Pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp 21 triliun untuk program beras sejahtera.

Koran Sulindo – Kebijakan pemerintah Joko Widodo – Jusuf Kalla mengimpor beras pada awal tahun ini sekitar 500 ribu ton menuai protes. Pasalnya, pemerintah melalui Menteri Pertanian Amran Sulaiman sering kali mengumbar keberhasilannya dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

Pada Agustus tahun lalu, misalnya, Amran di hadapan gubernur dan bupati se-Sulawesi Tenggara menunjukkan kinerja positif lembaganya sehingga memutuskan untuk tidak lagi mengimpor empat komoditi yakni beras, jagung, bawang dan cabai. Padahal, setiap Agustus pemerintah akan mengimpor 2 hingga 2,5 ton untuk keempat komoditas tersebut.

Dan tanpa keraguan, Amran selalu pula mengucapkan prestasinya itu dengan data-data valid. Merujuk kepada hasil produksi padi dari tahun ke tahun, jumlahnya selalu meningkat terutama pada periode 2014 hingga 2017. Pada 2014, produksi gabah pada mencapai sekitar 71 juta ton; 2015 naik menjadi sekitar 75 juta ton; lalu 2016 menjadi sekitar 79 juta ton; 2017 mencapai sekitar 81 juta ton.

Berdasarkan data itu, wajar Amran begitu “sesumbar” dan percaya diri menunjukkan kinerja positif lembaganya terutama keberhasilannya tidak mengimpor beras. Protes dan keheranan publik muncul di awal tahun ini ketika pemerintah tiba-tiba mengimpor beras sekitar 500 ribu ton. Data-data yang selama ini diajukan Amran pun mulai dipertanyakan.

Semisal, mengapa ketika stok beras berlimpah, pemerintah justru mengambil langkah impor beras? Keheranan kian bertambah ketika harga beras melonjak dalam beberapa waktu terakhir ini.

Atas kebijakan tersebut, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), misalnya, menilai pemerintah Jokowi – JK gagal dalam mengatasi masalah pangan nasional. Alasan pemerintah mengimpor beras pun dinilai mengada-ada terutama dikaitkan dengan kenaikan harga dan menipisnya stok beras.

Berbagai program pemerintah berupa upaya khusus padi jagung kedelai, program serap gabah petani dan penetapan harga eceran tertinggi beras di pasaran termasuk operasi pasar yang dilakukan Bulog menjadi gagal total.

“Impor hanya merugikan petani produsen terutama ketika memasuki musim panen raya. Impor tentu saja akan menyebabkan harga di tingkat petani anjlok, terlebih petani belum pernah diuntungkan dengan harga gabah yang hanya rata-rata Rp 3.700 per kilogram. Jauh di bawah harga pasaran yang mencapai Rp 4.500 per kilogram,” tulis AGRA dalam keterangan resminya pekan lalu.

Kebijakan Impor
Di luar kegagalan pemerintah, AGRA mencoba menelusuri lebih jauh apa yang menjadi pokok persoalan sehingga pemerintah mesti mengimpor beras. Dari catatan AGRA ketika menelusuri program kerja pemerintah Jokowi – JK di awal-awal berkuasa, rupanya program kedaulatan pangan diserahkan kepada pengusaha importir. Dengan kata lain, impor pangan adalah solusi pemerintah Jokowi – JK dalam menyelesaikan krisis pangan di dalam negeri.

Pun dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat, pemerintah menyerahkannya kepada importir. Yang ingin diperbaiki pemerintah adalah hanya mengevaluasi kebijakan impor dengan memberantas “mafia”. Tentu saja kebijakan ini tidak akan membebaskan kaum tani dari “serbuan” produk pertanian impor terutama beras impor.

Seperti AGRA, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai soal beras ini memang bermasalah dari hilir hingga ke hulu. Salah satu persoalan penting yang mesti diselesaikan adalah distribusi. Sistem distribusi beras selama ini disebut KPPU sangat buruk karean rantai pasoknya terlalu panjang. Tidak efisien.

Di samping itu, KPPU juga menyoal rendahnya kredibilitas data perberasan nasional yang dipublikasikan Badan Statistik Pusat (BPS) dan Kementerian Pertanian. Itu sebabnya, perlu mengaudit data produksi beras yang dilakukan secara bersama dengan perguruan tinggi. Dengan demikian, perdebatan mengenai data beras tidak lagi menjadi polemik di masa mendatang. Jika sudah demikian, pertanyaannya: mungkinkah kedaulatan pangan bisa dicapai? [KRG]