Koran Sulindo – Oleh-oleh cerita yang dibawa Friar Odoric selama perjalananya ke Nusantara itu benar-benar menjadi kisah mengerikan bagi telinga orang Eropa kala itu.
Ia berkisah tentang serombongan pengembara yang tengah berteduh di bawah sebuah tanah lapang. Tak menungu lama, salah satu dari mereka jauh mati begitu saja.
Mengetahui kawannya mati, anggota rombongan lain langsung tunggang langgang. Selamat? Tidak juga, mereka akhirnya jatuh satu persatu dan mati.
Sejak kunjungan Odoric di abad ke-14 itu, cerita seram tentang pohon beracun tersebut terus menerus direproduksi dan ditambah-tambahi. Kisah seram itu bertahan hingga beratus-ratus tahun kemudian.
Bahkan ketika botanis Belanda kelahiran Jerman, George Eberhard Rumphius (1627-1702) cerita seram justru mendapat ‘pembenaran’ ilmiahnya. Dalam bukunya, Herbairum Amboinese, ia tetap menulis dengan cara yang berlebihan.
“Udara di sekitar pohon begitu tercemar sampai-sampai jika ada seekor burung hinggap di dahan pohon, burung itu akan langsung kehilangan kesadaran dan jatuh mati,” tulis Rumphius.
Rumphius, yang pernah melakukan penelitian ilmiah di Ambon, menulis bahwa penduduk Makassar tahun 1650 menggunakan panah beracun saat penyerangan terhadap Ambon. Panah beracun ini pula yang digunakan rakyat Celebes saat perang melawan VOC Belanda.
Ia menulis bahwa racun yang masuk pembuluh darah terbawa ke seluruh tubuh dan terasa di otot, menimbulkan rasa terbakar, terutama di kepala, lalu korban pingsan dan mati. Menurutnya, racun ini memiliki derajat mematikan berbeda, tergantung lama dan cara pengawetan racun.
Dan racun yang paling mematikan adalah ‘upas raja’ yang konon efeknya tak terobati lagi.
Sementara itu dalam The Botanic Garden yang ditulis Erasmus Darwin (1731-1802), ia meromantisasi dengan hiperbolis bahwa pohon upas sebagai pohon keramat yang melahirkan monster-monster pengusung kematian. Ya, itu adalah Pohon Upas.
Keterangan lebih masuk akal tenang pohon itu baru dimulai oleh William Marsden dalam History of Sumatra pada tahun 1784. Ia menyebut Upas di antara tanaman yang paling menarik ada di Jawa.
Ia menyamakan mitos tentang Pohon Upas sama dengan mitos-mitos Lerna Hydra, Chimera dan kisahk-kisah klasik lainnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukannya disimpulkan, pohon yang menghasilkan racun ini adalah pohon Anchar, yang tumbuh di bagian timur Pulau Jawa.
Ia menyebut Achar adalah salah satu pohon terbesar di Jawa, bentuknya silindris, tegak lurus dan memiliki tinggi 60-80 kaki. Di permukaan tanahnya terdapat kumpulan tanaman yang tersebar tak beraturan menjadi beberapa bagian atau kelopak, seperti Cannarium commune atau pohon kenari. Pohon ini ditutupi kulit kayu berwarna keputihan dengan kerut memanjang. Sementara itu di dekat tanah, kulit kayu dewasa bisa memiliki tebal hingga 0,5 inchi dan menghasilkan cairan seputih susu yang mengandung racun.
Torehan pada kulit kayu akan menghasilkan cairan kekuningan agak berbuih pada pohon dewasa, sedangkan pada pohon muda warnanya lebih putih. Cairan ini dihasilkan di batang di mana alirannya cukup deras hingga satu cangkir bisa dikumpul dalam waktu singkat.
“Tulisan Rumphius yang merujuk keterangan tentang upas yang dinamakan arbour toxicaria. Pohon ini tidak tumbuh di Ambonia sehingga keterangan itu didapatkannya dari Makassar, yang dimaksudnya adalah cabang dari pohon laki-laki (male tree) yang dikirim ke Makassar hingga dianggap pohon dari Makassar,” tulis Marsden.
Ia melanjutkan, cairan buah arbour toxicaria tidak berbahaya serta bukan Anchar Jawa. Lagi pula bentuknya berbeda dan lebih menyerupai jahe. Persamaannya adalah tanaman ini tumbuh dengan lambat sebelum menghasilkan racun. Selain pohon racun asli, upas atau Anchar Jawa tumbuh mirip semak hanya saja efeknya lebih lemah.
“Anchar termasuk golongan ke-21 Linnaeus, berkeping satu, bunga jantan dan betina diproduksi dari putik pada cabang yang sama dan letaknya berdekatan dengan putik betina berada di atas putik jantan,” tulis Marsden lebih lanjut.
Petani di Jawa kebanyakan menggunakan serat kain dari kayu ini untuk bekerja di sawah setelah sebelumnya disamak, dicuci dan dikeringkan di bawah matahari sebelum bisa digunakan. Seorang yang memakai kain ini jika terkena hujan akan merasa sangat gatal yang amat sangat. Ini disebabkan dalam pada kulit kayu terdapat kelenjar racun yang diproduksi. Racun ini akan tetap menempel pada kain yang telah diproses dan bisa menimbulkan iritasi kulit bila basah.
Cairan pada kulit kayu ini juga lazim digunakan sebagai racun untuk panah. Percobaan yang dilakukan Marsden untuk menguji racun tersebut ditanggapi keberatan oleh penduduk lokal. Mereka khawatir akibat yang bisa ditimbulkan pada kulit.
Marsden mengaku menemukan Pohon Upas paling besar di Hutan Blambangan yang penuh semak belukar hingga sulit didekati. Ia menyebut beberapa pohon muda sekonyong-konyong muncul dari benih yang jatuh.
Saat akhirnya Marsden berhasil mengumpulkan cairan dari pohon itu, ia teringat tulisan Foersch yang penuh berisi kebohongan sekaligus terbayang deskripsi Darwin dalam Botanical Garden. “Dan dua iblis terikat dan tinggal di akar-akarnya.” (TGU)