Ilustrasi: Sanusi Hardjadinata bersama Presiden Soekarno/istimewa

Tak lama setelah penandatanganan deklarasi fusi lima partai politik—PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba– yang membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI), 10 Januari 1973, partai banteng  telah diwarnai berbagai konflik internal maupun eksternal.

Sebagaimana diketahui, setelah fusi lima partai ke dalam PDI di tahun 1973, yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI adalah Mohamad Isnaeni. Sabam Sirait dari Parkindo ditunjuk sebagai sekjen koordinator. Hanya setahun setelah fusi, perseteruan lama di PNI antara faksi Isnaeni dengan faksi Sunawar Soekowati kembali muncul. Sunawar, yang merupakan salah satu Ketua DPP PDI dan saat itu menjabat sebagai Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat mempersoalkan susunan DPP PDI. Ia berpendapat susunan DPP PDI harus proporsional dihitung sesuai hasil Pemilu 1971. Karena ada unsur yang mendapat kursi di parlemen, hendaknya sifat proporsional itu disesuaikan dengan sifat toleransi (proporsional-toleransi) sejalan dengan pasal 12 AD/ART partai. Pendapat ini mendapat simpati dari unsur PNI di daerah-daerah karena memang PNI dalam Pemilu 1971 memperoleh suara terbesar dibanding unsur-unsur lainnya. Itu artinya Sunawar menghendaki perombakan DPP PDI, termasuk posisi ketua umum.

Namun, gagasan itu ditentang oleh keempat unsur lainnya, yang didukung Isnaeni sebagai ketua umum partai. Sebenarnya Isnaeni tidak keberatan dengan prinsip proporsional Sunawar, tapi penyelenggaraan Kongres PDI harus sesuai dengan anggaran dasar partai yang mengatur ketentuan peralihan. Artinya, kongres berkewajiban mengesahkan DPP PDI yang ada, sehingga Isnaeni harus tetap menjabat ketua umum. Akibatnya, api konflik tak kunjung padam. Malah, dari hari ke hari panasnya semakin menyebar ke mana-mana.

Puncak konflik itu terjadi menjelang  Kongres I PDI, pertengahan tahun 1975. Persaingan antar faksi dari unsur PNI memanas, terutama berkaitan dengan perebutan kursi ketua umum PDI. Dua tokoh PNI yang bersaing ketat tak lain Mohammad Isnaeni dan Soenawar Soekawati.

Ditengah konflik terbuka tersebut,  suatu hari pimpinan PDI dipanggil Presiden Soeharto ke rumahnya di Jalan Cendana, Jakarta. Yang diminta datang mewakili pimpinan PDI hanya beberapa orang, antara lain Abdul Madjid (salah seorang Ketua DPP PDI) dan Sabam Sirait. Akan halnya Isnaeni dan Soenawar justru tidak ikut dipanggil.

Abdul Madjid saat itu sudah terbilang sebagai politisi senior di PDI. Ia sudah memulai karir di bidang politik sejak tahun 1945, dengan menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia pernah menjadi Sekretaris Jenderal PNI, di awal Orde Baru, sebelum fusi PDI. Di parlemen, ia pernah menjadi anggota DPR-GR di masa Orde Lama, menjadi anggota DPRS/MPRS serta DPR di masa Orde Baru. Madjid juga ikut menandatangani Deklarasi Fusi PDI, mewakili PNI.

“Setelah basa-basi sebentar, Soeharto langsung masuk ke topik utama pertemuan tersebut: siapa tokoh yang akan menduduki posisi Ketua Umum PDI dalam kongres mendatang,” kata Sabam Sirait.