumandangkannya ‘Great Return March’ empat minggu lalu ribuan orang merasa terpanggil menuju perbatasan Gaza yang dijaga ketat dan menyerukan kembali ke tanah mereka.
Sedikitnya 32 demonstran dari mereka, termasuk seorang anak dibunuh oleh penembak jitu Israel. Belakangan, makin banyak perempuan yang terlibat dalam aksi protes.
Salah seorang pemrotes, Taghreed al Barawi mengatakan mereka melakukan hal itu karena, “perempuan cenderung ditembak dibanding para pemrotes pria”
Taghreen menyebut tekadnya seperti dirasuki perasaan keberanian yang aneh begitu ia makin mendekati pagar. Ia juga mengaku terinspirasi Ahed Tamimi, remaja di Tepi Barat berusia 17 tahun yang kini di penjara Israel setelah dia menampar seorang tentara di luar rumahnya.
Pemandangan perempuan garis depan konflik di Timur Tengah sebenarnya bukan barang baru termasuk dalam Musim Semi Arab.
Namun dalam masyarakat tradisional seperti di Gaza yang dikuasai Hamas sekaligus dikepung Israel, perempuan juga harus tunduk aturan sosial yang represif.
Di Gaza, dalam seminggu terakhir saja, sedikitnya 160 wanita terluka sementara empat pria Palestina ditembak mati serta bocah laki-laki berusia 15 tahun.
Bagi banyak wanita-wanita ini, tembakan tidak pernah membuat mereka takut.
Shireen Nasrallah, seorang pemrotes yang menutupi wajahnya dengan keffieh untuk melindungi gas air mata mengakui wanita memang lebih ditargetkan.
“Penembak jitu Israel berteriak melalui speaker, mengatakan, ‘Anda, wanita dengan keffieh, jika Anda mendekati pagar lagi kami akan menembak Anda di kepala’. Tapi saya tidak takut dan saya membakar bendera Israel yang lain dan mengangkat bendera kami.”
“Saya akan menjadi Ahed jika saya bisa,” teriak beberapa perempuan di Gaza setelah hukuman pada remaja itu disahkan. “Dia kuat, dia cantik, dia pemberani,” kata dua siswa berkerudung, menatap dengan penuh perhatian pada potret Ahed yang berjeans di dinding di luar Universitas Islam Gaza.
Di dinding yang sama terpampang juga potret mantan pemimpin Palestina termasuk Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina, dan Ahmed Yassin, pendiri Hamas.
Di masa lalu dalam perkelahian model intifada lama, setiap pemrotes Palestina dapat dengan melempar batu pada seorang prajurit Israel tanpa kesulitan, karena para prajurit-prajurit itu di antara mereka.
“Sekarang kita tidak bisa seperti itu karena kita bahkan tidak bisa melihat mereka, apalagi memukul mereka dengan batu. Kita tidak pernah cukup dekat untuk menendang atau memukul mereka,” kata seorang pemuda Palestina mengeluh.
Bagi mereka di Gaza, ketidakmampuan melihat atau menyerang tentara Israel menciptakan keputusasaan putus asa yang unik, yang telah meluas ke dalam protes zona penyangga minggu-minggu terakhir. Mungkin karena alasan ini, Hamas mengerti dan enggan menahan pengunjuk rasa sekaligus memungkinkan perempuan untuk menggelar protes.
Saat ini ketika protes terus berlangsung dan korban tewas meningkat, beberapa orang di Gaza mulai “melakukan bunuh diri” yang dengan mengumpankan diri pada peluru Israel.
“Apa kita kalah? Kami sekarat di Gaza yang dikepung. Mengapa tidak mati di zona penyangga sebagai gantinya. Setidaknya ada kemungkinan pesan kami akan didengar,” kata Intimah Saleh, seorang pemrotes berusia 27 yang ditemani ibunya memasak makanan untuk mereka yang berada di garis depan.
Ditanya apakah dia berpikir para wanita-wanita di Gaza meniru Ahed Tamimi, dia berkata: “Tentu saja. Kita punya banyak Ahed di sini.”
Namun, ketika ditanya apakah Ahed bisa menjadi pemimpin Palestina di masa depan, sekelompok remaja laki-laki tertawa dan berkata, “Tidak. Israel tidak akan mengizinkannya. Sebelum itu terjadi, mereka akan memastikan dia ditembak.”(TGU)