Tulisan di harian Kompas pada November 1965 yang menuduh Wakil Ketua DPR-GR sekaligus Wakil Ketua I PKI,, M.H. Lukman korupsi [Foto: blog Robert Adhi Kusumaputra]

Koran Sulindo – Menyusul tersingkirnya Orde Baru, muncul banyak tulisan yang membelejeti kebohongan dan fitnah yang telah disebarkan dan dicekokkan oleh rezim militer Soeharto. Walau begitu masih ada saja tulisan yang terus mengunyah-unyah propaganda busuk anti-komunis dan anti PKI dalam usaha menghapus hasil kecil yang dicapai reformasi.

Salah satu kebohongan, pemutarbalikan fakta dan fitnah itu berhasil saya temukan di blog mantan wartawan harian Kompas, Robert Adhi Kusumaputra. Ia membuka arsip Kompas dengan berita di halaman 1 edisi 23 November 1965. Judul berita itu adalah M.H. Lukman korupsi 250 djuta uang rakjat. M.H. Lukman dituduh menggunakan Rp 250 juta untuk membangun rumah mewah di jalan Gondangdia Lama yang dianggap sebagai rumah pribadinya. Rumah itu memiliki tujuh kamar tidur, lapangan tenis, dan kolam renang yang mewah.

Dalam fiksi yang disebar Kompas itu terdapat hal-hal aneh yang seharusnya dijelaskan oleh si pencipta khayalan. Misalnya tertulis di situ: “Pada tgl. 31 Agustus 1963, seorang pemilik rumah di Djl. Gondangdia menjerahkan rumah miliknja tsb. kepada M.H. Lukman untuk ditempati sendiri…..”. Kemudian terdapat kalimat: “Tgl. 7 September 1965, Menteri Wakil Ketua DPR-GR M.H. Lukman mengadjukan permohonan kepada Menteri Anggaran Negara untuk memperoleh uang sebesar Rp. 250 djuta, sesuai dengan otorisasi tgl. 15 Djuli 1965 No.II-174-65….-PM mengenai pembelian rumah bagi DPR-GR.”

Mengapa ada jarak waktu dua tahun antara penyerahan rumah kepada Lukman dan pengajuan permohonan untuk memperoleh uang pembeli rumah itu? Selama dua tahun apa yang terjadi dengan rumah itu? Kapan uang Rp 250 juta itu diterima Lukman? Untuk menuduh Lukman korupsi, tentu harus ada bukti bahwa uang itu betul-betul diterima Lukman.

Pada berita itu juga tertera bahwa rumah yang akan dibeli adalah “bagi DPR-GR”. Berarti, seandainya Lukman benar mengajukan permohonan, itu dilakukan karena jabatannya, bukan untuk kepentingan pribadi.

Namun Robert Adhi, dalam komentarnya, menulis: “Pembuatan rumah tersebut dan bagaimana sampai uang rakyat sebesar Rp 250 juta digunakan tanpa pertanggungjawaban, semuanya dilakukan di luar pengetahuan pimpinan DPR-GR lainnya. Benar bahwa pimpinan DPR-GR MH Lukman dan Sjaichu akan diberi rumah jabatan, dalam arti mereka memegang jabatan pimpinan DPR-GR. Sjaichu menggunakan prosedur umum, sebaliknya Lukman bertindak sendiri. Rumah dinas dijadikan rumah pribadi, untuk kemudian dirombak menjadi rumah mewah, dan menggunakan uang rakyat sebesar Rp 250 juta. Untuk ukuran 1965, jumlah uang itu sangat besar.”

Saya minta Robert Adhi menunjukkan bukti bahwa “penggunaan 250 juta rupiah tanpa pertanggungjawaban …… dilakukan di luar pengetahuan pimpinan DPR-GR lainnja.” Uang Rp 250 juta itu untuk beli rumah atau untuk merombaknya menjadi rumah mewah?

Robert Adhi harus membuktikan juga bahwa “Sjaichu menggunakan prosedur umum, sebaliknya Lukman bertindak sendiri.” Apa dan bagaimana konkretnya yang dimaksud “bertindak sendiri”. Ia juga harus menjelaskan dan mengajukan bukti bahwa Lukman telah merombak dan menjadikan rumah mewah itu sebagai rumah pribadinya. Karena kalau itu betul, maka bukankah saya sebagai anaknya seharusnya berhak untuk menuntut kepemilikan rumah tersebut? Bahkan saya berharap Kompas dan Robert Adhi mendampingi saya melacak dan mengurus supaya kepemilikan keluarga kami atas rumah yang diduga milik pribadi Lukman itu benar-benar diakui. Kalau tidak maka Kompas dan Robert Adhi telah seenak perut sendiri melempar tuduhan korupsi kepada M.H. Lukman tanpa tanggung jawab pembuktian. Nah, untuk membuktikan bahwa memang betul Lukman korupsi, saya harus dibawa ke rumah di Gondangdia Lama itu dan dikasih lihat sertifikat pemilikan pribadi Lukman atas rumah tersebut.

Yang jelas ibu saya tidak pernah bicara tentang kepemilikan rumah pribadi di jalan Gondangdia Lama itu. Aneh ya? Padahal setelah bapak dihilangkan dan sampai sekarang tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, kami hidup terlunta-lunta karena tidak ada penghasilan. Seandainya kami betul-betul punya rumah pribadi yang sangat mewah itu, tentu akan kami jual untuk bisa hidup layak sehingga gereja tidak perlu mengulurkan tangannya. Bayangkan rumah di atas lahan 2.000 meter persegi, dengan tujuh kamar tidur, serambi depan, serambi belakang, lapangan tenis dan kolam renang mewah di daerah Menteng! Tak terbayang bapak memiliki rumah seperti itu!

Robert Adhi mengimbau para pembaca berita “M.H. Lukman Korupsi” di blognya untuk menyebar berita itu melalui media sosial. Bagi pembaca yang tidak kenal sejarah dengan benar dan tak mampu berpikir kritis karena tercekoki propaganda Orba anti-PKI, besar sekali kemungkinan mereka membayangkan keluarga Lukman kini hidup mewah.

Ketika keluarga M.H. Lukman pindah dan tinggal di rumah di jalan Haji Agus Salim, lama ia menolak barang-barang dan perlengkapan rumah inventaris DPR. Tiba-tiba pada suatu hari, beberapa petugas datang dan berkata bahwa isi rumah itu tidak pantas sebagai rumah menteri. Ibu saya menjawab kami sudah biasa hidup dengan perabotan yang ada dan tidak merasa malu. Namun, akhirnya datang para petugas membawa barang-barang yang mereka tentukan sendiri. Ruang tamu kecil di depan diisi sebuah meja tamu kecil serta empat kursi mungil dan sebuah karpet menutupi lantainya. Kami bahkan tidak pernah duduk-duduk di situ. Hanya ketika istri dubes berkunjung, ibu menerimanya di ruang tamu itu.

Para petugas juga memasukkan meja makan besar, televisi, kulkas, lemari pakaian, meja tulis. Ketika barang-barang itu tiba, Lukman memanggil anak-anaknya dan berkata dengan serius bahwa semua barang itu adalah pinjaman rakyat, bukan milik kami. Kami tinggal di rumah itu karena rakyat. Seandainya harus meninggalkan rumah itu, maka tak satu barangpun akan kami bawa.

Lantas apa isi kulkas yang besarnya luar biasa itu? Hanya air! Ibu pergi setiap hari ke pasar. Makanan untuk 16 orang setiap hari selalu habis. Apa yang mau disimpan? Adik bungsu saya, ketika melihat air yang disimpan dalam kulkas menjadi dingin, maka pikiran kanak-kanaknya beranggapan kalau bajunya dimasukkan, ia akan merasa adem mengenakan baju yang dingin!

Telur adalah makanan mewah. Tak pernah kami bisa makan satu telur utuh, selalu dibagi dua. Senangnya luar biasa kalau salah satu anggota keluarga berulang tahun. Karena pada hari itu eyang putri dengan uang eyang kakung sebagai Perintis Kemerdekaan, memberi tiap anak sepiring kecil nasi kuning ditutupi telur dadar.

Kalau telur barang mewah, maka ayam super mewah! Saya minta tolong Kompas dan mantan wartawannya, Robert Adhi, mencari menteri dalam pemerintahan Soeharto sampai pemerintahan sekarang, yang istrinya harus menukarkan pantalon suaminya dengan ayam, agar keluarganya dapat makan ayam! Tidak perlu menteri, anggota DPR sajalah! Tunjukkan anggota DPR mana yang tidak mampu beli ayam untuk makan keluarganya. Siapa tahu ada? You never know! Makanya sekarang ada saja anggota DPR dan menteri yang korupsi. Barangkali untuk beli ayam?

Itulah yang terjadi pada suatu hari di sebuah rumah di Menteng. Bapak cari ubek-ubekan celana panjangnya untuk pergi kerja. Tahu-tahu celana itu sudah ditukar ayam yang beberapa hari sebelumnya menjadi santapan istimewa keluarga.

Mengapa pada jenjang SMA saya pindah dari Santa Ursula ke Budi Utomo? Setiap hari saya merengek pada bapak agar pindah. Tidak tahan saya sekolah bersama anak-anak orang kaya yang tiap waktu istirahat membuka bekal berisi telur dengan roti atau kentang goreng. Sedangkan saya tidak diberi apa-apa oleh ibu, karena memang tidak ada yang bisa dibawa. Eyang putri berusaha membantu dengan kadang-kadang goreng kentang untuk saya bawa. Tapi toh tidak membantu, karena saya tidak punya teman satu pun. Buat mereka, saya adalah “alien”, mahluk “asing” yang tidak sama dengan mereka. Akhirnya bapak mengerti saya tidak akan bisa belajar dengan suasana seperti itu.

Tuduhan Fiksi
Saya tidak akan heran kalau ada pembaca yang meragukan dan bahkan tidak percaya pada anekdote kehidupan keluarga seorang menteri komunis. Bisa saja saya dituduh bikin “fiksi” untuk membela bapak saya.

Seperti fakta tentang enam orang jenderal dan seorang kapten yang dibunuh ketika G30S meletus. Bukti sudah diajukan oleh beberapa saksi mata bahwa mereka sama sekali tidak disiksa, tubuh dan kemaluan mereka tidak disayat-sayat oleh anggota Gerwani yang dituduh menari telanjang dalam pesta cabul. Kebohongan dan fitnah ini sengaja dibuat untuk membangkitkan kebencian, membakar dan mengipasi kemarahan publik kepada Gerwani, satu-satunya organisasi massa wanita progresif terbesar dalam sejarah pergerakan rakyat Indonesia. Itulah jalan dan cara jahat dan keji tak kenal malu yang digunakan rezim militer fasis Soeharto guna membenarkan pembantaian, penyiksaan, persekusi, penghilangan paksa dan pemenjaraan terhadap rakyat tak bersalah.

Tuduhan korupsi kepada M.H. Lukman yang dilakukan Kompas pada 1965, dan sekarang kembali disebar oleh Robert Adhi adalah juga untuk menodai kehormatan PKI. Bukankah partai ini dikenal rakyat sebagai organisasi politik yang bersih dari korupsi dan tindakan kriminal. Mereka yang terlibat dalam menciptakan fiksi korupsi Lukman tidak merasa penting untuk mendalami dan menyelidiki dalam rangka memperoleh fakta dan kebenaran.

Sebagai wartawan, ada perbedaan mendasar antara Robert Adhi dengan Hendro Subroto, wartawan perang kawakan dan salah seorang saksi mata sejarah yang mengkonfirmasi bahwa enam jenderal dan seorang kapten tidak disiksa di Lubang Buaya. Sambil menunjukkan foto hitam putih kepada wartawan Tempo, pada Maret 2001, Hendro memperlihatkan alat kelamin jenderal yang utuh dan tidak disayat-sayat. (sumber: Tempo.co, 30 Septermber 2016, Apakah Para Jenderal Disiksa Seperti di Film G30S?)

Walau kebohongan itu sudah merupakan rahasia umum masih terlalu banyak yang belum mau membebaskan diri dari cuci otak Orba. Mereka terus-terusan menuding PKI berkali-kali berontak. Padahal satu-satunya peristiwa yang betul-betul patut dinamakan pemberontakan terjadi pada tahun 1926. Pemberontakan kepada siapa? Ini yang ditutupi oleh Orba dan kaki tangannya. Itulah pemberontakan nasional pertama melawan penjajah Belanda! Jadi sebelum ABRI, TNI, aparat kepolisian, dan semua partai yang anti-PKI lahir, PKI sudah tampil memimpin rakyat Indonesia untuk mengusir kaum kolonialis Belanda! [Tatiana Lukman]