Jenderal Gato Nurmantyo di Mako Kopassus/tni.mil.id

Koran Sulindo – Mata Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo berkaca-kaca di hadapan 1.200 orang prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Gedung Balai Komando Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, akhir pekan lalu. Gatot menjadi warga kehormatan Kopassus ketika menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD)

Hari itu Jenderal Gatot juga menyambangi 4.097 prajurit Kostrad di Lapangan Markas Divisi-1/Kostrad Cilodong, Bogor, Jawa Barat. Jumat (8/12), dia berencana mendatangi Paskhas TNI Angkatan Udara lalu ke Korps Marinir.

“Saat ini tingkat kepercayaan rakyat kepada institusi TNI sangat tinggi, disitulah tantangan yang terberat bagi TNI. Kuncinya prajurit TNI harus tetap netral,” kata Gatot, seperti dikutip tni.mil.id.

Ketika hendak meninggalkan Mako Kopassus, sejumlah prajurit Kopassus telah menunggu di luar gedung. Para prajurit itu kemudian memanggul Jenderal Gatot beserta Danjen Kopassus Mayjen TNI Madsuni menuju gerbang utama sambil menyanyikan Mars Komando.

Hari yang sama, rapat Paripurna DPR menyetujui pengajuan Presiden Joko Widodo, KSAU Hadi Tjahyanto menjadi Panglima TNI. Sehari sebelumnya Hadi lolos fit and proper test Komisi I DPR.

Hari-hari panglima kontroversial itu segera berakhir, tapi nampaknya bukan tanpa perlawanan. Pada 4 September lalu ia merotasi puluhan perwira tinggi di TNI, pada hari sama ia ditelpon Menteri Sekretaris Negara Pratikno, mengabarkan Presiden Jokowi sudah menyerahkan surat kepada DPR soal calon penggantinya.

Gatot bersikeras rotasi itu sah dan sudah memenuhi syarat prosedural, legalitas dan landasan konstitusi.

“Kalau saya mengeluarkan tanggal 5 Desember, walaupun secara legalitas masih boleh, secara de facto saya masih Panglima TNI. Tapi secara etika itu tidak. Saya tidak melanggar etika karena itu tanggal 4 sudah diparaf,” kata Gatot, seperti dikutip detik.com.

Pembangkangan terakhir Jenderal Gatot itu seperti ingin menunjukkan, tangan istana negara tak leluasa menjangkau di Cilangkap.

Panglima Kontroversial

Ambisi politik Gatot tercium mulai akhir 2016 tatkala mewancanakan hak politik bagi anggota TNI. Ia berusaha kembali TNI ke ranah sipil. Mabes TNI tercatat menandatangani “ratusan” kerjasama dengan berbagai lembaga, termasuk universitas dan pemerintah daerah. TNI tidak hanya dilibatkan dalam urusan pemadaman kebakaran hutan, pembangunan infrastruktur seperti pada proyek pembangunan jalan Transpapua, hingga menanam padi di sawah.

Gatot diangkat menjadi Panglima pada Juli 2015, seharusnya saat itu jatah untuk KSAU atau KSAL, seakan sadar, ia dipakai pemerintahan Jokowi yang sedang digoyang konflik kekuasaan di internal PDI Perjuangan dan kisruh penolakan Budi Gunawan menjadi Kepala Kepolisian RI. Ia menggunakan keadaan itu untuk senjata dan kendaraan berpolitik. Kontroversial pertama karena seorang panglima TNI tidak boleh berpolitik. Kedua karena ucapan dan tindakannya yang seolah memang sengaja mencari viral di media massa maupun media sosial.

Februari 2017 Gatot mengeluhkan pembatasan kewenangan panglima TNI dalam pengadaan senjata, kewenangan itu di tangan kementerian pertahanan. Soal ini sudah ada payung hukumnya yaitu UU No. 03 Tahun 2002 yang menjamin otoritas sipil atas militer.

Gatot juga membekukan kerja sama pelatihan militer dengan Australia, tanpa berbicara terlebih dahulu dengan Istana Negara. Oktober 2016 Gatot juga menyerang Australia karena melakukan “perang proxy” melawan Indonesia di Timor Leste.

Saat-saat Pilkada DKI Jakarta yang brutal lalu, Gatot aktif mendekat ke kelompok konservatif muslim. Ketika Kapolri Tito Karnavian mengatakan polisi menemukan indikasi makar pada aksi demonstrasi 212 di Jakarta, Gatot tersinggung, karena saya umat muslim juga.” Panglima juga berulangkali memuji pentolan FPI Rizieq Shihab sebagai sosok yang “cinta Indonesia.”

Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia yang disebarkan kelompok Islam konservatif ditangkap Gatot dengan mewajibkan prajurit TNI untuk menonton film propaganda orde baru “Pengkhianatan G30-S PKI” karya Arifin C Noer.

Ia lalu mengunjungi makam bekas Presiden Soeharto. Dan menurutnya Soeharto patut menjadi “tauladan” prajurit TNI.

Yang paling meledak adalah isu penyelundupan senjata api sebanyak 5.500 pucuk. Pemerintah mengklarifikasi pembelian itu untuk Kepolisian dan Badan Intelijen Negara. Kasus ini menjadi kegaduhan berminggu-minggu di tanah air.

Manuver Gatot sering menyudutkan Jokowi, dan ia tak pernah menutupi ambisi politiknya. Hingga hari terakhirnya sebagai Panglima TNI, Jumat (8/12) pekan lalu ia masih melakukan safari mengunjungi markas pasukan-pasukan elit di semua kesatuan TNI. Ia tahu cepat atau lambat akan dicopot Jokowi, tapi ia sudah menanam investasi untuk pemilihan presiden 2 tahun ke depan. [Didit Sidarta]