Koran Sulindo – Menteri Keuangan Sri Mulyani waswas. Pasalnya, meski dana desa setiap tahun mengalami peningkatan, dari Rp 20 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 60 triliun pada tahun 2017, tingkat kemiskinan di daerah belum juga turun. “Ini sangat berbahaya, ketika dana desa semakin besar, angka penurunan kemiskinannya tak beranjak,” ujarnya di Magelang, Jawa Tengah, 16 Desember 2017 lalu.
Padahal, lanjutnya, Presiden Joko Widodo sudah menargetkan angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2019 turun di bawah 10%. Itu sebabnya, dana desa harus benar-benar digunakan untuk pemberdayaan masyarakat. “Dana desa bisa dikelola untuk pembangunan dengan swakelola dan masyarakat bisa bekerja pada proyek pembangunan di desa yang nantinya akan dibayar upahnya secara harian. Harapannya rakyat miskin ini punya pendapatan,” kata Sri Mulyani lagi.
Pada tahun 2018 nanti, diungkapkan Sri, penyaluran dana desa akan dilakukan secara berbeda dari sebelumnya: desa yang tertinggal akan mendapatkan dana desa lebih besar. Dana desa yang disalurkan nantinya mulai dari Rp 800 juta hingga Rp 3,5 miliar. “Harapannya, desa yang tertinggal ini, kemiskinan bisa segera turun dan menyusul menjadi desa yang maju,” katanya.
Ia berharap para kepala desa membuat program-program pengentasan orang miskin. Juga belajar dari desa yang telah maju dalam pengelolaan dana tersebut. “Kemajuan desa juga tergantung pada pimpinan desa karena tak mungkin Menteri Desa PDT menggantikan peran kepala desa,” ujar Sri.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDT) Eko Putro Sandjojo menyatakan, dana desa yang digelontorkan selama tiga tahun sangatlah cukup untuk mengentaskan orang miskin di Indonesia. “Aturannya sudah jelas, 30 persen dana desa yang diturunkan untuk upah. Ini salah satu cara mengentaskan kemiskinan,” tutur Eko.
Kenyataannya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terjadi peningkatan angka kemiskinan sebesar 5,67% dari Maret 2016 sampai Maret 2017. Per Maret 2017, penduduk miskin di Indonesia tercatat 27,77 juta orang atau kurang-lebih 10,64% dari jumlah penduduk Indonesia.
Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada September 2017 lalu juga memperlihatkan adanya kesejajaran dengan hasil survei BPS. Survei Indikator memperlihatkan 43% responden yang merasa berat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Hanya 18% yang merasa upaya memenuhi kebutuhan pokok mereka semakin ringan. Kemudian, 42% responden menilai orang miskin semakin banyak di Indonesia. “Di isu-isu ini masih lebih banyak yang menilai tidak ada perubahan atau bahkan semakin negatif,” kata Burhan Muhtadi, pendiri Indikator Politik Indonesia, 11 Oktober lalu.
Tingkat pengangguran juga dirasakan semakin meningkat. Ada 50% responden yang mengatakan itu dalam survei yang dilakukan Indikator. Juga ada 54% responden yang merasa mencari pekerjaan sekarang ini semakin sulit. Hanya 14 persen responden yang merasa mencari pekerjaan semakin mudah.
Menurut peneliti dari Insitute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, pola masyarakat sekarang ini sedang beralih dari penikmat subsidi menjadi tidak menikmati subsidi. Pemangkasan subsidi listrik, gas, air minum, bahan bakar minyak, dan kebutuhan dasar lainnya membuat pengeluaran rakyat semakin tingi. “Akibatnya, spending masyarakat untuk alokasi belanja kebutuhan barang sekunder dikurangi. Pemerintah harus cepat mengatasi ini, bagaimana mengurangi dampak-dampak tersebut, sekarang sudah merembet ke mana-mana, sektor riil terganggu high cost terjadi,” kata Heri, sebagaimana dikutip rmol.com.
Indikator penurunan daya beli masyarakat, tambahnya, tidak hanya dilihat dari melambatnya pertumbuhan retail. Indikasi lainnya adalah melambatnya pertumbuhan industri kecil dan menengah, yang mencapai 2,5%. “Daya beli melambat ini kan ternyata terbukti. Bukan cuma di retailnya saja bisa dibilang turun. Terus ada yang bilang pindah ke online. Tapi kan kalau kita kroscek ke hulunya, ternyata juga turun,” tuturnya.