Koran Sulindo – Candu sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak ratusan tahun silam. Bahkan di abad 17, Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas penting yang tak hanya harus dikenai pajak. Candu bahkan dimonopoli perdagangannya.

Pakar candu Henri Louis Charles Te Mechelen menulis Opium To Java di tahun 1882 menulis satu dari 20 orang Jawa adalah pengisap candu.

Sejatinya, candu yang terbuat dari bunga poppy atau papaver somniferum itu tidak tumbuh di Jawa. Komoditas itu didatangkan dari Turki dan Persia dibawa saudagar Arab meski tak diketahui dengan jelas kapan mulai diperdagangkan di Jawa.

Di Jawa penggunaan opium telah meluas hampir di seluruh pulau yang memicu anjloknya moral seluruh penduduk. Opium bisa dimakan dalam bentuk padat atau manta, dan jika diisap dinamakan madat atau candu.

Untuk membuat madat, candu mentah direbus bersama tembakau, sirih, dan rempah lain sampai mengental. Pada pembuatan candu, opium direbus tanpa tambahan apapun kemudian dibuat bulatan kecil-kecil. Setelah kering, candu itu dimasukkan ke dalam tabung bambu dan disulut.

Di pedalaman Jawa penduduk umumnya memakan opium mentah itu begitu saja. Sedangkan orang-orang di sepanjang pesisir umum opium diisap yang dibuat oleh orang-orang Cina. Pemakaian opium, meski penggunaannya sudah meluas tetap saja dianggap sebagai perbuatan tercela dan mereka yang kecanduan dijauhi masyarakat.

Pada awal 1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa, dari Batavia hingga ke Tuban, Gresik, Surabaya di Jawa Timur, bahkan Pulau Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup sampai ke desa-desa di seantero wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja terdapat 372 tempat penjualan opium.

Bagi kalangan bangsawan, opium dianggap sebagai gaya hidup sekaligus peranti keramah-tamahan dalam kehidupan bermasyarakat. Di pesta-pesta kalangan atas, lazim ditemua tetamu disuguhi opium. Beberapa laporan juga menyebut, prajurit-prajurit Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa berlangsung jatuh sakit gegara macetnya pasokan opium.

Seiring dengan menyebarnya permukiman Cina ke kota-kota pedalaman Jawa, pasar opium juga makin berkembang. Kota-kota itu bahkan menjadi lahan subur bagi para bandar opium karena pasar opium paling ramai justru berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di masa itu menggunakan opium sudah menjadi ciri umum kehidupan baik di kota maupun desa. Opium dipasarkan bahkan sampai ke tengah masyarakat desa yang tergolong miskin. Misalnya dalam pesta panen, umum ditemui juga pesta candu. Termasuk dalam acara hajatan pernikahan, tuan rumah menyediakan candu. Candu bahkan dijajakan dari rumah ke rumah dan hampir setiap desa terdapat pondok tempat mengisap opium.

Komisi Belanda di Den Haag pada tahu 1804 dengan tegas menyimpulkan bahwa tak ada keuntungan apapun bagi pemerintah Eropa terus mengizinkan penggunaan opium. Ketua Komisi Gijsberg K van Hogendorp di parlemen menyebut opium sebagai racun yang daya kerjanya perlahan namun dijual oleh perusahaan dagang Belanda kepada penduduk miskin.

“Setiap orang yang kecanduan akan sulit melepaskan dirinya dan jika tiba-tiba dilarang orang-orang bisa mati karenanya. Kebanyakan kejahatan, terutama pembunuhan diakibatkan oleh racun opium ini,” kata Hogendorp.

Meski Hogendorp berteori panjan lebar di parlemen, orang-orang Belanda di Hindia sama sekali tak memperdulikannya. Mereka justru mulai mendirikan bandar-bandar opium resmi di pedalaman Jawa pada 1830.

Mereka jugalah yang mengimpor opium mentah dari pasar lelang opium di Calcutta, India, dan Singapura. Pengolahan bahan mentah itu diserahkan kepada para pedagang, yang sekaligus bertindak sebagai distributor Bandar yang ditunjuk di tanah Jawa. Umumnya mereka adalah saudagar Cina.(TGU)

Baca juga: Menelisik Jaringan Candu di Jawa