Koran Sulindo – Jika anak muda di kota besar mengarungi sungai dengan ban atau tubing menjadi rekreasi adrenalin yang menantang, pelajar di Dusun Damma, Boto Matinggi, Tampobulu, Maros, Sulawesi Selatan tubing ibarat sudah menjadi keseharian.
Jembatan yang dibuat pemerintah daerah sejak tahun 2015 silam, sampai sekarang tak kunjung dituntaskan. Alhasil, ban menjadi satu-satunya sarana menyeberangi sungai untuk berangkat dan pulang sekolah.
Sementara sungai yang harus diseberanginya berarus deras dan dalam, mereka terpaksa meliburkan diri ketika hujan deras membuat sungai meluap. Para orangtua tak mau ambil resiko yang mengancam keselamatan anak-anaknya.
Tak hanya anak-anak yang kesulitan mengakses sarana belajar, ratusan warga desa-desa itu juga menjadi terisolir dan tak sanggup berbuat apapun saat musim penghujan datang.
Salah seorang warga, Abudullah, seperti ditulis JawaPos.com menyebut kondisi memprihatinkan itu sudah berlangsung bertahun-tahun dan tidak pernah mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Abdullah mengaku heran jembatan yang tengah dibangun itu tak kunjung diselesaikan padahal berkali-kali sudah jatuh korban. Ia menyebut sejumlah warga kerap ditemukan meninggal dunia karena hanyut saat menyeberang.
Juga pernah terjadi warga yang meninggal bahkan pernah tidak disalatkan karena tidak satu pun pemuka agama datang karena kondisi air deras. “Kondisi ini sudah sejak awal adanya kampung kami di sini. Setiap hari, baik warga maupun anak sekolah bertaruh nyawa menyeberang sungai ini,” kata Abdullah.
Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Musaddaq menyebut menahunnya keterisoliran di Boto Matinggi terjadi karena pembangunan di Sulsel tidak merata. Ia mencontohkan pada tahun 2012 Pemprov Sulsel meminjam Rp 500 miliar untuk pembangunan infrastruktur.
Sayangnya, dana ratusan miliar gelontoran dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP) itu malah lebih banyak dialokasikan pada proyek reklamasi Pantai Losari yang diproyeksikan sebagai Center Point of Indonesia (CPI).
“Jika pembangunan merata, tidak ada lagi kejadian seperti di Kabupaten Maros. Pelajar di dua desa di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros tidak lagi menyeberangi sungai besar yang dalam menggunakan ban mobil dan berenang untuk ke sekolahnya,” kata Musaddaq.
Pembangunan CPI disebutnya tak mempresentasikan pemerataan karena cuma berpusat di Kota Makassar sementara banyak daerah lain yang infrastruktur utamanya justru sangat memprihatinkan.
Tak hanya di Maros, perjuangan miris untuk bisa tetap bersekolah juga menjadi keseharian puluhan anak-anak di dusun Palakahembi, Palakahembi, Pandawai, Sumba Timur, NTT. Setiap hari mereka mesti menyeberangi Sungai Kadumbul yang di musim penghujan sering meluap.
Tak hanya banjir bandang, sungai itu juga diketahui menjadi habitat buaya liar.
Mengantisipasi hal-hal buruk, sejumlah orang tua terlihat selalu menemani anak-anaknya hingga menyeberang sungai.
“Tiap hari kami lewat sini, kalau tidak lewat ini sungai jauh kita putar, jadi tiap hari kami ramai-ramai langgar ini kali. Kalau banjir kami takut dan tidak ke sekolah. Kami juga takut buaya, jadi tiap hari orang tua antar kami sampai di sebelah,” kata Angela seorang siswi kelas empat SD seperti dilansir waingapu.com.
Angela dan beberapa rekannya adalah siswi murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) Lindi. Menyeberangi sungai bagi anak-anak itu adalah memangkas jarak dari sembilan menjadi hanya tiga kilometer.
“Takut buaya sebenarnya saya, tapi karena banyak anak-anak juga ada kawan orang tua lain yaa saya berani langgar ini sungai,” Kata Muhu Nggandung salah satu orang tua siswa.
Soal buaya itu bukan sebatas omong kosong, Manggena Ndjarawulla ketua RT setempat mengaku melihat buaya-buaya itu. “Satu di atas sana satunya di bawah, buat apa saya karang-karang, bukan saya saja yang lihat, warga dan anak-anak juga pernah lihat, hanya memang beruntung saja, sampai sekarang belum ada musibah,” kata Manggena.
Tentu saja, seperti warga di Maros, ia juga berharap pemerintah membangun jembatan gantung agar anak-anak bisa jauh lebih nyaman pergi dan pulang sekolah.(TGU)
(Tulisan ini pernah dimuat pada 9 April 2018)
Baca juga: