Koran Sulindo – Iran siap memulihkan hubungannya dengan Arab Saudi jika negara itu mengakhiri persahabannya dengan Israel. Selain menghentikan kerjasamanya dengan Israel, Saudi juga diminta menghentikan pembantaiannya di Yaman.
Penegasan tersebut disampaikan Presiden Iran Hassan Rouhani dalam sebuah pertemuan dengan parlemen Iran kemarin. “Kami ingin Arab Saudi mengentikan dua hal, persahabatan dengan Israel dan bombardir tak manusiawi di Yaman,” kata Rouhani menegaskan.
Rouhani menyebut negaranya ‘tidak akan punya masalah’ dengan Saudi jika mereka menghentikan sikap ‘membungkuknya’ kepada Israel dan mulai bergantung pada dirinya sendiri.
Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran tahun awal tahun 2016 sebagai protes serangan misi diplomatik Saudi di Iran. Serangan itu terjadi setelah Saudi mengeksekusi ulama Syiah di Saudi.
Konflik antara Saudi dan Iran makin memanas setelah milisi Houthi di Yaman berkali-kali menembakkan rudal ke Saudi. Tembakan rudal yang menyasar Saudi juga dilancarkan oleh Hizbullah dari Lebanon. Milisi Hizbullah yang beraliran Syiah dianggap menerima dukungan politik dan persenjataan dari Iran.
Akhir bulan lalu, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman menyebut peningkatan pengaruh Iran mirip dengan kebangkitan pengaruh Jerman di era kekuasaan Hitler. “Kami tidak menginginkan ‘Hitler’ baru Iran mengulangi apa yang terjadi di Eropa dan Timur Tengah,” kata Salman.
Pernyataan Rouhani itu disampaikan di tengah laporan-laporan media yang menyebutkan Tel Aviv dan Riyadh berusaha membangun hubungan baru untuk meredam pengaruh Iran di Timur Tengah. Saudi membantah dengan keras tuduhan kerjasama itu, mengakui Iran sebagai ancaman utama di Timur Tengah.
Jika pejabat Saudi selalu bungkam dikaitkan dengan Israel, rekan-rekan mereka di Israel tidak berusaha menyembunyikan komunikasi di antara kedua negara, termasuk dengan undangan untuk kunjungan masa depan.
Meningkatnya ketegangan antara Teheran dan Riyadh memicu spekulasi bahwa kepentingan bersama dapat mendorong Arab Saudi dan Israel untuk bekerja sama. Menurut orang-orang Saudi, perkembangan geopolitik terkini menjadi saat paling tepat untuk berteman dengan Israel.
Analis politik memprediksi, meski Israel dan Arab Saudi tak bakalan mungkin bekerjasama secara terbuka, geopolitik aktual memosisikan mereka di sisi yang sama menantang Irang. Para pengamat menyebut aliansi pragmatis melawan Iran ini merupakan paradigma regional baru di Timur Tengah.
“Perubahan politik di Arab Saudi dan keinginan untuk mengonsolidasikan kekuasaan adalah alasan utama mengapa hubungan ini dengan Israel dibuka,” kata Mahjoob Zweiri, seorang profesor dari Program Studi Teluk Universitas Qatar.
Meski begitu, kata Zweiri, Iran yang digunakan sebagai alasan sepertinya tak terlalu khawatir dengan aliansi ini. “Pada kenyataannya, kondisi ini membantu Iran tampil sebagai kekuatan yang ramah sekaligus memperbaiki citranya. Iran juga tampil sebagai benteng terakhir perlawanan terhadap Israel,” tuturnya.
Sementara itu menurut Ofer Zalzberg, pengamat International Crisis Group menyebutkan pergeseran tatanan politik di Timur Tengah seharusnya mengacu pada proses perdamaian Israel-Palestina sebagai syarat penting membangun kerja sama regional. “Kelahiran aliansi Saudi-Israel terlihat seperti akan menghalangi Iran, dalam banyak hal menjadi alasan penting memajukan perdamaian Israel-Palestina di Washington dan Riyadh,” kata Zalzberg.
Pengamat menyebut kelompok negara-negara ini sebagai Kamp Arab Pragmatis, yang beranggotakan Mesir, Yordania, dan beberapa negara-negara lain di Teluk. Selain Iran, mereka juga memiliki ancaman strategis lain, yakni gerakan salafi dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.
“Sayangnya, Amerika Serikat meninggalkan ruang kosong di wilayah yang segera diisi Rusia di Suriah, sementara Iran mengisi bagian Timur Tengah lainnya,” ungkap Zalzberg.[TGU]