Koran Suluh Indonesia Volume II Nomor 26, 15 Desember 2017 - 7 Januari 2018

Koran Sulindo – Sejarawan dari Israel yang juga aktivis sosial, Ilan Pappé, dalam berbagai kesempatan wawancara selalu mengatakan, apa yang dilakukan oleh Israel di Palestina bukanlah pendudukan, tapi kolonialisasi. “Mereka memulai kolonialisasi pada akhir abad kesembilan belas dan sampai hari ini masih melakukan kolonialisasi itu,” kata Pappé dalam sebuah wawancara, yang videonya tersebar di media sosial Internet. Pada tahun 2006 lampau, Pappé juga pernah menerbitkan buku The Ethnic Cleansing of Palestine.

Dalam film dokumenter yang digarap Benny Brunner dan Arjan El Fassed dan dirilis pada tahun 2012 lalu, The Great Book Robbery, juga diperlihatkan bagaimana milisi Zionis Israel menjarah puluhan ribu buku, lukisan, rekaman musik, perabotan, dan artifak lain dari rumah-rumah, perpustakaan, dan kantor-kantor pemerintah Palestina. Setidaknya 70.000 buku milik bangsa Palestina telah dicuri dari pemiliknya. Pencurian ini bukan sekadar akibat kebetulan dari terjadinya perang, melainkan tindakan yang disengaja dengan tujuan khusus.

“Selama beberapa dasawarsa, propaganda Zionis dan Israel menggambarkan orang-orang Palestina sebagai ‘orang-orang tanpa budaya’,” demikian dinarasikan dalam film dokumenter tersebut. Dengan demikian, negara Israel melakukan upaya pengambil alihan negara Palestina dengan alasan untuk membuat orang-orang Palestina menjadi beradab. “Mereka dilarang mempelajari budaya mereka sendiri atau untuk mengingat masa lalu mereka. Ingatan mereka dipandang sebagai senjata berbahaya yang harus ditekan dan dikendalikan.” Sampai hari ini, praktik biadab itu masih berlangsung, terutama di Tepi Barat, Yerusalem, dan Gaza.

Bahkan Moshe Dayan pada tahun 1969 (ketika itu dia menjadi Menteri Pertahanan Israel) di koran Israel, Ha’aretz, dengan bangga menyatakan, desa-desa Yahudi telah dibangun di tempat desa-desa Arab. “Anda bahkan tidak tahu nama-nama desa Arab ini dan saya tidak menyalahkan Anda karena buku geografi sudah tidak ada lagi. Tidak hanya buku-buku yang tak ada, desa-desa Arab pun tidak muncul,” kata Dayan, yang sesungguhnya berasal dari Ukraina.

Sejarawan Palestina, Nur Masalha, dalam bukunya yang berjudul The Palestine Nakba (2012) juga mengatakan, mitos pembentukan Israel telah mendiktekan pemindahan konseptual dari orang-orang Palestina sebelum, selama, dan setelah pemindahan secara fisik mereka pada tahun 1948. “De-arabisasi Palestina, penghapusan sejarah Palestina, dan penghapusan ingatan kolektif Palestina oleh negara Israel tidak kalah kerasnya dengan pembersihan etnis orang-orang Palestina pada tahun 1948 dan penghancuran Palestina yang bersejarah: penghapusan ini sangat penting bagi pembangunan identitas suatu hegemoni kolektif Israel-Zionis-Yahudi di Negara Israel,” tulis Masalha.

Dalam rentang waktu tiga tahun saja, antara tahun 1947 dan 1949, setidaknya 800.000 orang Palestina—yang sebagian besar merupakan penduduk asli Arab Palestina pada waktu itu—dibersihkan dari rumah mereka oleh milisi Zionis yang dibantu Inggris. Pusat-pusat kota besar Palestina, dari Galilea di utara sampai Naqab (diganti namanya menjadi Negev oleh Zionis) di selatan, dikosongkan dari penduduk asli. Pembersihan etnis dilakukan di 531 kota dan desa Palestina.

Jadi, kehadiran Israel di Palestina memang bukan pendudukan, yang lazimnya ada batas waktunya, melainkan jelas penjajahan. Itu sebabnya, Presiden Soekarno yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme dengan tegas menolak Israel pada tahun 1960-an. Karena itu pula, antara lain, Bung Karno menggagas diselenggarakannya The Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan menarik Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Bahkan, sebelum itu, Bung Karno juga mendukung Aljazair merebut kemerdekaannya dari Prancis. Ketika Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika digelar di Bandung pada tahun 1955, Presiden Soekarno mengundang delegasi Aljazair, yang masih berperang melawan kolonial Prancis. Itulah momen pertama kalinya nama Aljazair dikenal dunia internasional.

Bukan hanya itu. Indonesia juga mengirim senapan mesin ke para pejuang kemerdekaan Aljazair, terutama yang bergabung dalam Front Nasional Pembebasan Aljazair. Waktu itu, ini memang misi rahasia, yang melibatkan dua kapal selam yang dipesan Indonesia dari Uni Soviet. Akhirnya, sejarah mencatat, para pejuang Aljazair memproklamasikan kemerdekaan bangsa dan negaranya pada 5 November 1962.

“Soal kemerdekaan, soal menghancurkan imperialisme, itu buatku nomor satu,” kata Bung Karno, seperti tertera dalam buku Bung Karno: Bapakku Kawanku, Guruku, yang ditulis putranya, Guntur Soekarnoputra.

Tentu, yang bersikap seperti itu mestinya bukan hanya Bung Karno, tapi seluruh bangsa Indonesia. Karena, sikap seperti itu telah menjadi amanat konstitusi. Merdeka! [PUR]