Ilustrasi. Bilik Suara dalam Bus. Foto: Antara

Koran Sulindo – Mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata melahirkan begitu banyak ekses negatif, mulai dari mahalnya biaya kampanye, maraknya politik transaksi, menguatnya pandangan seolah pemilih tak lebih dari deretan angka-angka di statistik, sampai kerapnya terjadi konflik horizontal.

Juga banyak figur publik yang terpilih menjadi kepala daerah semata-mata karena popularitasnya, namun kapabilitasnya dalam memimpin organisasi birokrasi dan masyarakatnya lemah. Bahkan, menurut pakar hukum tata negara yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Izha Mahendra, mekanisme pemilihan langsung bertentangan dengan iklim demokrasi yang dianut Indonesia.

“Kita lihat sekarang ini, semangatnya antikorupsi, tapi tanpa sadar kita menciptakan sistem yang membuka peluang korupsi itu terjadi,” kata Yusril di Jakarta, 16 April 2018 lalu. Jika permasalahan itu terus-menerus dibiarkan, ia khawatir efek negatifnya akan sangat mengganggu situasi demokrasi Indonesia ke depan.

Dijelaskan Yusril, sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD pernah disahkan pada zaman pemerintahan Presiden SBY. Namu, peraturan tersebut dibatalkan melalui peraturan pengganti undang-undang (perppu), yang dikeluarkan oleh SBY sendiri.

Yusril menduga, pembatalan melalui perppu tersebut karena banyaknya penolakan dari berbagai pihak yang masih berkepentingan terhadap keberlangsungan pilkada langsung. “Selesai pembahasan itu. Banyak yang menentang. Kepentingan banyak sekali. Jadi, kita ini kontradiksi. Mungkin karena kepentingan banyak pihak. LSM, lembaga survei juga, segala macam,” tutur Yusril.

Lebih lanjut Yusril mengungkapkan, pelaksanaan pilkada tak langsung, melalui DPRD, tidak melanggar prinsip demokrasi. Karena, prinsip pelaksanaan demokrasi Indonesia sudah tertuang dan diatur dalam UUD 1945. “Pasal 18 UUD 1945, kepala daerah itu dipilih secara demokratis. Langsung dan tidak itu demokratis. Jadi, ini masalah pilihan,” ujarnya.

Sebelumnya, pakar hukum tata negara yang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. juga telah menyatakan pandangannya yang seperti Yusril.  Dalam penilaian Mahfud: mekanisme pilkada langsung memiliki banyak kerugian. “Saya sangat setuju itu. Saya mantan Hakim MK. Banyak sekali mudaratnya pilihan langsung itu,” kata Mahfud di Gedung DPR, Jakarta, 9 April 2018.

Diuraikan Mahfud, kerugian yang terjadi dalam mekanisme pilkada langsung antara lain korupsi anggaran daerah, penyuapan penyelenggara pemilu, pemalsuan dokumen, mobilisasi massa, sampai pemecatan aparatur sipil yang tidak sejalan dengan kepala daerah terpilih hasil pilkada langsung. Kalau ini terus dibiarkan, Mahfud khawatir akan semakin memberi efek negatif terhadap situasi bangsa ke depan.

Untuk Pilkada Serentak 2018 saja, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan ada puluhan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LKTM) yang terjadi menjelang pelaksanaan pilkada. “Hasil pemantauan transaksi keuangan mencurigakan terdapat 52 LTKM,” kata Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Jakarta, 18 April 2018.

LTKM itu, lanjutnya, diperoleh setelah pihaknya melakukan pemantauan transaksi keuangan para kontestan pilkada serentak di seluruh Indonesia tahun ini. Total, ada 171 daerah (provinsi, kabupaten, kota) yang mencari kepala daerah secara serentak pada pencoblosan 27 Juni 2018 mendatang.

Diungkapkan Kiagus lagi, hampir seluruh LTKM melibatkan petahana. Sisanya melibatkan penyelenggara pemilihan umum dan partai politik.

Sementara itu, anggota DPR dari PDI Perjuangan Masinton Pasaribu berharap publik tak alergi dulu pada wacana pengembalian pilkada ke DPRD, karena di parlemen sedang dikaji efektivitas pelaksanaan pilkada langsung, baik terhadap masyarakat maupun dampak-dampaknya, dengan memperhatikan masukan-masukan dari organisasi masyarakat serta pertimbangan dari pemerintah.

“Kan juga ada masukan dari ormas-ormas. Seperti Nahdlatul Ulama, dulu kan juga pernah mengusulkan supaya pilkada dikembalikan ke DPRD, mengingat dampak dari pilkada langsung itu menciptakan biaya tinggi, kemudian ada praktik money politic,” kata Masinton, 7 April 2018.

Pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia diselenggarakan pertama kali pada 1 Juni 2005. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai

Kartanegara. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Perubahan Sistem Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah. Namun, dalam undang-undang ini, pilkada belum dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (pemilu).

Baru pada tahun 2017, pilkada masuk rezim pemilu. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum. Dengan demikian, pilkada secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. [PUR]