Ilustrasi: Gus Mus/sejarahri.com

Koran Sulindo – KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dianugerahi penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2017. Pengasuh pondok pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, tersebut dinilai memiliki perhatian yang besar terhadap perjuangan dan penegakan nilai-nilai hak asasi manusia.

“Saya ini ndak tahu apa itu HAM, nasionalisme, dan lain-lain karena sejak kecil saya dididik di pesantren. Saya hanya diajari bahwa Indonesia adalah rumahmu, maka kamu harus jaga. Jangan rusak rumahmu dan jagalah rumahmu dari gangguan orang lain,” kata Gus Mus, dalam acara malam penganugerahan Yap Thiam Hien Award 2017 di Aula Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (24/1/2018), seperti dikutip nu.or.id.

Gus Mus mengatakan bukanlah orang yang mengagungkan HAM karena didengungkan oleh orang-orang Barat. Namun hanya memperjuangkan terciptanya keadilan bagi siapa pun manusia, karena sesuai dengan ajaran agama Islam dan ajaran para gurunya.

“Saya ini tidak tahu HAM karena pendidikan saya hanya sedikit lebih rendah dari Bu Susi. Bu Susi tamat SMP, sedang saya hanya sampai kelas satu Madrasah Tsanawiyah (kelas 1 SMP),” katanya.

Penghargaan diberikan oleh Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pujiastuti, sebelum Gus Mus menyampaikan sambutan.

Gus Mus lahir di Rembang, Jawa Tengah, dalam masa pendudukan Jepang tahun 1944. Ia adalah penerima beasiswa dari Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, pada 1967 sampai 1970 untuk studi Islam dan bahasa Arab. Sebelumnya belajar di pesantren. Setelah tamat dari Sekolah Rakyat, Gus Mus menimba ilmu di Pesantren Lirboyo, Pesantren Krapyak, dan Pesantren Taman Pelajar Islam.

Pejuang Hak Asasi Manusia

Sementara itu Ketua Yayasan Yap Thiam Hien Award, Todung Mulya Lubis mengatakan, Gus Mus memang lebih dikenal sebagai tokoh Nadhatul Ulama (NU), kiai, pimpinan pondok pesantren, dan budayawan, dan bukannya aktivis hak asasi manusia seperti Munir Said Thalib.

“Namun buat saya, Gus Mus dengan semua karyanya, dengan semua sepak terjangnya, keterlibatannya, adalah seorang pejuang hak asasi manusia,” katanya.

Gus Mus dinilainya banyak berkontribusi merawat keberagaman di Indonesia lewat tulisan dan tutur kata ke santrinya.

“Kita sangat butuh sosok yangkuat konsisten dan jujur seperti Gus Mus. Beliau tidak ikhlas jika kemajemukan dicabik oleh ideologi yang anti kemajemukan,” kata Todung.

Gus Mus adalah ulama pertama yang menerima penghargaan Yap Thiam Hien. Nama penghargaan ini diambil dari nama pengacara dan pejuang HAM, Yap Thiam Hien.

Proses penentuan peraih Yap Thiam Hien Award tahun ini dimulai sejak Mei 2017. Juri tahun ini adalah Makarim Wibisono (diplomat senior), Siti Musdah Mulia (Ketua Umum ICRP), Yoseph Stanley Adi Prasetyo (Ketua Dewan Pers), Zumrotin K Susilo (aktivis perempuan dan anak), dan Todung Mulya Lubis. [DAS]