Ilustrasi tentang buruh migran [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Kekerasan yang menimpa buruh migran Indonesia terutama di sektor rumah tangga di Malaysia tidak hanya menjadi keprihatinan masyarakat dalam negeri. Di Malaysia, organisasi Tenaganita juga acap menyuarakan keprihatinan yang dialami buruh migran.

Direktur Eksekutif Tenaganita, Glorene Dass mengatakan, pihaknya pernah mengajukan kepada pemerintahnya sebuah Rancangan Undang Undang Pekerja Rumah Tangga pada 2016. Pengajuan RUU itu sebagai terobosan untuk mengurai dan menjadi dasar hukum melindungi pekerja rumah tangga.

Ia beralasan, pengajuan RUU itu lantaran UU saat ini sama sekali tidak bisa melindungi pekerja rumah tangga. Ketika pekerja rumah tangga yang kerap mendapar kekerasan dari majikan, misalnya, memilih untuk melarikan diri, maka mereka justru menjadi pekerja yang tidak berdokumen.

“Ini malah menjadi kendala ketika mereka mau menggugat ke pengadilan. Umumnya mereka malah dikriminalisasi dan dipulangkan oleh pihak imigrasi. Korban menjadi benar-benar tidak berdaya,” tutur Glorene Dass beberapa waktu lalu seperti dikutip star2.com.

Kenyataan demikian, kata Dass, yang coba diubah Tenaganita. Bar Council’s Migrants, Refugees and Immigration Affairs Committee Datuk Seri M. Ramachelvam mengatakan, pemerintah Malaysia telah mengusulkan untuk membentuk UU Pekerja Rumah Tangga pada 2014. Namun, aturan itu sampai hari ini belum ditetapkan sebagai UU sehingga tak ada aturan hukum yang melindungi pekerja rumah tangga di Malaysia.

Kendati hukum pidana Malaysia menjamin pekerja yang mengalami pelecehan seksual dan fisik, akan tetapi kasusnya umumya digantung berbulan-bulan. Karena itu pula, korban seringkali kelelahan mengikuti proses hukum yang berkepanjangan itu.

Lebih rumit lagi, pekerja rumah tangga yang menjadi korban itu – setelah kasusnya masuk dalam proses hukum – dilarang bekerja untuk sementara. Proses demikian membuat korban menjadi frustasi dan putus asa. Dan pada akhirnya korban memilih untuk pulang ke negara asalnya, kata Dass.

Perjuangan berat lainnya, kata Dass, ketika kasus yang menimpa pekerja rumah tangga itu masuk dalam perdagangan manusia, penegak hukum justru mengabaikannya. Padahal, kenyataannya jelas sekali, kata Dass: mereka diperdagangkan.

“Misalnya, pekerja rumah tangga itu tidak dibayar selama berbulan-bulan, tidak diberi libur, ditipu agen dan ini semua merupakan unsur perdagangan manusia,” Dass menambahkan.

Bersama dengan berbagai koalisi, Tenaganita telah berkonsultasi dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) untuk menyusun UU yang melindungi pekerja rumah tangga di Malaysia. Selain itu, kendati tidak mengikat secara hukum, sebelum Malaysia memiliki UU, Dass mengingatkan ada pedoman dan nota kesepahaman antar-negara untuk membuat langkah-langkah melindungi pekerja rumah tangga.

Yang terpenting, menurut Dass, membuat sebuah UU yang mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja. Dengan demikian, maka perlu dipastikan pekerja itu berhak mendapat kehidupan layak, upah layak dan pekerjaan yang layak. Itu berarti, mereka memiliki waktu kerja delapan jam sehari, punya waktu istirahat dan berhak mendapat makanan layak. Dan juga berhak mendapat upah.

Dari persoalan ini, Dass berpendapat, terobosan yang dilakukannya bersama koalisi menjadi sebuah tantangan untuk mendorong pembuatan UU yang melindungi pekerja rumah tangga. Terlebih ini tidak semata-mata tentang perempuan Malaysia melainkan ini adalah masalah hak asasi manusia. [KRG]